Saturday 31 October 2015

GAME SKETSA WAJAH



TAK PERLU BANYAK CAKAP LAH !!!

BAGI ANDA YANG INGIN BERMAIN SKETSA WAJA, ATAU INGIN TAU HASIL WAJAH ANDA SESUAI DENGAN DESKRIPSI YANG ANDA BERIKAN, SILAHKAN DOWNLOAD SAJA, GRATIS LHO !!!

MONGGO.....

GAME SKETSA WAJAH 

PENGERTIAN INTEGRASI, ILMU, AGAMA DAN KORELASINYA


PENGERTIAN INTEGRASI, ILMU, AGAMA DAN KORELASINYA


Di dalam kamus umum bahasa Indonesia, W.J.S Poerwadarminta mengartikan kata integrasi dengan penyatuan supaya menjadi suatu kebulatan atau menjadi utuh. Integrasi merupakan usaha untuk menjadikan dua atau lebih hal menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Ilmu dalam bahasa indonesia merupakan terjemahan dari bahasa Inggris science yang berarti mengetahui dan belajar, maka ilmu dapat berarti usaha untuk mengetahui atau mempelajari sesuatu yang bersifat empiris dan melalui suatu cara tertentu. Menurut James Conant (Fatah Santoso, 2004: 24) ilmu adalah suatu deretan konsep dan skema konseptual yang berhubungan satu sama lain, yang tumbuh sebagai hasil eksperimen serta observasi, dan berguna untuk diamati serta dieksperimentasikan lebih lanjut.
Lebih lanjut, terminologi (istilah) ilmu merupakan sesuatu yang memiliki beragam makna. Menurut The Liang Gie ilmu dapat dibedakan menurut cakupannya. Pertama, ilmu merupakan sebuah istilah umum untuk menyebut segenap pengetahuan ilmiah yang dipandang sebagai satu kebulatan. Dalam arti yang pertama ini ilmu mengacu pada ilmu seumum-umumnya. Adapun dalam arti yang kedua ilmu menunjuk pada masing-masing bidang pengetahuan ilmiah yang mempelajari satu pokok soal tertentu misalnya antropologi, geografi, sosiologi. Tulisan ini menempatkan pemahaman ilmu pada arti yang pertama.
Ilmu dapat pula dibedakan berdasarkan maknanya, yaitu pengetahuan, aktivitas dan metode. Dalam arti pengetahuan, dikatakan bahwa ilmu adalah suatu kumpulan yang sistematis dari pengetahuan. John G. Kemeny menggunakan istilah ilmu dalam arti semua pengetahuan yang dihimpun dengan perantaraan metode ilmiah.
Ilmu dalam bahasa Arab berasal dari kata ‘alima yang berarti ‘tahu’. Dalam bahasa Inggris di sebut science berasal dari perkataan Latin scientia yang diturunkan dari kata scire yang berarti mengetahui (to know) atau belajar (to learn). Dalam arti yang kedua ini ilmu dipahami sebagai aktifitas, sebagaimana dikatakan Charles Singer bahwa ilmu adalah proses yang membuat pengetahuan. Sebagai aktifitas, ilmu melangkah lebih lanjut pada metode. 
Titus mengatakan bahwa banyak orang mempergunakan istilah ilmu untuk menyebut suatu metode guna memperoleh pengetahuan yang objektif dan dapat membuktikan kebenarannya.
Sedangkan, konsep mengenai agama memiliki banyak sekali definisi (Endang Saefudin Anshari, 1987: 117-118), hal ini dikarenakan sifatnya yang subjektif sehingga definisinya pun beragam sesuai dengan pemikiran orang yang mendefinisikan tersebut.
Dalam Musyawarah Antar Agama di Jakarta, 30 November 1967, terkait dengan agama, H.M. Rasjidi mengatakan bahwa agama adalah hal yang disebut sebagai problem of ultimate concern, oleh karenanya tidak mudah untuk didefinisikan. Mukti Ali menunjukkan tiga alasan mengapa agama sulit didefinisikan, yaitu pertama, pengalaman keagamaan bersifat batiniah dan subjektif. Kedua, membahas arti agama selalu melibatkan emosi. Ketiga, arti agama dipengaruhi oleh tujuan orang yang memberikan pengertian agama tersebut.
Agama secara etimologis berasal dari bahasa Arab “aqoma” yang berarti ‘menegakkan’. Sementara kebanyakan ahli mengatakan bahwa kata ‘agama’ berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu a (tidak) dan gama (berantakan), sehingga agama berarti tidak berantakan. Namun ada pula yang mengartikan a adalah cara dan gama berarti jalan. Agama berarti cara-cara berjalan untuk sampai kepada keridhaan Tuhan.
Selain dua pandangan tersebut, kata ‘agama’ sering disejajarkan dengan kata majemuk “negara kertagama” yang berarti peraturan tentang kemakmuran agama, atau juga dengan kata majemuk “asmaragama” yang berarti peraturan tentang asmara, dengan kata lain agama dalam hal ini dapat diartikan peraturan atau tata cara.
Agama yang dalam bahasa Inggris, Perancis dan Jerman disebut religion atau dalam bahasa Belanda disebut religie, diambil dari bahasa Latin, yaitu  relege (to treat carefully), relegare (to bind together) dan religare (to recover).
Dalam Islam ‘agama’ disebut dengan ‘dien’ yang oleh Moenawar Chalil dijelaskan bahwa: “Kata dien itu mashdar dari kata kerja daana – yadienu. Menurut lughat, kata dien itu mempunyai arti bermacam-macam, antara lain berarti: cara atu adat istiadat, peraturan, undang-undang, taat atau patuh, menunggalkan ketuhanan, pembalasan,  perhitungan, hari kiamat, nasihat, agama.”
Dalam Filsafat Perennial, agama memiliki dimensi eksoterik (bentuk) dan esoterik (substansi). Secara eksoterik di dunia ini dikenal banyak agama, namun diantara keragaman agama tersebut setiap agama memiliki substansi yang menjadi titik temu bagi keragaman tersebut. Agama yang dimaksud dalam tulisan ini secara eksoterik adalah Islam, namun secara esoterik tentu Islam memiliki nilai-nilai universal yang juga ada setiap agama.
Dari banyaknya definisi yang ada, agama yang dimaksud di sini adalah agama Islam, yakni agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW yang berlandaskan kitab suci al-Qur‘an.
Jadi yang dimaksud dengan integrasi ilmu dan agama adalah upaya untuk menyatukan antara ilmu dan agama Islam agar tidak terpisahkan satu sama lainnya.

