A.
PENDAHULUAN
Pendidikan
adalah segala usaha orang dewasa dalam pergaulan dengan anak- anak untuk
memimpin perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan[1].
Rumusan tentang pendidikan, lebih jauh termuat dalam UU. No. 20 Tahun 2003,
bahwa pendidikan Indonesia bertujuan agar masyarakat Indonesia mempunyai
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan
yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Artinya, arah dari
proses pendidikan nasional mencakup berbagai aspek kehidupan diri manusia dan
masyarakat untuk survive dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Berbicara
masalah pendidikan meliputi cakupan yang cukup luas, bahkan dalam
mendefinisikan pengertian pendidikan juga bervariasi. Ada yang mengartikan
pendidikan sebagai proses yang di dalamnya seseorang mengembangkan kemampuan,
sikap, dan bentuk-bentuk tingkah laku lainnya di lingkungan masyarakat dimana
ia berada. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses sosial, di mana
seseorang dihadapkan pada kondisi dan pengaruh lingkungan yang terpilih dan
terkontrol (contoh paling nyata sekolah) sehingga yang bersangkutan mengalami
perkembangan secara optimal.
Dari
beberapa definisi tersebut menunjukkan melihat pendidikan dari sudut pandang
yang berbeda. Yang pertama, melihat dari sudut pandang psikologis, dan yang
kedua dari sudut pandang sosiologis. Banyak sudut pandang untuk dapat
merumuskan pengertian pendidikan sehingga banyak juga definisi tentang
pendidikan. Namun demikian, yang jelas bahwa pendidikan adalah proses untuk
membina diri seseorang dan masyarakat agar dapat survive dalam menjalani hidupnya.
B.
SISTEM PENDIDIKAN MODERN DI MESIR
Ridwan
Sayyed membagi kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh,
Fase Abad 20 dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang
telah dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan
dan rasionalisasi pendidikan Islam.[2]Muhammad
Abduh memandang perlunya integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum.
Beliau menganggap perlunya diajarkan ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di
samping memperkuat ilmu-ilmu agama.[3]
Hasil dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum
modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di
samping masjid didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar)
dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh.
Juga dibangun Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan
untuk guru dan mahasiswa.[4]
Kedua,
fase abad ke- 20. Pada fase ini,
al-Azhar sudah memulai untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar
juga mulai beradaptasi dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan
dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang,
a.
Pendidikan rendah selam 4 tahun
b.
Pendidikan menengah selama 5 tahun
c.
Pendidikan Tinggi selama 4 tahun
Ketiga,
fase abad 21. Pada fase ini, al-Azhar secara eksplisit menjadikan dirinya
sebagai gerakan moderat. Salah satu tuntunan yang harus segera
diimplementasikan adalah ijtihad dan pengaturan metodologi konklusi hukum, yang
memadukan antara teks-teks klassik dengan perangkat-perangkat pengetahuan
modern.[6]
Pada fase ini, al-Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang dilakukan
universitas barat, dan mengirim alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
Pada
abad ke-21 ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem
penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni
terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan mengirim ini adalah untuk
mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional sekaligus upaya
perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al
Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut,
diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy.[7]
Sebelumnya,
pada tahun 1930 M, keluar undang undang no 49 yang mengatur Al Azhar mulai dari
pendidikan dasar sampai perguruan tinggi, dan membagi Universitas Al Azhar
menjadi tiga fakultas yaitu: Syari’ah, Usuluddin, Bahasa Arab. Fakultras induk
Syari’ah wal qonun di Cairo merupakan bangunan pertama yang berdiri pada tahun
1930 M. semula bernama Syari’ah, lalu pada tahun 1961 dirubah menjadi nama
seperti sekarang. Fakultas induk Usuluddin dan bahasa Arab di Kairo juga
didirikan pada tahun 1930 M. penjurusan diatur kembali pada tahun 1961 M.
fakultas Dakwah islamiyyah didirikan dengan keputusan presiden (keppres) no 380
tahun 1978 yang dikeluarkan pada 16 Ramadlon 1398 H. (20 Agustus 1978).
