Wednesday 4 November 2015

PROBLEMATIKA PERKAWINAN WARIA


PROBLEMATIKA PERKAWINAN WARIA 


         
            Undang-undang hanya mengenal istilah laki-laki dan perempuan, selain itu, undang-undang juga hanya mengatur perkawinan yang dilakukan dengan lawan jenis kelamin, yakni antara laki-laki dan perempuan. Undang-undang tidak mengatur perkawinan yang dikakukan oleh sesama jenis kelanin, misalnya, antara perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan laki-laki  dan waria dengan laki-laki. Meskipun telah terdapat lembaga tertentu yang mau menikahkan laki-laki dengan laki-laki (gay), setelah beberapa negara Eropa melegalkan pernikahan ini. Namun di Indonesia, pernikahan semacam ini tetap belum dapat diakui keabsahannya sehingga belum mempunyai kekuatan hukum.
 Waria merupakan istilah yang ada dan dipakai oleh masyarakat untuk memanggil laki-laki yang berdandan dan bertingkah sebagaimana perempuan yang diartikan dengan wanita pria atau wanita tetapi pria. Dan istilah lain yang digunakan untuk menyebut waria adalah wadam, wandu dan banci. Oleh karena itu, apabila ada laki-laki yang lembut seperti manita sering disebut banci.  
Kehadiran waria yang sering disebut sebagai kaum ketiga memang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, terutama dalam masalah perkawinan. Sebagaimana diketahui, bahwa pada umumnya perkawinan dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin yaitu antara laki-laki dan perempuan, sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu memperoleh keturunan yang sah[1]). Tetapi tidak setiap perkawinan membuahkan keturunan. Bagi sebuah keluarga yang tidak dapat menghasilkan atau tidak mempunyai keturunan biasanya mengadopsi anak dari saudaranya,  panti asuhan atau dari keluarga yang tidak mampu.
Demikian juga dalam “perkawinan” waria, sebab tidak mungkin seorang waria dapat melahirkan walaupun telah melakukan operasi kelamin, karena waria tidak mempunyai dan tidak mungkin dibuatkan rahim juga indung telur sebagaimana yang dimiliki seorang perempuan. Jadi, salah satu solusi waria ketika memutuskan untuk berkeluarga dan merasa telah siap baik secara materiil maupun immateriil adalah dengan melakukan adopsi[2]) atau merawat anak suami atau lekongnya, bila ada, dengan harapan sama dengan orang tua pada umumnya, yaitu agar ada yang mengurusinya jika kelak sudah tua disamping adanya naluri keibuan yang dimilikinya.
Namun pada umumnya, seorang waria  bila belum benar-benar merasa siap terutama secara ekonomi, tidak akan melakukan adopsi. Hal ini disebabkan karena bagi mereka anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan baik. Oleh karena itu, maka mereka harus bisa memberikan pendidikan yang layak dan juga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak adopsinya –sebagaimana yang dikatakan YS, dengan tidak keluar malam lagi misalnya, sebab bila masih keluar malam akan memberikan contoh yang tidak baik bagi seorang anak. Bila seorang waria telah merasa siap untuk melakukan adopsi, biasanya mereka lebih memilih mengadopsi keponakan mereka sendiri atau mengadopsi dari orang yang tidak mampu dengan cara membiayai ibu yang hamil tersebut mulai dari proses kehamilan hingga melahirkan.

