Friday 6 November 2015

NILAI- NILAI DALAM KODE ETIK PROFESI HAKIM

Sebelumnya telah dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi profesi, dalam hal ini profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok kode etik profesi hakim. Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim, Apa saja bentuk dan jenis norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh para hakim. Hal inilah yang menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan pokok-pokok etika ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika dalam profesi hakim.
            Profesi hukum merupakan salah satu profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral bagi pengembannya. Nilai moral tersebut akan menjadi landasan bagi tindakannya. Ada 5 (lima) nilai moral yang terkandung dalam profesi hakim yaitu 1. Nilai kemandirian atau kemerdekaan.
            Di sini terkandung nilai profesi hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam melaksanakan tugasnya, tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula Hakim dalam menjalankan tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Hakim dalam menjatuhkan putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan kejujuran dan keseksamaan, yang diambil setelah mendengar  dan mempelajari keterangan-keterangan dari semua pihak. Nilai kemandirian atau kemerdekaan ini sangat penting karena tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak akan bisa ditegakkan.
            Hal ini memperjelas bahwa untuk mendukung terlaksananya tugas-tugas profesi hakim maka diperlukannya kemandirian hakim. Namun harus kita pahami bahwa kemandirian ini adalah bukan dengan identik dengan kebebasan yang mengarah kepada pada kesewenang wenangan. Tentu hal ini kembali kepada kemandirian moral dan keberanian moral. Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak  mudah mengikuti pandangan moral sekitarnya, melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh pertimbangan untung rugi, menyesuaikan diri dengan  nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk penyelesaian melaui jalan belakang yang tidak sah.[1] Hal ini dapat menjadikan seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor kemandirian moral dan keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.
2. Nilai keadilan.
            Kewajiban menegakan keadilan tidak hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka pengadilan harus mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam proses penyelengaraan peradilan yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara sederhana, cepat, dan biaya ringan.[2] Agar keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyaarakat, dengan tidak memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang dengan tetap memegang asas praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas sampai kepada hakim wajib menghormati hak seseorang (setiap orang yang tersangkut perkara berhak memperoleh bantuan hukum).[3] Serta memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau hukum yang diterapkan.[4]
3. Nilai kerja sama dan kewibawaan korp
            Nilai kerja sama ini diwujudkan dalam persidangan salah satunya dalam bentuk majlis dengan sekurang-kurangnya berjumlah sebanyak tiga orang hakim untuk memusyawarahkan hasil dari persidangan secara rahasia yang kemudian menjatuhkan putusan, disamping itu perlunya saling memberi bantuan dan adanya kerja sama dengan negara lain yang meminta keterangan, pertimbangan, atau nasehat-nasehat yang berkaitan dengan hukum.
4. Nilai pertanggungjawaban.
            Sikap pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan horizontal. Secara vertical berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan maupun kepada masyarakat luas.[5] Dan dalam kaitanya dengan putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar atas pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumberhukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[6] Nilai ini penting dalam meletakan tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang dibuatnya, sehingga putusan itu memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit), kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit). 
            Menurut O. Notohamidjojo, ada empat norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan, kepatutan, dan kejujuran. Keempat norma etis inilah yang akan dieksplorasi lebih jauh dalam penelitian ini.
a. Kemanusiaan
            Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum, manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran pribadi. Dalam hubungan person dengan kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya penjernihan makna tentang individu dan person. Karena pada dasarnya manusia itu mempunyai dua dimensi metafisis, yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda dari yang lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling menentukan. Individualitas berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan manusia menentukan prilaku temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan dirinya dalam bentuk emosi yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek sosialitasnya manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau persekutuan manusia. Sebagai akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan konflik akibat dari adanya saling menilai baik sebagai individu (nilai primer) maupun masyarakat (sekunder).[7]
            Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan artinya dalam penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.[8] Manusia menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang kadangkala memaksa manusia berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Sebagai contoh seorang mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan hidupnya, meskipun sadar bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut pertimbangannya, dari pada mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena itu, manusia yang diancam sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang telah dilanggarnya tetap diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati hak-hak asasinya.[9] Manusia memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, karena ia memiliki hak-hak individual. Namun dalam pelaksanaanya hak-hak tersebut berbenturan dengan hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kebebasan adalah hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satupun hukum buatan manusia yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan itu diperoleh dari hukum alam.[10]