Fakultas Dirasah Islamiyah wal Arabiyah memulai kuliahnya pada tahun 1965 M.
sebagai salah satu jurusan dari Fakultas Syari’ah. Pada tahun 1972 keluar
keppres no 7 yang menjadikan fakultas ini sebagai lembaga tersendiri dengan nama
Ma’had Dirasat Al Islamiyah Wal Arabiyah (Institut of Islamic and Arabic
studies) namun pada tahun 1976 M. keluar keputuhan presiden nomor 299 yang
kembali menjadikan institut ini sebagai fakultas tersendiri, dengan jurusan:
Usuluddin Syari’ah Islamiyah Bahasa dan Sastra Arab.[8]
Angin
pembaharuan kembali berhembus di Al Azhar pada 5 mei 1961 M. dimasa
kepemimpinan Syekh Mahmoud Syalthout. Peran Syaikh Al Azhar diciutkan menjadi
jabatan simbolis sehingga kurang mempunyai pengaruh langsung terhadap lembaga
pendidikan yang ada dibawah pimpinannya. Undang-undang pembaharuan ini disebut
undang-undang revosusi Mesir nomor 103 tahun 1961 M. Undang-undang ini
memberikan kemungkinan besar perubahan structural pendidikan di Al Azhar,
sehingga diantaranya membolehkan lulusan SD atau SMP Al Azhar untuk melanjutkan
studinya ke SMP atau SMA milik Departemen pendidikan, atau sebaliknya. Dalam
ruang lingkup pendidikan tinggi, disamping fakultas-fakultas keislaman,
ditambahkan pula berbagai fakultas baru seperti: Tarbiyah, Kedokteran,
Perdagangan/Ekonomi, Sains, Pertanian, Teknik, Farmasi, dan sebagainya. Juga
dibangun fakultas khusus putrid (Kulliyatu al-Banat) dengan berbagai
jurusan.
Al
Azhar mempunyai 3 rumah sakit Universitas: Husein Hospital, Zahra’ Hospital,
dan Bab el Sya’riah Hospital. Sementara itu, Nasser Islamic Mission City (Madinat
Nasser Lil Bu’uts Al-Islamiyah) untuk orang asing dibuka pada bulan
September 1959 M.
Universitas
(Jami’ah) Al Azhar hanyalah salah satu lembaga resmi yang dimiliki Al
Azhar masih ada lembaga lain yang sempat terbentuk, seperti:
a.
Lembaga
pendidikan Dasar dan Menengah (Al Ma’ahid Al-Azhariyah).
b.
Biro
Kebudayaan dan missi Islam (Idarah Ats-tsaqofah wal Bu’uts Al-Islamiyah).
c.
Majlis tinggi
Al Azhar (Al-Majlis Al-A’la Lil Azhar)
d.
Lembaga Riset
Islam (Majma’ Al-Buhuts Al-Islamiyah).
Sejak
mula berdirinya, studi Al-Azhar selalu terbuka untuk semua pelajar dari seluruh
dunia, hingga kini Universitas Al-Azhar memiliki lebih dari 50 Fakultas yang
tersebar diseluruh pelosok Mesir dengan jumlah Mahasiswa/i melebihi angka 200
ribu orang. Itulah potret Al-Azhar yang tetap tegar dalam kurun usia senja.
Demikian
banyak perkembangan yang dialami al-Azhar, namun tidak sejalan dengan sistem
pendidikan dan birokrasi di al-Azhar. Berbeda dengan kebanyakan universitas
lain yang sudah memberlakukan sistem modern dan canggih, al-Azhar al-Syarif
hingga kini masih eksis dengan sistem klasiknya. Al-Azhar menerapkan sistem
pendidikan dengan jenjang empat tahun. Tidak adanya absensi di semua tingkat
kuliah layaknya universitas-universitas lain, kecuali beberapa tingkat saja.
Mahasiswa di sini begitu bebas dalam perkuliahan, hal ini memang terlihat rancu
dan kurang kondusifnya sistem pembelajaran di al-Azhar.
Kendati
demikian, ada filosofi yang harus diketahui di balik sistem klasik al-Azhar.
Al-Azhar al-Syarif benar-benar mendidik seorang pencari ilmu untuk mencari
bukan dicari, untuk menunggu bukan ditunggu dan untuk mengambil bukan diambil,
hal ini sesuai arti mahasiswa dalam bahasa Arab“talib” yang diambil dari
kata “talaba-yatlubu” yaitu mencari. Al-Azhar mendidik para mahasiswanya
untuk mencari ilmu di setiap sudut negeri ini. Karena al-Azhar sesungguhnya
adalah sebuah masjid di mana terdapat halakah-halakah ilmu. Di sana diajarkan
berbagai macam bidang ilmu yang tidak didapatkan di bangku kuliah, terlebih
ilmu-ilmu turats (klasik).