ASAL USUL INTEGRASI ILMU


ASAL USUL INTEGRASI ILMU 


Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual Muslim, antara lain Naquid Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[1], tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia, misalnya berpendapat bahwa umat islam akan maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H / 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Gagasan kesatuan dan hierarki ilmu ini, menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda.
Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu (Osman Bakar, 1998: 612). Dengan demikian, gagasan integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu agama:
a.    Munculnya anbivalensi dalam sistem pendidikan islam
b.    Munculnya kesenjangan antara sistem pendidikan islam dan ajaran islam
c.    Terjadinya disintegrasi sistem pendidikan islam
d.   Munculnya inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali,ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a.    Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu ushul) yang meliputi ilmu tauhid, ilmu tentang kenabian, ilmu tentang akhirat, dan ilmu tentang sumber pengetahuan religius.
b.    Ilmu tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan, ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat, dan ilmu tentang kewajiban manusia terhadap jiwanya sendiri.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum kedalam beberapa ilmu yaitu:
a.    Matematika, yang terdiri dari aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, dan musik
b.    Logika
c.    Fisika atau ilmu alam, yang terdiri dari kedokteran, meteorologi, minerologi, dan kimia
d.   Ilmu-ilmu tentang wujud di luar alam atau metafisika, meliputi ontologi, pengetahuan tentang esensi, pengetahuan tentang subtansi sederhana, pengetahuan tentang dunia halus, ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, dan ilmu menggunakan kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak.



[1] Ismail Raji’Al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, (tanpa kota: tanpa penerbit, 1995). Hal. ix-xii.