            Dalam menjalankan profesinya, para profesional dituntut untuk menjalankan dua keharusan yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya secara bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan dampak pekerjaannya kepada orang lain, serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak orang lain, artinya keadilan menuntut kita untuk senantiasa kita berikan kepada yang berhak.
            Seorang hakim  dalam dalam bertindak harus memperhatikan sesuai yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan azas-azas peradilan, tidak menunjukan sikap memihak atau antipati kepada pihak yang berperkara dan tidak boleh bersikap diskrimimanatif karena perbedaan agama, kepercayaan, suku, keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Semua warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan hukum.
b. Keadilan
            Menurut Thomas Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai kebiasaan di mana orang satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi haknya didasarkan atas kehendak yang bersifat ajeg dan kekal. Keadilan sebagai salah satu bentuk kebajikan yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan sesamanya. Dalam pengertian ini Segala hal yang bertentangan dengan hak dianggap tidak adil. Dan seseorang disebut adil bila ia mengenali dan mengakui yang lain sebagai yang benar-benar berbeda dari dirinya sendiri.[11] Oleh karena itu seorang hakim disebut adil dalam keputusannya apabila memberi sanksi hukuman pada pelanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang menjadi haknya, melalui segala keputusan yang dibuatnya.
             Ada dua jenis tuntutan keadilan yaitu mentaatinya secara hukum dan secara moral. Secara hukum seorang pejabat telah disumpah untuk menjadi pengayom bagi setiap warga Negara, termasuk bawahannya sendiri, maka secara moral tidak dapat dibenarkan bila lari dari tanggung jawab setelah perbuatannya ternyata merugikan atau mendatangkan penderitaan bagi bawahannya. Keadilan dapat juga dalam bentuk kewajiban yang harus dibayarkan kepada orang lain. Seperti sanksi pidana terhadap pelaku kejahatan berfungsi untuk memulihkan pelanggaran pidana yang telah dilakukannya. Sanksi pidana berfungsi untuk memulihkan keadilan yang telah dirusak oleh pelaku kejahatan.[12]  
            Ada tiga bentuk dasar keadilan yaitu :
                        Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia commutative), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan individu lain sebagai partner.
                        Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia distributive), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau negara.
                        Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia legalis, iustitia generalis), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan antara individu terhadap masyarakat atau negara.[13]
            Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang ditangani  sehingga keputusan yang dibuat benar-benar adil, tidak berpihak. Hakim dalam memutuskan perkara tumbuh dari integritas (kejujuran dan keterbukaan) dan keberanian without fear ar favor tanpa takut dan memberikan keuntungan kepada pihak yang berperkara.[14] Karena apabila terdapat atau terjadi penyelewengan terhadap kode etik sebagai salah satu acuan atau pedoman tingkah laku dalam menjalani profesinya, maka tempat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui wadah formal yang ada yaitu komisi kehormatan profesi hakim.
c. Kejujuran
            Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan pengertian tentang kebenaran terutama berkaitan dengan bidang hukum dan moral. Kejujuran sendiri merupakan kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur dan terdapat dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar individu. Sehingga Setiap penegak hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum, dalam melayani pencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan erat dengan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio) dan kebenaran hati nurani.
d. Kepatutan
            Kepatutan (equity) merupakan satu term yang tidak dapat dipisahkan dengan term keadilan Kepatutan (equity). Kepatutan dilakukan secara praktis. Biasanya berupa nilai atau penilaian atas berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan putusan hakim yang didasarkan atas keberadaan suatu hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakuannya tidak mengenal perkara, kasus istimewa, barulah menenguk makna "equity" atau apa yang patut atau layak.
            Keadilan pada dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap objektif, apa adanya dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual. Yang diperlukan manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi dirinya, sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal ini pula orang memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan situasi dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan akan menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi khusus.[15] Dan kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa yang layak, dalam hukum bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil secara moral. Karena putusan hakim akan patut apabila  menunjukkan perbuatan yang patut dibuat, dan tidak mengandung cacat bagi putusan pengadilan.


[1] Dikutip dari Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, cet. ke-2, (Bandung : Citra Aditya bakti, 2001), hlm. 62-64.
                [2] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 Ayat (1) dan (2).

                [3] Ibid.., Pasal 37.

                [4]  Ibid.., Pasal  9.
                [5] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat Hukum, cet. ke-6, (Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.288-291.

                [6] Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok .., Pasal  25 Ayat  (1).
                [7]  E. Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm.115-118.       

[8] Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum., hlm. 115-116.

[9] Ibid., hlm. 116.

[10] Ibid.., hlm. 118-119.

                [11] I bid.., hlm.122.

                [12]  Ibid.., hlm. 123-124.

[13] Ibid.., hlm. 125.
                [14] Ruway 'I ar-ruhaily, Fiqih Umar II, (Jakarta : Daar-AlGharbi Al Islami, Beirut). hlm.114.
[15] Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm. 131-132.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post