Al-Azhar
pun terkenal dengan sistem sanad (riwayat), di mana seorang murid
mengambil sebuah ilmu langsung dari gurunya dengan bertatap muka dan tentunya
para murid pun diuji seberapa jauh ia menguasi ilmu tersebut. Sistem ini
ternyata sudah ada semenjak Rasulullah SAW dan dipraktikkan oleh para Sahabat
dan ulama sesudahnya. Sistem sanad ini pulalah yang menjadikan kelimuan Islam
tetap terjaga dari masa ke masa.
Hal
menarik lain dari al-Azhar adalah sistem administrasi yang masih manual. Tidak
seperti universitas di Indonesia yang sudah memakai komputer dan alat canggih
lainnya. Di al-Azhar, administrasi masih menggunakan tulisan tangan. Hal ini
pula yang membuat para mahasiswa harus mengantre panjang, bahkan harus menunggu
berhari-hari untuk menyelesaikan administrasi kuliah. Tapi hal itu tidak
membuat para mahasiswa surut dan malas. Banyak di antara mereka yang sabar
menunggu bahkan, menurut sebagian
mereka, ini merupakan pembelajaran agar
sabar dalam segala hal.
Begitu
juga dengan ruang kuliah, al-Azhar masih menggunakan meja dan bangku panjang
yang bisa diduduki sekitar lima sampai tujuh orang, yang seharusnya mahasiswa
duduk sendiri-sendiri layaknya perkuliahan lain. Al-Azhar bukannya tidak mampu
untuk membeli komputer ataupun meja dan bangku layaknya sebuah universitas,
tapi inilah sifat kesederhanaan yang diajarkan oleh al-Azhar kepada para
mahasiswanya.
Al-Azhar
menggunakan sistem paket, jadi nilai mata kuliah yang diujikan ketika semester
ganjil dan genap disatukan. Bagi mereka yang membawa lebih dari dua mata
kuliah, akan mengulang selama setahun di kelas yang sama dengan mata kuliah
yang ia bawa. Sedangkan mereka yang membawa satu atau dua mata kuliah, ia tetap
naik kelas dan hanya diuji ulang mata pelajaran tersebut tanpa mengulang satu
tahun di kelas yang sama.
Di
sinilah terlihat ketatnya sistem ujian dan penialan di al-Azhar. Hal ini tidak
lain karena al-Azhar ingin mengajarkan kepada para mahasiwanya sebuah
kesungguhan dalam belajar dan mencari ilmu
C.
PEMBAHARUAN PEMIKIRAN MUHAMMAD ABDUH
Pembaharuan
pemikiran yang dilakukan Muhammad Abduh bukanlah hanya sebuah penolaka secara
satu persatu atau secara global terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada
(pemikiran yang terdahulu). Pembaharuannya juga bukan hanya sebuah pemeliharaan
terhadap pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut. Akan tetapi pembaharuan
yang dilakukannya merupakan usaha untuk memperbaiki, mengembangkan dan
menjadikan intisari pemikiran-pemikiran yang telah ada tersebut agar disesuai
dengan tuntunan zaman. Namun, Muhammad Abduh tidak pernah berfikir apalagi
berusaha untuk mengambil alih secara utuh segala yang datang dari dunia Barat.[9]
Muhammad
Abduh menyadari kemunduran umat Islam bila dikontraskan dengan masyarakat
Barat. Menurut analisisnya, kondisi lemah dan terbelakang ini disebabkan oleh
faktor eksternal, seperti hegemoni (kekuasaan) Barat yang mengancam eksistensi
umat Islam, dan oleh realitas internal, seperti situasi yang yang diciptakan
oleh umat Islam sendiri. Karena umat Islam tidak mau membuka diri untuk
menerima hal-hal baru
yang berasal dari
Barat dan terus
terpaku pada pemikiran Islam yang
terdahulu. Muhammad Abduh menyadari seriusnya tantangan Barat, ia mengatakan :
....Bangsa
Barat telah memasuki fasa baru yang bercirikan peradaban yang berdasarkan ilmu
pengetahuan, seni, industri, kekayaan dan keteraturan, serta organisasi politik baru yang berdasarkan pada penaklukan