MEKANISME PELAKSANAAN GADAI MENURUT HUKUM ISLAM

MEKANISME PELAKSANAAN GADAI MENURUT HUKUM ISLAM


Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.
Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :
1.      Aqid (orang yang melakukan akad) yang meliputi :
a.       Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
b.      Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
2.      Ma’qu>d ‘alaih (yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
a.       Marhu>n (barang yang digadaikan).
b.      Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
3.      Si>gah (akad gadai).[1]
Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :
1.      Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
2.      Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
3.      Marhu>n (barang gadaian).
4.      Marhu>n bih (hutang)[2].
Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[3]
Ad. I, Sigat Akad.
Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu  dengan cara bagaimana ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.
Ahmad Azhar Basyir mengatakan :
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[4]

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :
Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[5]

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[6]
 a. Sigat secara lisan.
Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari. 
b. Sigat akad dengan tulisan.
    Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai  tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya  tenggang waktu tersebut.[7]
c. Sigat akad dengan isyarat.
    Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.


d. Akad dengan perbuatan.
    Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.
Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).
Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :
ر فع القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[8]    
Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal yaitu :
a.      Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r ‘alaih.
b.      Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[9]
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[10]


[1] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.

[2] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183.

[3] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320
[4] Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :  65.

[5] Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.

[6] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.
[7] Ibid., hlm: 68-70.
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.


[9] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.

[10] Ibid., hlm: 327.

DASAR HUKUM GADAI

DASAR HUKUM GADAI


Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah :
و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[1]                                                                 
Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.
Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه[2]                                 
Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.
Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.
Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :
a.       Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
b.      Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
c.       Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
d.      Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[3].
Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :


الأصـل في الاشــيـاء الإبــاحــة[4]                                                 
Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.
Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.


[1] Al-Baqarah (2): 283.

[2] Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

[3] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm : 15-16.
[4] H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), hlm: 42.

Friday 30 October 2015

NEGARA, HUKUM DAN MASYARAKAT MADANI

NEGARA, HUKUM DAN MASYARAKAT MADANI
Oleh : Dahlan Thaib


Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa peristiwa mundurnya Soeharto di atas panggung kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan peristiwa historis bagi bangsa Indonesia untuk menemukan kembali hak-hak politiknya dalam negara hukum Indonesia, yang selama tiga dasa warsa lebih direbut dan dikekang oleh rezim yang menamakan dirinya sebagai pemerintah yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Jatuhnya pemerintah Orde Baru ditandai pula oleh antara lain perbincangan tentang peran negara, konsep negara hukum dan pelaksanaan sistem politik demokrasi melalui supremasi sipil serta peran masyarakat madani dalam kehidupan demokrasi.
Memang tidak dapat dipungkiri apabila kita melihat sejarah ketatanegaraan kita pada masa lalu sebelum Orde Lama dan Orde Baru peran masyarakat madani (civic society) cukup kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena itu berbicara tentang negara, hukum dan masyarakat madani tidak dapat tidak berarti kita berbicara mengenai pembangunan demokrasi di Indonesia. Pembangunan demokrasi di Indonesia dapat terwujud melalui pembentukan masyarakat madani atau civil society dalam praktek pemerintahan dan ketatanegaraan.
Dalam kaitan ini pertanyaan adalah apakah mungkin dimasa depan kita melaksanakan sistem politik demokrasi dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 lewat pemberdayaan masyarakat madani ?
Dengan segala keterbatasannya tulisan ini mencoba menelaah masalah tersebut dari sudut pandang konstitusi atau aspek ketatanegaraan.

