Wednesday 4 November 2015

TUGAS, FUNGSI, KEDUDUKAN DAN KEWAJIBAN HAKIM DI LINGKUNGAN PERADILAN AGAMA

Tugas, Fungsi, Kedudukan, dan Kewajiban Hakim di Lingkungan Badan Peradilan Agama

1. Tugas hakim
Dalam peradilan, tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum, menetapkan apa yang ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian yang menjadi tugas pokoknya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelasaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
            Dari banyaknya masalah yang ada, tidak semuanya ada peraturan perundang-undangannya yang mengatur masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah hal ini hakim tidak perlu untuk selalu berpegang pada peraturan-peraturan yang tertulis saja, dalam keadaan demikian tepatlah apabila hakim diberi kebebasan untuk mengisi kekosongan hukum. Untuk mengatasi masalah tersebut hakim dapat menyelesaikannya dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang dikenal dengan hukum adat. Sehingga dengan demikian tidak akan timbul istilah yang dikenal dengan sebutan kekosongan hukum. Kewenangan hakim untuk melakukan hal demikian ini sesuai pula dengan apa yang telah ditentukan dalam pasal  16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
            Dengan melihat kenyataan di atas, maka tampak jelas bahwa dalam hal ini hakim harus aktif dari permulaan sampai akhir proses, bahkan sebelum proses dimulai, yaitu pada waktu penggugat mengajukan gugatan, hakim telah memberikan pertolongan kepadanya. Sedangkan setelah proses berakhir, hakim memimpin eksekusi.
            Aktifnya hakim dapat dilihat dari misalnya dengan adanya usaha dari hakim untuk mendamaikan dari kedua belah pihak. Bentuk yang lain misalnya, tindakan hakim untuk memberikan penerangan selayaknya kepada para pihak yang berperkara tentang upaya-upaya hukum apa yang dapat mereka lakukan, atau tentang pengajuan alat-alat bukti, sehingga dengan demikian pemeriksaan dapat berjalan dengan lancar.
            Selain bersifat aktif, hakim bersifat pula pasif, dalam arti bahwa ruang lingkup atau luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya membantu para pencari keadilan dan mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya keadilan. Dalam hal ini, para pihak dapat secara bebas mengakhiri sengketa yang telah diajukan ke muka pengadilan, sedang hakim tidak dapat menghalang-halanginya, hal ini dapat dilakukan dengan jalan perdamaian atau pencabutan gugatan. Dengan demikian hakim tidak menentukan luas dari pokok sengketa, yang berarti hakim tidak boleh menambah atau menguranginya.
            Dari sini dapat disimpulkan, bahwa hakim bersifat aktif kalau ditinjau dari segi demi kelancaran persidangan, sedangkan hakim bersifat pasif kalau ditinjau dari segi luasnya tuntutan.
            Tugas hakim pengadilan agama di dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, bukan sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga keadilan.[1]
            Dalam penjelasan atas Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 1, dijelaskan:
Kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.

            Dicantumkannya pernyataan itu pada pada penjelasan undang-undang dimaksudkan agar mata, hati, dan telinga hakim terbuka terhadap berbagai tuntutan yang berkembang dalam masyarakat. Dengan demikian, dalam melaksanakan kewajibannya, ia tidak hanya berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan keadilan yang diucapkan atas nama Tuhan Yang Maha Esa.
            Disamping yang lahiriyah, terdapat tanggung jawab hakim yang bersifat batiniah, yaitu:
Bahwa karena sumpah jabatannya, dia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, kepada diri sendiri, dan kepada rakyat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan bahwa pengadilan dilakukan, ‘Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. [2]

            2. Fungsi Hakim
            Fungsi hakim adalah menegakkan kebenaran sesunggyuhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa,[3] melainkan dari itu harusdiselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa. Artinya hakim pengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas.
Di sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih derdapat pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.    
3. Kedudukan Hakim
Kedudukan hakim adalah sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.[4] Hakim juga harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, professional, dan berpengalaman dalam bidang hukum, dan bagi soerang hakim dituntut dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian peradilan.
4. Kewajiban Hakim
Adapun kewajiban hakim menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004 sebagi pengganti UU No. 14 tahun 1970 adalah:
  1. Memutus demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan : a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 4 ayat 1).
  2. Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (pasal 28 ayat 1).
  3. Dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman, hakim wajib memberhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya (pasal 28 ayat 2).
Dengan demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk, baik perkara tersebut telah di atur dalam undang-undang maupun yang tidak terdapat dalam ketentuannya. Di sini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya, hakim harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk undang-undanguntuk memeriksa dan menggali perkara dengan penilaian yang obyektif pula, karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara dan tidak boleh memihak salah satu pihak.


[1] Hal ini secara resmi tercantum dalam pasal 4 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman: “Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
[2] Penjelasan UU No. 14 Tahun 1970, I umum, butir enam, alinea terakhir.

[3] Abdul Kadir Muhammad, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Bandung: Citra Aditya Bakti, 1992), hlm. 37.
[4]  UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Karina, 2004) hlm. 35.

[5] UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, (Surabaya: Karina, 2004) hlm. 26.

[6] Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, hlm. 204.


No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post