PROBLEMATIKA PERKAWINAN WARIA
Undang-undang hanya mengenal istilah laki-laki dan
perempuan, selain itu, undang-undang juga hanya mengatur perkawinan yang
dilakukan dengan lawan jenis kelamin, yakni antara laki-laki dan perempuan.
Undang-undang tidak mengatur perkawinan yang dikakukan oleh sesama jenis
kelanin, misalnya, antara perempuan dengan perempuan atau laki-laki dengan
laki-laki dan waria dengan laki-laki.
Meskipun telah terdapat lembaga tertentu yang mau menikahkan laki-laki dengan
laki-laki (gay), setelah beberapa negara Eropa melegalkan pernikahan
ini. Namun di Indonesia, pernikahan semacam ini tetap belum dapat diakui
keabsahannya sehingga belum mempunyai kekuatan hukum.
Waria merupakan istilah yang ada dan dipakai
oleh masyarakat untuk memanggil laki-laki yang berdandan dan bertingkah
sebagaimana perempuan yang diartikan dengan wanita pria atau wanita tetapi
pria. Dan istilah lain yang digunakan untuk menyebut waria adalah wadam, wandu dan
banci. Oleh karena itu, apabila ada laki-laki yang lembut seperti manita sering
disebut banci.
Kehadiran waria yang sering disebut
sebagai kaum ketiga memang masih menjadi perdebatan hingga saat ini, terutama
dalam masalah perkawinan. Sebagaimana diketahui, bahwa pada umumnya perkawinan
dilakukan oleh dua orang yang berbeda jenis kelamin yaitu antara laki-laki dan
perempuan, sesuai dengan salah satu tujuan perkawinan yaitu memperoleh
keturunan yang sah[1]).
Tetapi tidak setiap perkawinan membuahkan keturunan. Bagi sebuah keluarga yang
tidak dapat menghasilkan atau tidak mempunyai keturunan biasanya mengadopsi
anak dari saudaranya, panti asuhan atau
dari keluarga yang tidak mampu.
Demikian juga dalam
“perkawinan” waria, sebab tidak mungkin seorang waria dapat melahirkan walaupun
telah melakukan operasi kelamin, karena waria tidak mempunyai dan tidak mungkin
dibuatkan rahim juga indung telur sebagaimana yang dimiliki seorang perempuan.
Jadi, salah satu solusi waria ketika memutuskan untuk berkeluarga dan merasa
telah siap baik secara materiil maupun immateriil adalah dengan melakukan
adopsi[2]) atau merawat anak
suami atau lekongnya, bila ada, dengan harapan sama dengan orang tua
pada umumnya, yaitu agar ada yang mengurusinya jika kelak sudah tua disamping adanya
naluri keibuan yang dimilikinya.
Namun pada umumnya, seorang
waria bila belum benar-benar merasa siap
terutama secara ekonomi, tidak akan melakukan adopsi. Hal ini disebabkan karena
bagi mereka anak adalah titipan Tuhan yang harus dijaga dan dirawat dengan
baik. Oleh karena itu, maka mereka harus bisa memberikan pendidikan yang layak
dan juga bisa menjadi teladan yang baik bagi anak adopsinya –sebagaimana yang
dikatakan YS, dengan tidak keluar malam lagi misalnya, sebab bila masih keluar
malam akan memberikan contoh yang tidak baik bagi seorang anak. Bila seorang
waria telah merasa siap untuk melakukan adopsi, biasanya mereka lebih memilih
mengadopsi keponakan mereka sendiri atau mengadopsi dari orang yang tidak mampu
dengan cara membiayai ibu yang hamil tersebut mulai dari proses kehamilan
hingga melahirkan.
A. Latar Belakang Kehidupan Waria
Dunia waria, wadam atau
banci bagi banyak orang merupakan bentuk kehidupan anak manusia yang cukup
aneh. Sebab, sosok waria yang dikenal lekat dipikiran orang adalah sosok yang
biasa genjrang genjreng di jalan dan akrab dengan kehidupan malam
sebagai pekerja seks komersial (PSK). Pekerjaan sebagai penjaja seks di
kalangan waria disebut nyebong, sedang pekerja seks di kalangan gay
disebut kucing. Sehingga diindikasikan bahwa penyakit-penyakit mematikan
– sering juga disebut penyakit kutukan – seperti penyakit kelamin dan aids
banyak menyerang kaum ini.
Sebagai sebuah kepribadian,
kehadiran seorang waria merupakan satu proses yang panjang, baik secara
individu maupun sosial. Secara individual, lahirnya perilaku waria tidak lepas
dari satu dorongan yang kuat dari dalam dirinya, bahwa fisik mereka tidak
sesuai dengan kondisi psikisnya. Hal ini, menimbulkan konflik psikologis dalam
diri mereka. Sehingga membuat mereka mempresentasikan perilaku yang oleh
kebanyakan orang dianggap menyimpang. Di lain pihak, mereka juga dihadapkan
pada konflik sosial dalam berbagai pelecehan[3]). Hal ini disebabkan
karena belum semua anggota keluarga dan masyarakat dapat menerima kehadiran
mereka. Kehadiran waria seringkali dianggap sebagai aib, sehingga mereka sering
dicemooh, dilecehkan dan bahkan dikucilkan.
Kendala hidup sebagai
waria, bila dilihat dalam konsepsi Berger, sebagaimana yang dikutip oleh
Koeswinarno, mengandung dua implikasi yang berjalan sejajar[4]), yaitu :
Pertama, karena sebelumnya masyarakat
telah memberikan makna tertentu terhadap dunia waria, maka dengan sendirinya
ketika seorang waria mempresentasikan perilakunya secara langsung atau tidak
dipengaruhi oleh batasan-batasan makna yang diberikan masyarakat.