Negara dan Hukum
Agenda pembicaraan tentang masyarakat madani (civil society) tidak dapat dipisahkan dari bahasan tentang negara. Perbincangan tentang negara dalam konteks pemberdayaan masyarakat madani menjadi penting, karena negara merupakan lembaga yang memiliki kekuasaan yang sangat besar yang melayani dan menyalurkan berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Negara dapat memaksakan kehendaknya kepada warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan kalau perlu, negara dapat memaksakan kekuasaannya untuk menggunakan Kekerasan fisik dalam memaksa kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah yang dikeluarkannya. Kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara merupakan pelembagaan dari kepentingan umum.1
Karena itu sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, negara dapat memaksakan kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di masyarakat. Pandangan inilah yang dominan di Indonesia selama lebih kurang tiga dasa warsa pemerintahan Orde Baru.
Dari apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya negara adalah organisasi kekuasaan. Oleh karena itu masalah kekuasaan, terutama dalam penyelenggaraan pemerintahan negara selalu aktual untuk menjadi bahan pemikiran dan renungan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan negara agar tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warganya, perlu ada aturan main yang diwujudkan melalui seperangkat kaedah hukum yang dalam kehidupan bernegara dituangkan dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian negara  dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.2
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, sejauhmana hukum atau konstitusi mampu membatasi kekuasaan. Salah satu contoh menurut konstitusi kita UUD 1945, DPR berfungsi untuk mengontrol pemerintah, namun fungsi kontrol itu tidak dapat dilaksanakan secara efektif selama pemerintahan Orde Baru. Demikian juga kemerdekaan berserikat seperti tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 sebagai basis bagi masyarakat madani untuk menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pengontrol bagi jalannya pemerintahan dipasung dan dibelenggu.
Kini setelah berakhirnya era orde baru dan memasuki era reformasi, masalah  klasik tetap timbul yakni masalah penegakan hukum disatu pihak dan pembatasan kekuasaan di pihak lain. Tidak berlebihan apabila kita dikemukakan, justru di era reformasi dewasa ini gema untuk menegakkan rule of law kembali bergaung dengan nyaringnya, sehingga tuntutan reformasi hukum merupakan sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan.
Gema tuntutan penegakan supremasi hukum dewasa ini tidak hanya sekedar dilatar belakangi oleh praktek-praktek politik pada masa lalu dikala hukum tidak berdaya berhadapan dengan kekuasaan, tetapi terlebih karena secara konstitusional prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan, merupakan prinsip-prinsip konstitusi yang harus ditegakkan. Secara tegas konstitusi kita UUD 1945 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa; negara Indonesia berdasarkan atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
Dari prinsip Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan dua pemikiran yaitu : Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya dilembaga legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari paham kedaulatan rakyat.
Kedua, dari apa yang tersirat dalam sistem pemerintahan negara yang pertama ialah bahwa sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan kekuasaan (power/macht). Namun dari anak kalimat yang berbunyi “….., tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka”, dapat kita simpulkan bahwa tidak ada sesuatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.3
Berdasarkan ketentuan konstitusi tersebut berarti pemerintah mempunyai kekuasaan yang terbatas dan tidak dibenarkan sewenang-wenang. Asas yang dianut dalam konstitusi tersebut haruslah tercermin dalam praktek penyelenggaraan negara. Artinya dalam praktek penyelenggaraan negara Indonesia, hukum harus mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya hukum dipecundangi oleh kekuasaan.
Oleh karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara hukum dan demokrasi yang seleras dengan cita-cita dan tujuan reformasi dewasa ini maka penyelenggaraan negara Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip konstitusi yang telah ditetapkan, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum dalam menuju kepada keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan.
Tegasnya dalam praktek ketatanegaraan ketentuan-ketentuan konstitusi harus dihormati, harus ditegakkan oleh penyelenggara negara. Namun demikian satu hal yang tidak dapat disangkal betapapun bagusnya konstitusi, dengan segala macam aturan permainan, namun akhirnya konstitusi tidak berdaya apabila menghadapi power play yang tidak mengindahkan konstitusi. Disinilah letaknya semangat atau moral penyelenggara negara.
Selama tiga dasa warsa semangat atau moral penyelenggara negara yang corrupt atau bersalah guna telah menempatkan hukum tidak berdaya menghadapi kekuasaan. Karena itu apabila kita membicarakan pemberdayaan masyarakat madani sebagai implementasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita UUD 1945, maka haruslah terlebih dahulu menempatkan hukum dalam posisi yang supreme dan menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.