yang disangga oleh sarana baru, seperti melakukan perang dan oleh senjata yang
mampu menyapu bersih banyak musuh. Namun itu tidak berarti bahwa umat Islam
harus menyerah kepada kekuasaan Barat atau meniru gaya hidup Barat.[10]
Muhammad
Abduh menegaskan bahwa Barat harus dilawan karena prinsip mereka yang tinggi
tidak sesuai dengan sikap mereka terhadap rakyat yang ditaklukkan. Orang Mesir
menderita karena percaya begitu saja kepada orang asing tanpa membedakan mana
yang menipu dan mana yang tulus, mana yang benar dan mana yang berdusta, mana
yang setia dan mana yang berkhianat.[11]
Muhammad
Abduh adalah orang Mesir pertama yang menunjukkan keterbelakangan masyarakat
Mesir dan fakta bahwa masyarakat Mesir telah kehilangan kapasitas untuk
memperbarui dirinya. Problem sosial dan politik Mesir menurut Muhammad Abduh
terjadi karena warisannya sendiri, yang telah membuat Mesir tak mampu
menanggapi tantangan zaman. Selain faktor ekternal, ada juga faktor internal
yaitu adanya perpecahan antara umat Islam. Dengan adanya perpecahan antar umat Islam ini,
menjadikan umat Islam melemah karena umat Islam menjadi berkelompok-kelompok
dan menjadi bangsa-bangsa kecil dengan beragam sekte. Selain itu tercabang
duanya kekhalifahan di Mesir, Kemunduran umat Islam disebabkan
oleh kebodohan dan karena perpecahan sekterian, karena tertutupnya pintu ijtihad dan adanya
kekeliruan kebijakan pemimpin Islam. Bagi Muhammad Abduh zaman Islam yang ideal
itu adalah zaman Nabi Muhammad dan sahabat- sahabat-Nya. Karena pada saat itu
kecenderungan intelektual masih mewarnai umat Islam dan masih belum ada
perpecahan mazhab atau pemikiran.[12]
Zaman keemasan Islam pada zaman klasik ditandai dengan
kemajuan ilmu pengetahuan. Kini ilmu pengetahuan sedang berkembang di negeri
Barat, karenanya zaman kemajuan sekarang sedang dialami bangsa Barat. Jika
ingin meraih kembali kejayaannya, umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan ini muncul akibat pemikiran yang diproses oleh akal.
Ilmu-ilmu pengetahuan modern banyak berasal dari hukum
alam (Natural Laws), dan ilmu pengetahuan modern ini tidak bertentangan dengan
Islam, yang sebenarnya. Hukum alam adalah ciptaan Allah dan wahyu juga berasal
dari Allah. Karena keduanya berasal dari Allah, maka ilmu pengetahuan modern
yang berdasar pada hukum alam, dan Islam sebenarnya, yang berdasarkan pada
wahyu, tidak bisa dan tidak mungkin bertentangan. Islam mesti sesuai dengan
ilmu pengetahuan modern dan ilmu
pengetahuan modern mesti sesuai dengan Islam. Dalam zaman keemasan Islam, ilmu
pengetahuan berkembang di bawah naungan pemerintah- pemerintah Islam yang ada
pada waktu itu. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan tidak bertentangan dengan
agama, sehingga sebagai umat Islam kita harus
mempergunakan akal kita dengan sebaik-baiknya.[13] Dalam Islam, menuntut ilmu itu merupakan fardhu
(kewajiban) bagi setiap muslim. Dalam hadist disebutkan “Mencari ilmu itu fardhu (wajib) atas setiap orang muslim” (H.R.
Ahmad dan Ibn Majah).[14]
Ilmu pengetahuan merupakan salah satu dari sebab-sebab
kemajuan umat Islam di zaman klasik dan juga merupakan salah satu dari
sebab-sebab kemajuan Barat sekarang ini. Muhammad Abduh mengatakan, untuk
mencapai kemajuannya yang hilang, umat Islam sekarang haruslah kembali
mempelajari dan mementingkan soal ilmu pengetahuan. Maka dari itu, umat Islam
harus terlebih dahulu dibebaskan dari faham jumud, taklid, kembali lagi
berijtihad dan kembali kepada Islam yang murni.