A. Latar Belakang Kehidupan Waria
Dunia waria, wadam atau banci bagi banyak orang merupakan bentuk kehidupan anak manusia yang cukup aneh. Sebab, sosok waria yang dikenal lekat dipikiran orang adalah sosok yang biasa genjrang genjreng di jalan dan akrab dengan kehidupan malam sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pekerjaan sebagai penjaja seks di kalangan waria disebut nyebong, sedang pekerja seks di kalangan gay disebut kucing. Sehingga diindikasikan bahwa penyakit-penyakit mematikan – sering juga disebut penyakit kutukan – seperti penyakit kelamin dan aids banyak menyerang kaum ini.  
Sebagai sebuah kepribadian, kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara individu maupun sosial. Secara individual, lahirnya perilaku waria tidak lepas dari satu dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak sesuai dengan kondisi psikisnya. Hal ini, menimbulkan konflik psikologis dalam diri mereka. Sehingga membuat mereka mempresentasikan perilaku yang oleh kebanyakan orang dianggap menyimpang. Di lain pihak, mereka juga dihadapkan pada konflik sosial dalam berbagai pelecehan[3]). Hal ini disebabkan karena belum semua anggota keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadiran mereka. Kehadiran waria seringkali dianggap sebagai aib, sehingga mereka sering dicemooh, dilecehkan dan bahkan dikucilkan.
Kendala hidup sebagai waria, bila dilihat dalam konsepsi Berger, sebagaimana yang dikutip oleh Koeswinarno, mengandung dua implikasi yang berjalan sejajar[4]), yaitu :
 Pertama, karena sebelumnya masyarakat telah memberikan makna tertentu terhadap dunia waria, maka dengan sendirinya ketika seorang waria mempresentasikan perilakunya secara langsung atau tidak dipengaruhi oleh batasan-batasan makna yang diberikan masyarakat.
Kedua, batasan-batasan makna dunia waria sendiri dapat berakar dari presentasi perilaku waria yang hadir dan ditangkap oleh masyarakat. Akibatnya terjadi proses dialektika antara dunia waria dengan masyarakat pada umumnya. 
Beberapa ahli pada umumnya tidak membagi waria secara tersendiri, namun dari wawancara yang penyusun lakukan para waria di Yogyakarta cenderung membedakan antara waria dengan transeksual. Menurut mereka, transeksual mengalami peperangan atau ketidak cocokan antara kondisi fisik dengan psikologinya, yang mengakibatkan adanya keinginan untuk mengganti kalaminnya sesuai kondisi jiwanya melalui operasi. Sedangkan waria, meskipun ada kesenjangan antara kondisi fisik dan psikologinya namun mereka bisa menerima kondisinya tersebut dan tidak ingin melakukan operasi pergantian kelamin guna menyelaraskan fisik dan jiwanya. Demikian juga menurut Yash – dari wawancara yang dia lakukan dengan waria di Yogyakarta – bahwa waria tidak memenuhi kriteria sebagai transeksual[5]).     
Mengintip kehidupan kaum waria tidak sesederhana orang mendefinisikan. Waria yang sebenarnya adalah mereka yang menderita transeksual atau mengalami transgender, yakni individu yang secara psikis menolak kelamin fisiknya[6]). Oleh karena itu, masyarakat umum biasanya tidak membedakan antara transeksual, homoseksual, dan transvestit. Hal ini disebabkan karena tingkat kesulitan untuk membedakannya. Sebab bila dilihat sekilas mereka adalah sama-sama pelaku seks sejenis, kecuali transvestit yang bersifat hetero meskipun terkadang juga homo. Namun bila diteliti lebih mendalam mereka berbeda dan tidak terkait antara yang satu dengan yang lainnya. Satu hal yang membedakan antara kaum waria dan homoseks adalah dalam hal berpakaian. Seorang homoseks tidak perlu berpenampilan dengan memakai pakaian perempuan karena kaum homoseks memang tidak menganggap dirinya sebagai perempuan. Berbeda dengan waria yang menganggap bahwa dirinya perempuan karena sebuah dorongan psikhis, sehingga mereka perlu memakai pakaian dan berpenampilan sebagaiaman seorang perempuan (cross dressing), hal ini juga berlaku pada kaum transeksual. Sedangkan kaum transvestit memakai pakaian lawan jenisnya dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan biologis.  
Waria dan gay merupakan kaum yang sama-sama melakukan hubungan seks sejenis, namun satu hal yang membedakan mereka adalah seorang waria ketika melakukan peranan seksnya lebih memposisikan diri sebagai perempuan sedang gay tidak demikian. Seorang homoseks secara fisik maupun psikis sangat mapan dengan jenis kelamin yang mereka miliki. Mereka laki-laki dan berperilaku sebagaimana laki-laki. Akibatnya, ekses perilaku kaum waria jauh lebih kompleks dibanding dengan kaum homoseksual[7]).
Pada umumnya gejala kewariaan telah dirasakan oleh seorang waria sejak ia masih kecil. Namun sebagian di antara mereka biasanya belum sadar dan tahu keanehan apa yang terjadi pada dirinya. Dengan berjalannya waktu biasanya mereka mulai berusaha mencari hingga kemudian menyadari siapa dan bagaimana dirinya yang sebenarnya. Dari sini, kehidupan mereka sebagai waria akan mereka mulai, meskipun awalnya kebanyakan keluarga mereka menentang dan bahkan menikahkan mereka dengan seorang perempuan dengan harapan mereka bisa disembuhkan. Namun, kebanyakan usaha tersebut mengalami kegagalan dan meskipun dengan berat hati akhirnya keluarga bisa menerima mereka dengan segala kekurangan mereka.