Masyarakat Madani
Pembicaraan tentang masyarakat madani (Civil Society) sedikit tidaknya dapat kita kaitkan dengan bahasan negara dan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sebatas yang kita ketahui, orang yang pertama kali membicarakan tentang “pemerintahan sipil (Civilian government) adalah seorang filosof Inggris John Locke, yang telah menulis buku Civilian Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan.
Dalam misi pembentukan pemerintahan sipil tersebut John Locke membangun pemikiran otoritas rakyat untuk merealisasikan kemerdekaan dari kekuasaan elite yang memonopoli kekuasaan dan kekayaan. John Locke berpendapat bahwa semuanya itu dapat direalisasikan melalui demokrasi parlementer. Dalam hal ini, keberadaan parlemen sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja.4
Setelah John Locke, di Perancis muncul J.J. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The Social Contract (1762). Dalam buku tersebut Rousseau berbicara tentang pemikiran otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan antara manusia dan kekuasaan.
John Locke dan Rousseau membuka jalan pemberontakan terhadap berbagai dominasi kekuasaan dan kesewenang-wenangan, yang akhirnya melahirkan revolusi Perancis pada 1789 dan memasyarakatkan kesadaran baru. Sehingga pada permulaan abad XIX muncul pemikiran-pemikiran cemerlang yang mengobarkan pembentukan masyarakat madani. Masyarakat Madani akhirnya menjadi simbol bagi realitas yang dipenuhi dengan berbagai kontrol yang bersifat fakultatif, yang mencakup banyak partai, kelompok, himpunan, ikatan dan lain sebagainya dari berbagai corak di luar struktur kekuasaan, yang mengekspresikan kehadirat rakyat, yang mana hal itu mengakibatkan didirikannya berbagai macam lembaga swasta dalam masyarakat, untuk mengimbangi/melawan terhadap lembaga kekuasaan.5
Dari apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa sejak awal sampai sekarang ini pemikiran masyarakat madani bertujuan untuk menolak kesewenang-wenangan kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan negara, dan hal itu merupakan salah satu dari manifestasi penanaman demokrasi.
Para pendiri negara Indonesia sejak awal telah bersepakat untuk menciptakan masyarakat Madani, hal ini terbukti dengan dituangkannya pemikiran tersebut dalam beberapa pasal UUD 1945, seperti prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat 2), kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat (pasal 28), persamaan di depan hukum dan pemerintahan (Pasal 27), sistem negara hukum (Penjelasan UUD 1945), demokrasi ekonomi (Pasal 33) dsb.
Ternyata ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut selama 30 tahun tidak terealisasi sebagaimana mestinya. Dengan runtuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi menimbulkan harapan baru dari sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa kebangkitan dan pertumbuhan masyarakat madani telah tiba. Sehubungan dengan hal tersebut banyak gagasan dan perbincangan yang mendalam tentang pengembangan masyarakat Madani (Civil society), terutama dikalangan akademi.
Kalau kita berpatokan pada sejarah masa lalu ketika masyarakat madani cukup kuat memberikan andilnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sekaligus juga berpakotan pada ketentuan konstitusi paling tidak ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan masyarakat madani.
Pertama, sistem perekonomian yang baik dan demokratis, sehingga masyarakat tidak tergantung pada pemerintah (Pasal 33 UUD 1945).
Kedua, faktor kecerdasan bangsa (kualitas intelektual), yang menumbuhkan komitmen masyarakat untuk bersikap independen (alinea IV Pembukaan UUD 1945, tentang tujuan negara), dan yang ketiga adalah perwujudan kedaulatan rakyat dan strategi demokratisasi (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka pertama-tama diharapkan agar kaum intelektual/cendekiawan dapat memerankan diri sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial politik, karena fungsi sosial setiap cendekiawan ialah bertindak sebagai penyampai gagasan di masyarakat madani dan sebagai penghubung antara pemerintah dan masyarakat madani.
Dengan kadar keilmuan kaum cendekiawan menjadi harapan peran dalam kehidupan bermasyarakat yang dinamis. Cendekiawan hendaknya menjadi kelompok masyarakat yang dinamis dan mampu mengarahkan kehidupan masyarakat menuju tatanan yang adil dan teratur serta membawa masyarakat bangsa menuju kehidupan yang lebih religius berperadaban. Dan masyarakat seperti inilah yang disebut masyarakat madani.
Dalam banyak peristiwa sejarah di Indonesia mengambarkan betapa para cendekiawan berjuang keras melawan kekuasaan tirani di Indonesia.
Daftar Pustaka :
1.    Arief Budiman, Teori Negara; Negara Kekuasaan dan Ideologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.
2.    Fahmi Huwaydi, Demokrasi Opisisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Politik Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1996.
3.    Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982
4.    Sri Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987



                1 Arief Budiman, Teori Negara; Negara, Kekuasan dan Ideologi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996, Hal.3.
                2 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni, Bandung, 1987, Hal. 1-2
                3  Padmo Wahyono, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982, Hal.17-18
                4 Fahmi Huwaydi, Demokrasi Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Politik Islam, Penerbit Mizan, Bandung, 1996, Hal.295.