Selain keagamaan dan ilmu pengetahuan, Muhammad Abduh juga
menaruh perhatian terhadap pembaharuan dalam bidang pendidikan. Islam sangat
mendorong umatnya untuk lebih memperhatikan bidang pendidikan. Banyak
keterangan, baik dari Alquran maupun
hadist yang berbicara mengenai pendidikan. Seperti dalam Q.S.Al-‘Alaq ayat 1-5. Kemudian,
Nabi Muhammad saw bersabda “Menuntut
ilmu itu adalah wajib bagi orang Islam laki-laki dan perempuan.
Tuntutlah ilmu mulai dari buaian
hingga ke liang lahat” (Al-Hadist).
Oleh karena itu, sebagai konsekuensi dari pendapatnya,
Muahmmad Abduh menganjurkan umat Islam untuk mempelajari dan mementingkan ilmu
pengetahuan, serta umat Islam juga harus mementingkan soal pendidikan. Ia selalu mendorong umat Islam di Mesir agar mementingkan soal
pendidikan sebagai jalan memperoleh kemajuan. Muhammad Abduh ingin sekali
memperbaiki metode pendidikan di Mesir, sebab semasa kecilnya Muhammad Abduh
kurang puas dengan cara belajar yang diterapkan oleh gurunya. Ketika itu metode
yang dipakai yaitu metode menghafal luar
kepala. Sebabnya ketika itu para pengajar hanya menyuruh murid didiknya untuk
membaca dan menghafal nash (teks) di luar kepala, ditambah lagi para pengajar
tidak memberikan penjelasan dan maksud dari nash (teks) tersebut. Sehingga
banyak murid yang sudah belajar lama namun tidak mengetahui apa yang ia
pelajari, termasuk Muhammad Abduh. Metode ini bisa dikatakan metode
tradisional, dan ilmu pengetahuan yang dipelajari pada saat itu masih ilmu-ilmu
seperti fiqh, tasawuf, kalam, tafsir dan ilmu-ilmu Islam lainnya. Namun, ilmu
pengetahuan modern pada saat itu juga sudah mulai berkembang terutama di
sekolah-sekolah pemerintah.
Muhammad Abduh menginginkan dibukanya sekolah-sekolah modern,
di mana ilmu-ilmu
pengetahuan modern diajarkan di samping pengetahuan agama. Untuk memulai
memperbaiki sistem pendidikan di Mesir, Muhammad Abduh mulai menerapkannya di
Al-Azhar. Mempermodernkan sistem pendidikan di Al-Azhar, menurut Muhammad
Abduh, akan mempunyai pengaruh besar dalam usaha pembaharuan Islam. Hal ini
disebabkan lembaga pendidikan Al-Azhar merupakan tujuan bagi para penuntut ilmu
dari segala penjuru dunia[15] Di perguruan ini seluruh
kurikulum pendidikan disesuaikan dengan kebutuhan saat itu. Begitu juga
ilmu-ilmu filsafat dan logika yang sebelumnya tidak diajarkan ketika Muhammad
Abduh masih menjadi pelajar di Al-Azhar. Ia menginginkan agar ilmu-ilmu tersebut
dipelajari dan dihidupkan kembali,
begitu juga dengan ilmu-ilmu umum perlu diterapkan.[16] Dari sini diharapkan para lulusannya dapat menjadi
agen-agen pembaharu Islam yang akan dibawa ke negaranya masing-masing dan
menjadi sarjana atau ulama modern. Usaha- usahanya dalam mengadakan pembaharu
pendidikan di Al-Azhar mengundang konflik dan tantangan dari para ulama
konservatif yang belum dapat melihat urgensi dan manfaat usaha pembaharuan
Muhammad Abduh[17]
Secara garis besarnya perubahan sistem pendidikan dimulai
dari sekolah dasar yang selama ini kurang mendapat perhatian, hal ini juga
tidak lepas dari sorotan Muhammad Abduh. Menurutnya sekolah tingkat dasar ini
hendaknya menjadikan mata pelajaran agama sebagai inti bagi semua mata
pelajaran di samping pelajaran umum. Karena pendidikan agama dianggap sebagai
dasar pembentukan jiwa dan pribadi seorang muslim. Dengan memiliki jiwa seperti
itu, umat Islam terutama rakyar Mesir
akan memiliki jiwa kebersamaan dan nasionalisme untuk mengembangkan sikap hidup
dalam meraih kemajuan.[18]
Muhammad Abduh juga memikirkan sekolah-sekolah yang didirikan
oleh pemerintah untuk mencetak para ahli administrasi, militer, kesehatan,
perindustrian, pendidikan dan lain sebagainya. Pada sekolah-sekolah pemerintah
ini, Muhammad Abduh berpendapat perlu dimasukkan pendidikan agama yang lebih
kaut, termasuk sejarah Islam dan sejarah kebudayaan Islam. Ia sangat khawatir
melihat bahaya yang akan timbul dari sistem dualisme
dalam pendidikan. Sistem
madrasah lama akan mengeluarkan ulama-ulama atau
pelajar-pelajar yang tidak memiliki pengetahuan tentang ilmu-ilmu modern.