Bila pihak keluarga tetap tidak bisa menerima keberadaan mereka, maka biasanya mereka akan cenderung menyembunyikan keberadaan mereka yang sebenarnya pada keluarganya. Sebagaimana yang dialami Weni, karena kefanatikan hingga sekarang keluarga Weni tidak mengetahi bahwa Weni selama ini telah menjalani hidup sebagai waria. Keluarga Weni menganggap dan berharap bahwa Weni adalah laki-laki yang bersifat feminin, dengan selalu berpesan kepada Weni agar bersikap biasa saja, sehingga Weni juga cenderung menutup diri kepada keluarganya.
Dalam konteks suku laut, yang menjadi asal muasalnya kepribadian waria adalah kelainan atau dorongan psikis bahwa dirinya adalah perempuan yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Oleh karena itu, mereka juga berpenampilan selayaknya perempuan. Kelainan psikis yang mereka rasakan pada usia kanak-kanak tersebut merupakan salah satu indikasi munculnya kepribadian waria[8]).    
Meskipun pada umumnya, sebelum seorang waria menemukan dan memutuskan untuk menjalani hidup sebagai waria, mereka mengalami proses pencarian jati diri yang mungkin sangat melelahkan, namun ada juga yang tanpa mengalami proses pencarian jati diri karena ia telah sadar dan menemukan dirinya sebagai waria sejak kecil, sebagaimana yang dialami oleh Maya dan Emy misalnya. Pengaruh keluarga dan lingkungan pada Maya dan Emy, sangat dimungkinkan dalam perkembangan mereka sebagai waria. Sebab mereka mengaku bahwa sejak kecil mereka sering diperlakukan seperti perempuan. Ketika masih kecil Emy sering didandani oleh kakak perempuannya dan dipakaikan baju perempuan. Sedangkan Maya selalu dibelikan rok oleh bapaknya ketika pulang dari bepergian. Selain itu, di sekolah Maya juga diperlakukan seperti perempuan oleh teman-temannya, setelah selesai belajar kelompok malam hari Maya selalu diantarkan pulang oleh teman laki-lakinya misalnya, padahal hal yang sama tidak berlaku bagi teman laki-laki Maya yang lain.        
Berbicara mengenai waria, tidak bisa dilepaskan dengan orientasi seks yang  dilakukan. Ketika dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara spikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu laki-laki, walaupun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan, sebagaimana yang dilakukan artis kenamaan Dorce. Namun, Fais – seorang transeksual perenpuan ke laki-laki – mengatakan bahwa ia adalah hetero karena tertarik pada perempuan, justeru bila terarik pada laki-laki ia bisa dikatakan homo[9]).
Bila diperhatikan lebih lanjut, keberadaan status waria sebagai kaum marjinal tersebut bukan atas kehendak mereka ataupun karena lingkungan yang mempengaruhi. Asumsi ini berdasarkan pada apa yang terjadi dan dapat dilihat pada Syaiful (salah satu tokoh gay di Malang), misalnya, yang mengatakan bahwa waria, gay maupun lesbi tidak terbentuk dari lingkungan. Dengan perkataan lain, lingkungan tidak pernah mempengaruhi terciptanya waria, gay maupun lesbi tetapi hanya memberikan peluang. Dari peluang itu, selanjutnya mereka berusaha mencari jati dirinya dan kemudian menemukannya dalam bentuk lain, yaitu waria, gay dan lesbi[10]). Padahal, untuk diketahui, Syaiful terlahir dan tumbuh dalam lingkungan sebuah keluarga muslim yang taat. Sejak kecil ia mengenyam pendidikan agama yang ketat di pondok pesantren milik kakeknya di Pasuruan. Namun, lingkungan yang telah mendidiknya begitu ketat tersebut ternyata tetap tidak bisa menghalanginya untuk menjadi seorang gay atau homo. Dalam proses pencarian jati diri selanjutnya, dia juga mencoba untuk menjadi waria, namun tidak bisa karena dirinya memang bukan terlahir sebagai waria melainkan gay.
Kebanyakan waria di Indonesia terjebak pada pekerjaan pelayanan seks atau yang biasa disebut PSK (pekerja seks komersial). Hal ini disebabkan sulitnya mencari partner pemuas seks dan alasan ekonomi, sebab kebanyakan orang tua bersikap negatif menanggapi perubahan tingkah laku anaknya, sehingga mereka memilih pergi dari rumah walaupun tanpa bekal ketrampilan. Apologi inilah yang sering digunakan waria kenapa ia bekerja sebagai PSK, namun tidak sedikit juga waria yang bekerja di salon atau bergabung dengan LSM. Hingga sekarang, meskipun sudah banyak masyarakat yang telah dapat menerima keberadaan waria, tetapi ada juga orang yang masih beranggapan bahwa seolah-olah waria adalah alien yang tersesat di bumi.