BIODATA

BIODATA 


NAMA      : H. MUDJIB, S.H, M.H.

ALAMAT : SIDOARJO

NO. HP     : 081553030095

PROFESI  : AKADEMIKUS


Thursday 29 October 2015

Hukum jual beli Khamer, Babi dan Patung

BAB I
PENDAHULUAN
1.      LATAR BELAKANG
Allah SWT menetapkan hukum-hukumnya, bukan tanpa makna ataupun arti. Dibalik ketetapan-ketetapan hokum Allah SWT tersebut terkandung rahasi-rahasia keagyngan bagi mereka yang mau mengkajinya. Begitulah ketetapan Allah SWT berlaku pada makhluknya. Dalam masalah jual beli khamar, bangkai, babi, dan berhala bahkan tentang riba yang itu adalah ketetapan yang hukumnya haram. Di sana terkandung hikmah dan rahasia yang bermanfaat bagi umat muslim, Jika kita tunduk untuk tidak melanggar ketentuan haram yang telah kita tetapkan oleh Allah SWT.
Sesungguhnya pada yang haram tersebut terkandung mudharat ( bahaya ) yang mengancam jiwa manusia. Tidak ada yang dapat diambil manfaatnya oleh manusia dari sesuatu yang telah di haramkan oleh Allah SWT.
Jual beli Khamr, Bangkai, babi dan berhala dari jenis barangnya saja sudah haram apalagi untuk kemudian mengkonsumsinya justru itu adalah mudharatnya lebih banyak. Mudharat yang kemudian di timbulkan oleh manusia yakni seperti mengakibatkan berbagai penyakit, hilangnya akal dan tidak bias membedakan yang haq dan yang bathil.
Begitu juga dalam jual beli dengan riba dan juga jual beli wara’ dengan emas secara utang. Praktek riba akan mengakibatkan rezki tidak berkah, Untuk mengetahui lebih lengkap dengan dalil-dalilnya maka akan di vahas di bab pembahasan.
2.      RUMUSAN MASALAH
A.    Bagaimana hukum jual beli khamer Babi Bangkai dan Patung?
B.     Apa dasar Hukum jual beli khamer Babi Bangkai dan Patung?


 
BAB II
PEMBAHASAN
1.      PENJELASAN HADIS
Haramnya Jual Beli Khamar, bangkai, babi, berhala Hadist : 1018




Hadist riwayat Jabir bin Abdullah ra. Bahwasanya ia mendengar Rasulullah saw. bersabda pada tahun penaklukan kota mekkah, ketika beliau masih berada di Mekah: “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya telah mengharamkan penjualan khamar, bangkai, babi dan patung-patung. Lalu ada seseorang bertanya: Wahai Rasulullah, bagaimana dengan lemak bangkai yang digunakan untuk mengecat perahu, meminyaki kulit dan untuk menyalakan lampu? Beliau menjawab: Tidak boleh, ia tetap haram. Kemudian beliau melanjutkan: Semoga Allah membinasakan orang-orang Yahudi. Sesungguhnya Allah swt. ketika mengharamkan lemak bangkai kepada mereka, mereka lalu mencairkannya dan menjualnya serta memakan harganya atau hasilnya. “ (HR Bukhori dan Muslim)