Sedangkan sekolah-sekolah pemerintah akan mengeluarkan ahli-ahli yang sedikit
memilki pengetahuan tentang agama. Dengan memasukan ilmu pengetahuan modern ke
dalam Al-Azhar dan dengan memperkuat pendidikan agama di sekolah-sekolah
pemerintah, sehingga jurang yang memisahkan golongan ulama yang ahli agama dan
golongan ahli ilmu modern akan dapat diperkecil.
Selain itu, Muhammad Abduh juga menyoroti keadaan dan sistem
pendidikan. Ia menata kembali seluruh struktur pendidikan yang berlaku di
Al-Azhar, dari mulai cara mempelajari ilmu, dengan menghafal diubahnya secara
bertahap dengan cara memahami dan menalar. Jadi selain perlu dihafal, juga yang
terpenting siswa dapat mengerti apa yang dipelajarinya. Bahasa Arab yang selama
ini menjadi bahan baku tanpa pengembangan, oleh Muhammad Abduh dikembangkan
dengan jalan menerjemahkan teks-teks pengetahuan modern ke dalam bahasa Arab.
Terutama istilah-istilah yang baru muncul, yang mungkin tidak ditemukan pada
kosakata Bahasa Arab. Ia juga mengembangkan kebebasan berintelektual di
kalangan mahasiswa Al-Azhar[19].
D.
KESIMPULAN
Ridwan
Sayyed membagi kemodern-an al-Azhar ke dalam 3 fase, yakni fase Muhammad Abduh,
Fase Abad 20 dan Fase 21. Pada fase Muhammad Abduh merupakan fase rintisan yang
telah dilakukan al-Azhar dalam rangka melakukan pembaharuan sistem pendidikan
dan rasionalisasi pendidikan Islam.[20]Muhammad
Abduh memandang perlunya integrasi pendidikan Islam dengan pendidikan umum.
Beliau menganggap perlunya diajarkan ilmu pengetahuan modern di al-Azhar, di
samping memperkuat ilmu-ilmu agama.[21]
Hasil dari perjuangan beliau, maka pada masa ini mulai dimasukkan kurikulum
modern, seperti fisika, ilmu pasti, filsafat, sosiologi, dan sejarah. Di
samping masjid didirikan Dewan Administrasi al-Azhar (‘idarah al-Azhar)
dan diangkat beberapa orang sekretaris untuk membantu kelancaran tugas Syaikh.
Juga dibangun Rauq al-Azhar yang dapat memenuhi kebutuhan pemondokan
untuk guru dan mahasiswa.
Kedua,
fase abad ke- 20. Pada fase ini,
al-Azhar sudah memulai untuk mengintegrasikan diri dengan pemerintah. Al-Azhar
juga mulai beradaptasi dengan menjawab beberapa isu kontemporer dalam kaitan
dengan isu modern dan modial. Pada masa ini pendidikan menjadi 4 jenjang,
e.
Pendidikan rendah selam 4 tahun
f.
Pendidikan menengah selama 5 tahun
g.
Pendidikan Tinggi selama 4 tahun
h.
Pendidikan
Tinggi Keterampilan selama 5 tahun.