Padahal bila dicermati lebih mendalam, hal paling mendasar yang mengakibatkan perbedaan dalam diri manusia adalah karena penciptaan manusia secara umum tidak bisa lepas dari keterlibatan orang tua dalam proses reproduksi, yang sangat mempengaruhi kondisi atau bentuk fisik dan psikis anak yang dilahirkannya[11]). Bila umur seorang ibu dalam proses reproduksi terlalu muda maka dapat mengakibatkan otak anak yang dilahirkannya kurang cerdas. Begitu juga sebaliknya bila umur ibu terlalu tua maka anak yang dilahirkannya secara fisiologis maupun psikologis kurang sempurna, misalnya secara fisik ia seorang laki-laki tapi secara psikologis ia seorang wanita, atau biasa disebut waria (wanita-pria). Selain itu, fantasi seorang ibu ketika hamil atau proses reproduksi juga sangat mempengaruhi perkembangan kejiwaan anak, sebagaimana yang terjadi pada Chenny Han[12]).       
Merlyn dan Vinolia (tetua waria Yogyakarta) serta waria pada umumnya mengatakan, bahwa sejak kecil mereka sudah merasa bahwa dirinya bukanlah laki-laki, tetapi mereka tidak berani mengatakan bahwa mereka perempuan, karena mereka tahu bahwa perempuan memiliki vagina sedangkan mereka memiliki penis. Setelah menginjak dewasa dan setelah melalui proses pencarian yang panjang mereka baru bisa menemukan jati dirinya dalam bentuk waria. Namun, mereka tidak menyesali atau megutuk Tuhan tidak adil, walaupun sikap masyarakat sangat tidak arif pada mereka. Mereka juga mengatakan bahwa waria bukanlah penyakit turunan, karena tidak ada satupun dari leluhurnya yang berstatus waria.
Kondisi kaum waria memang sangat berbeda dengan jenis-jenis kondisi seksual lainnya yang masih serumpun seperti : homo, lesbi[13]), pedofilia[14]), dan lain sebagainya. Menurut FX. Rudi Gunawan, sebagaimana yang dikutipnya dari pasangan pakar seks, William H. Master dan Virginia E. Johnsons, menurutnya terdapat tiga faktor utama yang dapat menyebabkan lahirnya seorang waria sebelum kelahiran[15]). Ketiga faktor itu adalah pertama, disebabkan oleh terjadinya kelainan kromosom[16]) seks. Kedua, terjadi karena kondisi genetik yang berbeda atau faktor hereditas (bawaan) yang disebabkan ketidak-seimbangan hormon-hormon seks. Dan yang ketiga, karena pengaruh obat-obatan yang diminum sang ibu selama masa kehamilan. Jadi seseorang  yang terlahir sebagai waria karena ketiga sebab di atas tidak dapat disalahkan. Justru disana dapat dilihat kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuknya.
Kromosom yang ada dalam tubuh sangat berpengaruh pada proses pembentukan jenis kelamin manusia, kromosom X membawa gen-gen yang menentukan sifat perempuan dan kromosom Y merupakan kromosom yang memiliki gen-gen untuk sifat laki-laki. Dalam sel tubuh manusia mengandung 46 buah kromosom, yakni terdiri dari 44 (= 22 pasang) kromosom autosom[17]) pembawa watak dan 2 (=1 pasang) kromosom kelamin[18]) atau penentu jenis kelamin[19]). Seorang perempuan normal memiliki satu pasang kromosom atau dua kromosom-X (XX), maka ia memiliki satu kromatin kelamin dan dinamakan kromatin positif. Sebaliknya laki-laki normal hanya memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y, jadi ia tidak memiliki kromatin kelamin[20]) sehingga dinamakan kromatin negatif.
Namun tidak semua perempuan memiliki kromosom XX, begitu juga laki-laki tidak selalu memiliki kromosom XY. Perempuan yang mempunyai kelainan kromosom kelamin disebut sindrom turner atau ovaricular dysgenesis yaitu individunya perempuan, tetapi ia kehilangan sebuah kromosom-X sehingga hanya memiliki 45 kromosom, dengan formula kromosom 22AAXO, karena ia kehilangan satu kromosom-X maka ia cenderung akan kehilangan ciri keperempuanannya. Hal ini terjadi karena ovum yang tidak mengandung X dibuahi oleh kromosom-X[21]). Sedangkan kelainan pada laki-laki disebut sindrom klinefelter atau testicular dysgenesis, yaitu individunya laki-laki , ia kelebihan sebuah kromosom-X, sehingga memiliki 47 kromosom, dengan formula kromosom 22AAXXY[22]). Biasanya gen dominan memperlihatkan pengaruhnya pada individu laki-laki maupun perempuan. Sebagaimana kasus di atas, maka laki-laki yang memiliki kromosom XXY akan cenderung seperti perenpuan karena kromosom-X lebih dominan dari pada kromosom-Y. Kemudian untuk mengetahui jenis kelamin embrio atau orang dewasa yang diragukan susunan genetisnya dapat dilakukan tiga macam tes yang populer dipakai untuk mengetes jenis kelamin yang sebenarnya sesuai dengan susunan genetis, yaitu sex chromatine, drumstick, kariotipe[23]).
Pada kasus waria yang disebabkan ketidak-seimbangan hormon, bukan sekedar kejiwaannya saja yang kewanita-wanitaan atau kelelaki-lakian, tetapi hormon yang mengalir dalam darahnya pun menunjukkan hal tersebut. Dalam Isla>m melalui hadi>s\ Rasu>lulla>h telah disinggung masalah disintegrasi identitas seksual kaum waria dengan pengharaman laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki. Dalam hal transeksual dengan sebab seperti di atas, tidak ada salahnya untuk menghilangkan unsur fisik lainnya yang kurang dominan, dan memunculkan unsur fisik lain yang lebih dominan.