Penjelasan :
a.       Khamr
Khamr berasal dari bahasa Arab yang berarti menutupi. Di sebut sebagai khamr, karena sifatnya bisa menutupi akal. Sedangkan menurut pengertian urfi pada masa itu, khamr adalah apa yang bisa menutupi akal yang terbuat dari perasan anggur Dari Jabir, bahwa ada seorang dari negeri Yaman yang bertanya kepada Rasulullah SAWtentang sejenis minuman yang biasa diminum orang-orang di Yaman. Minuman tersebut terbuatdari jagung yang dinamakan mizr. Rasulullah bertanya kepadanya, “apakah minuman itu memabukkan?” “Ya” jawabnya. Kemudian Rasulullah menjawab Setiap yang memabukkan itu adalah haram. Allah berjanji kepada orang-orang yang meminum minuman memabukkan, bahwa dia akan memberi mereka minuman dari thinah al khabal. Mereka bertanya, apakah thinah khabal itu? Jawab Rasulullah,”Keringat ahli neraka atau perasan tubuh ahli neraka” (HR Muslim, An Nasa’i, dan Ahmad).
b.      Bangkai
Dalam bahasa arab Bangkai disebut Al-Mayyitah. Dalam pengertian bahasa Arab adalah sesuatu yang mati tanpa di sembelih. Sedangkan dalam ulama syari’at bangkai adalah Hewan mati tanpa sembelihan syar’i, dengan cara mati sendiri tanpa sebab campur tangan manusia dan terkadang dengan sebab perbuatan manusia apabila tidak sesuai sembelihan yang diperbolehkan.
c.       Babi
Mengenai Babi mungkin kita sudah mengetahui bersama bahwasanya Babi adalah najis, dan ia adalah sangat kotor dan diharamkan kepada manusia untuk memakan daging babi tersebut. Pemanfaatan babi hukumnya haram, baik atas daging, lemak maupun bagian lainnya, seperti yang dijelaskan di hadist di atas bukan hanya dagingnya, Tapi seluruh tubuh hewan babi.
Didalam hadits ini dijelaskan larangan menjual khamar, bangkai, babi dan patung berhala. Karena lemak gajih juga termasuk dalam kategori bangkai maka lemak gajih pun dilarang untuk diperjual belikan , dan karena bencinya Nabi Muhammad Saw. kepada kaum Yahudi yang mengelola lemak gajih tersebut untuk kebutuhan rumah tangga, beliau berdoa kepada Allah agar Allah membinasakan mereka. Pada dasarnya Nabi Muhammad melarang penjualan barang-barang yang tersebut diatas telah kita ketahui bahwa barang-barang tersebut adalah tergolong kedalam barang-barang yang najis, dan diharamkan hukumnya dalam islam
Yang dimaksud dengan “bangkai” dalam hadits diatas adalah binatang yang sudah kehilangan nyawaanya namun tidak lewat penyembelihan dengan menyebut nama Allah, tetapi disini dikecualikan bangkai belalang dan ikan.
Kata “babi” merupakan dalil atas diharamkannya menjual binatang tersebut dengan semua bagian tubuhnya.
Adapun mengenai diharamkanya menjual patung-patung berhala ialah karena benda tersebut tidak adanya manfaat yang diperbolehkan bagi umat muslim. Jadi apabila benda tersebut bisa dimanfaatkan setelah dihancurkan atau dipecahkan, maka menurut sebagian ulama boleh dijual. Namun mayoritas ulama tetap melarang dan mengharamkannya. Lemak gajih juga termasuk kedalam najis, oleh sebab itu Nabi Muhammad Saw. juga mengharamkan untuk digunakan atau diperjual belikan.
2.      JUAL BELI
Jual beli Adalah proses pemindahan hak milik/barang atau harta kepada pihak lain dengan menggunakan uang sebagai alat tukarnya.
Menurut etimologi, jual beli adalah pertukaran sesuatu dengan sesuatu yang lain. Kata lain dari jual beli adalah al-ba’i, asy-syira’, . Menurut terminologi, para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikannya, antara lain :
1.      Menurut ulama Hanafiyah ada bebearpa definisi jual beli yang dikemukakan, yang pertama saling menukar harta dengan harta dengan cara tertentu. Yang kedua tukar menukar sesuatu yang diingini dengan sepadan melalui cara tertentu yang bermanfaat. Unsure – unsur definisi ini mengandung pengertian bahwa cara yang khusus yang dimaksudkan ulama madhzab Hanafi. Adalah melalui ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan Kabul (pernyataan penjual dari penjual)
2.      Menurut Maliki, Syafi’i dan Hanbali jual beli adalah saling menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan pemilikan. Dalam hal ini mereka melakukan penekanan pada kata “milik dan pemilikan” karena ada juga tukar menukar harta tersebut yang yang sifatnya bukan pemilikan, seperti sewa menyewa.[1]