Ketiga,
fase abad 21. Pada fase ini, al-Azhar secara eksplisit menjadikan dirinya sebagai
gerakan moderat. Salah satu tuntunan yang harus segera diimplementasikan adalah
ijtihad dan pengaturan metodologi konklusi hukum, yang memadukan antara
teks-teks klassik dengan perangkat-perangkat pengetahuan modern. Pada fase ini,
al-Azhar mulai mempelajari sistem penelitian yang dilakukan universitas barat,
dan mengirim alumni terbaiknya ke Eropa dan Amerika.
Pada
abad ke-21 ini, Al Azhar mulai memandang perlunya mempelajari sistem
penelitihan yang dilakukan oleh Universitas di Barat, dan mengirim Alumni
terbaiknya untuk belajar ke Eropa dan Amerika. Tujuan mengirim ini adalah untuk
mengikuti perkembangan ilmiah ditingkat internasional sekaligus upaya
perbandingan dan pengukuhan pemahaman Islam yang benar. Cukup banyak duta Al
Azhar yang berhasil meraih gelar Ph.D dari Universitas luar tersebut,
diantaranya ialah: Syekh DR. Abdul Halim Mahmud, Syekh DR. Muhammad Al Bahy.
DAFTAR PUSTAKA
Purwanto. M. Ngalim (2002). Ilmu Pendidikan, Teoretis dan Praktis.
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Zuhairi Misrawi, al-Azhar: Menara
ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas, 2010),
Abd. Rachman Assegaf, Aliran
Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013)
Nata,Abudin, Sejarah Pendidikan Islam (Jakarta :
Raja Grafindo)
Antonio, Muhammad Syafi’i, dkk. Ensiklopedia
Peradaban Islam Kairo. Jakarta: Tazkia Publishing, 2012.
Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-manar (Bandung: Pustaka Hidayah, 1994)
Hasan,
Para Perintis, 41. Dikutip dari
Muhammad Abduh, Al-A’mal Al-Kamilah (diedit
oleh Muhammad ‘Amara), Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyah lid-Dirasah wan-Nasyr,
1972, jil I, 637.
Nasution, Pembaharuan Dalam Islam.
Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Jakarta : Pustaka Al-Kautsar,
2007)
Saefudin, Pemikiran modern dan post modern dalam Islam : Biografi Intelektual
17 tokoh (Jakarta Raja
Grafindo),
Asmuni,
Pengantar studi sejarah kebudayaan islam, (Jakarta : Rajawali Press)
Sani, Abdul, Perkembangan modern dalam Islam
[1] Ngalim
Purwanto. (2002). Ilmu Pendidikan,
Teoretis dan Praktis. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, hal, 11
[2]Zuhairi Misrawi,
al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas,
2010), 318.
[3]Abd. Rachman
Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), 170.
[4]Nata, Sejarah
Pendidikan Islam (Jakarta : Raja Grafindo).,192.
[7]Antonio,
Muhammad Syafi’i, dkk. Ensiklopedia Peradaban Islam Kairo. Jakarta:
Tazkia Publishing, 2012.162.
[8] Ibid.
[9] Quraish Shihab, Studi Kritis Tafsir Al-manar (Bandung:
Pustaka Hidayah, 1994), 19
[10] Hasan, Para Perintis,
41. Dikutip dari Muhammad Abduh, Al-A’mal
Al-Kamilah (diedit oleh Muhammad ‘Amara), Beirut: Al-Mu’assasah Al-Arabiyah
lid-Dirasah wan-Nasyr, 1972, jil I, 637.
[12] Ibid, 42
[13] Nasution, Pembaharuan Dalam Islam, 65-66.
[14] Hartono Ahmad Jaiz, Aliran dan Paham Sesat di Indonesia (Jakarta
: Pustaka Al-Kautsar, 2007), 3
[15] Saefudin,
Pemikiran modern dan post modern
dalam Islam : Biografi Intelektual 17 tokoh
(Jakarta Raja Grafindo), 32
[16] Asmuni, Pengantar studi sejarah kebudayaan islam, (Jakarta : Rajawali Press) 80-81
[17] Saefudin,
Pemikiran modern dan post modern
dalam Islam, 33.
[18] Sani, Perkembangan modern dalam Islam,
54
[20]Zuhairi Misrawi,
al-Azhar: Menara ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (Jakarta: Kompas,
2010), 318.
[21]Abd. Rachman
Assegaf, Aliran Pemikiran Pendidikan Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2013), 170.
No comments:
Post a Comment