2nd.          Waria dalam Berbagai Perspekti­f
Manusia terdiri atas raga dan jiwa yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bila salah satunya menderita sakit maka penyakit tersebut akan mengenai keduanya (jiwa dan raga). Tetapi permasalahannya ialah bagian mana yang lebih besar dilibatkan, soma (raga) ataukah psikenya (jiwanya).
Fenomena waria, dalam psikologi disebut sebagai gejala abnormalitas seksual. Dan gejala abnormalitas ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan pengalaman seseorang. Hal ini selaras dengan pendapat beberapa ahli, sebagaimana dikutip oleh Koeswinarno, bahwa keadaan abnormalitas seseorang, apapun bentuknya, tidak dapat dipisahkan dari proses perkembangan manusia, sejak ia berada dalam kandungan, lahir dan dibesarkan di alam dunia[24]).
Pada mulanya orang mengira bahwa seksualitas dimulai dari masa pubertas atau masa remaja. Sebelum itu hasrat untuk memperoleh kepuasan seksual belumlah ada. Padahal tidaklah demikian, sebab di setiap tubuh manusia terdapat suatu kekuatan atau energi yang dapat digunakan untuk menggerakkan tubuh dan diarahkan oleh perasaan yang disebut ego. Ego mengarahkan energi untuk mencari makan dan minum, sedang impuls libido mengarahkan energi untuk mencari kepuasan seks. Perasaan ego disebut lapar dan haus, sedang perasaan seks disebut syahwat. Dan kedua perasaan – ego dan seks – tersebut merupakan kebutuhan manusia yang disebut nafsu[25]).   
Seksualitas selalu terkait erat dengan obyek dan tujuan dilakukannya perbuatan seksual tersebut, baik seksualitas normal maupun abnormal. Pada umumnya perempuan dan laki-laki tertarik pada lawan jenisnya, perempuan tertarik pada laki-laki begitu pula laki-laki tertarik pada perempuan. Namun kenyataan membuktikan bahwa terdapat beberapa laki-laki yang tertarik pada sesama laki-laki (homoseks) dan perempuan tertarik pada perempuan (lesbian), selain itu ada juga, laki-laki yang berpenampilan dan berperilaku sebagaimana perempuan – biasa disebut waria – yang hanya tertarik pada laki-laki. Selain kelainan-kelainan di atas masih dikenal beberapa kelainan seksual yang lain, diantaranya ialah hyperseksualitas, hyposeksualitas atau frigiditas, impotensi, bestialitas, necrophylia, voyeurisme, troilisme, ekshibitionisme, incest[26]).
Untuk menganalisis kelainan-kelainan seksual tersebut diperlukan kajian yang mendalam hingga bisa diketahui penyebabnya sekaligus dicari solusi pencegahan dan menyembuhannya – bila dimungkinkan. Selain itu, dengan kajian mendalam tersebut juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang kelainan-kelainan seksual di atas yang dapat terjadi pada siapa saja dan dimana saja. Sebab kelainan-kelainan tersebut bukan merupakan penyakit keturunan yang hanya dapat dialami oleh orang – orang yang mempunyai keluarga atau orang tua yang memiliki kelainan seksual. Kebingungan masyarakat umum untuk membedakan orang yang benar-benar mengalami kalainan identitas seksual dan yang tidak, mengakibatkan mereka salah kaprah dalam memahami dan menilai keberadaan orang yang mengalami kelainan tersebut.