3.      DASAR HUKUM JUAL BELI
Jual beli sebagai sarana tolong menolong antara sesama manusia mempunyai landaasan yang kuat dalam Al Quran maupun Sunnah Rasulullah SAW. Banyak sekali ayat – ayat Al Quran yang bebicara mengenai jual beli, diantaranya surat Al baqoroh ayat 275 yang artinya “Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Hukum jual beli dari berbagai landasan dari Al quran maupun hadist Nabi Muhammad SAW.  ulama fikih mengatakan bahwa hukum jual beli ialah mubah (boleh) akan tetapi jual beli yang diperbolehkan tersebut juga mempunyai batasan – batasan atas apa yang diperbolehkan, karena jika praktik jual beli melewati batasan atas apa yang sudah dijaadikan pembatas atas diperbolehkannya jual beli sehingga praktik jual beli dapat berubah hukumnya bias menjadi haram.
Adapun rukun dan syarat jual beli meliputi diantaranya : karena ada perbedaan pendapat maka akan penulis paparkan sebagaimana berikut.
1.      Rukun jual beli menurut ulama madzhab Hanafi yaitu ijab (ungkapan membeli dari pembeli) dan Kabul (ungkapan menjual dari penjual) menurut mereka yang menjadi rukun jual neli adalah hanya kerelaan rida kedua belah pihak untuk berjual beli
2.      Rukun jual beli menurut jumhur ulama yang menyatakan bahwa rukun jual beli iu ada empat yaitu orang yang berakat (penjual dan pembeli), sigat (lafal ijab dan kabul), ada barang yang dibeli, ada nilai tukar untuk pengganti barang

Adapun syarat jual beli sesuai dengan rukun jual beli yang dikemukakan jumhur ulama diatas ialah sebagai berikut :
1.      Syarat yang berakad, (berakal, tidak gila, yang melakukan akan orang yang berbeda artinya seseorang tidak dapat bertindak dengan waktu bersamaan sebagai penjual sekaligus pembeli)
2.      Syarat yang terkait dengan ijab Kabul
3.      Syarat yang diperjual belikan (barang ada, dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia, milik seseorang, bisa diserahkan saat akad berlangsung atau pada waktu yang disepakati bersama.)[2]
4.      Syarat nnilai tukar (harga barang). Termasuk unsur terpenting dalam jual beli adalah nilai tukar dari barang yang dijual (untuk zaman sekarang adalah uang)



BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian-uraian diatas dapat disimpulkan dan diambil hukumnya:
1.      Allah SWT dan Rasulullah SAW mengharamkan jual beli barang atau makanan yang najis dan telah diharamkan oleh Islam.
2.      Walaupun itu sebagai cat kapal maka tetap hukum nya diharamkan jika barang tersebut berasal dari lemak bangkai
3.      Jual beli hukumnya diperbolehkan namun harus memahami dan melaksanakan rukun maupun syarat dalam jual beli



BAB IV
DAFTAR PUSTAKA

Himpunan dalil dalam Alquran dan hadist jilid 5
Ensiklopedi hukum Islam jilid 3 (Jakarta : PT ichtiar baru van hoeve)






 Haram Menjual Khamr, Bangkai, Babi dan Berhala / Patung (LM: 1018)

١- حديث جابر بن عبد الله رضي الله عنهما أنه سمع رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول عام
الفتح وهو بمكة:(إن الله ورسوله حرم بيع الخمر والميتة والخنزير والاصنام) فقيل: يا رسول الله!
أرأيت شحوم الميتة؟ فإنها يطلى بها السفن ويدهن بها الجلود ويستصبع بها الناس؟ فقال: "لا؟ هو حرام" ثم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:عند ذالك: "قاتل الله اليهود إن الله عزوجل, لما حرم شهومها؟ جملوه, ثم باعوه, فأكلوا ثمنه
.[1]",

معانى المفردات  
:  .٢
ممابؤكن) الخمر                :    (منومان -
   الميتة                :     بغكي -
   الحنزير              :      بابي -
   (فاتوغالأصنام              :      برهالا -
   شحوم               :      لماء (كاجيه) -
   السفن ج سفينة    :      كافل (فراهو
) -
   الجلود ج جلد       :      كوليت -

القصد من الحديث  .٣




[1]Ensiklopedi hukum Islam jilid 3 (Jakarta : PT ichtiar baru van hoeve)

[2] Ibid.

Ads Inside Post