[1]) Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi , Maliki, Hanbal, cet. ke-10, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1983), hlm. 1.

[2]) Bagi YS dan Tika, adopsi bukanlah persoalan yang mudah. Menurut mereka, bila mereka melakukan adopsi maka mereka harus sudah siap segalanya terutama materi. Sebab adopsi menurut mereka bukan asal comot anak, tetapi juga harus memberikan penghidupan (makan) dan juga pendidikan yang layak sebagaimana yang dilakukan orang tua terhadap anaknya. Oleh kerena itu, mereka lebih senang merawat keponakan-keponakan mereka dengan harapan nanti ketika usia lanjut dan mereka sudah tidak dapat bekerja lagi mereka bisa nebeng hidup dengan keponakan-keponakannya.
[3]  ) Koeswinarno, “Seks, Bahasa, dan Identitas; Studi tentang “Hidup sebagai Waria” di Kalangan Kaum Waria Yogyakarta”, Jurnal Antropologi UGM, Tahun II, No. 3 Juli-Desember 1999, hlm. 83-84. 

[4]  ) Koeswinarno, “Hidup Sebagai Waria”, Tesis, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Studi Antropologi Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hlm. 133-134. (tidak dipublikasikan)

[5]  ) Yash, Transseksualisme, hlm. 36.

[6]  ) Koeswinarno ,“Aspek-aspek Kritis Dunia Kaum Ketiga”, Musawwa; Jurnal Studi Gender dan Isla>m, (Jakarta : The Royal Danish Embassy dan Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2002), hlm. 72.
[7]) Koeswinarno, “Seks, Bahasa, dan Identias”, Jurnal Antropologi, hlm. 85.
[8]) Noor Efni Salam dan AnaNadhya Abrar, “Waria Suku Laut”, Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan, (Diterbitkan atas kerja sana Ford Foundation dengan Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2001), hlm. 197.

[9]) Disampaikan Faiz dalam diskusi tentang transeksual di PKBI Taman Siswa pada hari Sabtu tanggal 6 Maret 2004 jam 14.00-16.30 WIB.

[10]) Hasil wawancara dengan Syaiful, seorang anggota Ikatan Gay Malang (IGAMA), di Hotel Wisanti Yogyakarya pada hari Rabu, tanggal 04 Juni 2003, pukul 10.00-12.00 WIB.
[11]  ) Koeswinarno, Revolusi Sosial Kaum Minoritas, hlm. 52-56.

[12] ) Chenny Han biasa dipanggil dengan sebutan Chenny, ia adalah Ratu Waria kelas Dunia (Miss Universe dikalangan waria). Dalam wawancara yang diadakan oleh Metro-tv pada acara mig night live jam 24.00-01.30 tanggal 3 Maret 2004, Chenny mengaku, bahwa ketika hamil ibunya selalu berfikir dan berharap bahwa anaknya yang lahir kelak adalah perempuan, karena ibunya sangat menginginkan anak perempuan. Namun kenyataan mengatakan lain, meskipun Chenny lahir dengan membawa atau memiliki sifat dan bahkan merasa dirinya perempuan tetapi fisiknya adalah laki-laki.

[13]             ) Orang Homoseks ialah orang yang orientasi seksnya, baik diwujudkan atau tidak, diarahkan kepada sesama jenis kalaminnya. Sebenarnya istilah ini mengacu kepada laki-laki dan perempuan. Tetapi pada umumnya istilah gay atau homo dipakai untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuan dipakai istilah lesbian. Lihat Dede Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu, cet. ke-1, (Yogyakarta : Galang Press, 2001), hlm. 6.

[14] ) Pedofil adalah istilah yang digunakan untuk menjuluki orang tua yang suka menggauli anak di bawah umur. Sedangkan penyakitnya biasa disebut dengan pedofilia. Dan reaksi masyarakat terhadap pedofilia lebih keras dari perkosaan biasa. Lihat dalam Koesnadi, Seksualitas dan Alat Kontrasepsi, (Surabaya : Usaha Nasional, Cet.I, 1992), hal. : 93. Bahkan FX. Rudy juga mengatakan bahwa kaum pedofil adalah sekelompok orang “sakit” yang menganggap anak-anak sebagai “obat”nya. Lihat dalam FX Rudy Gunawan, Krisis Orgasme Nasional, hlm. 92. Bahkan pada pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kaum pedofilia dapat dikenai hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. R. Soesilo, Kitab Undang-undang Hukum Pidada, (Bogor : Politeia, 1996), hlm. 213.

[15]) FX. Rudi Gunawan, Mendobrak Tabu, hlm. 66.

[16]) Menurut Heuken, dikutip oleh Koeswinarno, kromosom merupakan bagian-bagian kecil yang terdapat dalam inti sel dan mengandung zat kimia yang disebut deoxyribonucleic acid (DNA), yang mampu memberikan informasi yang diturunkan , yaitu kode genetis. Koewswinarno, Profil Waria Yogyakarya, hlm. 64.

[17]) Wildan Yatim, Genetika, (Bandung : Tarsito, 1983), hlm. 164.

[18]) Suryo, Genetika, cet. ke-9, (Yogyakarta : Gajah Mada University Press, 2001), hlm.170.

[19]) Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, hlm. 24.

[20]) Ibid., hlm. 172.

[21])  Wildan Yatim, Genetika, hlm170.

[22]) Ibid,. hlm. 174-175.

[23]) Wildan Yatim, Genetika, hlm. 166.

[24]  ) Koeswinarno, Waria dan Penyakit, hlm. 24.
[25]  ) M. Bukhari, Islam dan Adab Seksual, cet. ke-1, (Jakarta : Bumi Akasara, 1994), hlm. 19.

[26]  ) Al. Purwa Hadiwardoyo, Moral dan Masalahnya, hlm. 50.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post