Kedua,
batasan-batasan makna dunia waria sendiri dapat berakar dari presentasi
perilaku waria yang hadir dan ditangkap oleh masyarakat. Akibatnya terjadi
proses dialektika antara dunia waria dengan masyarakat pada umumnya.
Beberapa ahli pada umumnya
tidak membagi waria secara tersendiri, namun dari wawancara yang penyusun
lakukan para waria di Yogyakarta cenderung
membedakan antara waria dengan transeksual. Menurut mereka, transeksual
mengalami peperangan atau ketidak cocokan antara kondisi fisik dengan
psikologinya, yang mengakibatkan adanya keinginan untuk mengganti kalaminnya
sesuai kondisi jiwanya melalui operasi. Sedangkan waria, meskipun ada
kesenjangan antara kondisi fisik dan psikologinya namun mereka bisa menerima
kondisinya tersebut dan tidak ingin melakukan operasi pergantian kelamin guna
menyelaraskan fisik dan jiwanya. Demikian juga menurut Yash – dari wawancara
yang dia lakukan dengan waria di Yogyakarta –
bahwa waria tidak memenuhi kriteria sebagai transeksual[5]).
Mengintip kehidupan kaum
waria tidak sesederhana orang mendefinisikan. Waria yang sebenarnya adalah
mereka yang menderita transeksual atau mengalami transgender, yakni individu
yang secara psikis menolak kelamin fisiknya[6]). Oleh karena itu,
masyarakat umum biasanya tidak membedakan antara transeksual, homoseksual, dan
transvestit. Hal ini disebabkan karena tingkat kesulitan untuk membedakannya.
Sebab bila dilihat sekilas mereka adalah sama-sama pelaku seks sejenis, kecuali
transvestit yang bersifat hetero meskipun terkadang juga homo. Namun bila
diteliti lebih mendalam mereka berbeda dan tidak terkait antara yang satu
dengan yang lainnya. Satu hal yang membedakan antara kaum waria dan homoseks
adalah dalam hal berpakaian. Seorang homoseks tidak perlu berpenampilan dengan
memakai pakaian perempuan karena kaum homoseks memang tidak menganggap dirinya
sebagai perempuan. Berbeda dengan waria yang menganggap bahwa dirinya perempuan
karena sebuah dorongan psikhis, sehingga mereka perlu memakai pakaian dan
berpenampilan sebagaiaman seorang perempuan (cross dressing), hal ini
juga berlaku pada kaum transeksual. Sedangkan kaum transvestit memakai pakaian
lawan jenisnya dengan tujuan untuk mendapatkan kepuasan biologis.
Waria dan gay merupakan
kaum yang sama-sama melakukan hubungan seks sejenis, namun satu hal yang
membedakan mereka adalah seorang waria ketika melakukan peranan seksnya lebih
memposisikan diri sebagai perempuan sedang gay tidak demikian. Seorang homoseks
secara fisik maupun psikis sangat mapan dengan jenis kelamin yang mereka
miliki. Mereka laki-laki dan berperilaku sebagaimana laki-laki. Akibatnya,
ekses perilaku kaum waria jauh lebih kompleks dibanding dengan kaum homoseksual[7]).
Pada umumnya gejala
kewariaan telah dirasakan oleh seorang waria sejak ia masih kecil. Namun
sebagian di antara mereka biasanya belum sadar dan tahu keanehan apa yang
terjadi pada dirinya. Dengan berjalannya waktu biasanya mereka mulai berusaha
mencari hingga kemudian menyadari siapa dan bagaimana dirinya yang sebenarnya.
Dari sini, kehidupan mereka sebagai waria akan mereka mulai, meskipun awalnya
kebanyakan keluarga mereka menentang dan bahkan menikahkan mereka dengan
seorang perempuan dengan harapan mereka bisa disembuhkan. Namun, kebanyakan
usaha tersebut mengalami kegagalan dan meskipun dengan berat hati akhirnya
keluarga bisa menerima mereka dengan segala kekurangan mereka.
Bila pihak keluarga tetap
tidak bisa menerima keberadaan mereka, maka biasanya mereka akan cenderung
menyembunyikan keberadaan mereka yang sebenarnya pada keluarganya. Sebagaimana
yang dialami Weni, karena kefanatikan hingga sekarang keluarga Weni tidak
mengetahi bahwa Weni selama ini telah menjalani hidup sebagai waria. Keluarga
Weni menganggap dan berharap bahwa Weni adalah laki-laki yang bersifat feminin,
dengan selalu berpesan kepada Weni agar bersikap biasa saja, sehingga Weni juga
cenderung menutup diri kepada keluarganya.
Dalam konteks suku laut,
yang menjadi asal muasalnya kepribadian waria adalah kelainan atau dorongan
psikis bahwa dirinya adalah perempuan yang terjadi pada usia 11-15 tahun. Oleh
karena itu, mereka juga berpenampilan selayaknya perempuan. Kelainan psikis
yang mereka rasakan pada usia kanak-kanak tersebut merupakan salah satu
indikasi munculnya kepribadian waria[8]).
Meskipun pada umumnya,
sebelum seorang waria menemukan dan memutuskan untuk menjalani hidup sebagai
waria, mereka mengalami proses pencarian jati diri yang mungkin sangat
melelahkan, namun ada juga yang tanpa mengalami proses pencarian jati diri karena
ia telah sadar dan menemukan dirinya sebagai waria sejak kecil, sebagaimana
yang dialami oleh Maya dan Emy misalnya. Pengaruh keluarga dan lingkungan pada
Maya dan Emy, sangat dimungkinkan dalam perkembangan mereka sebagai waria.
Sebab mereka mengaku bahwa sejak kecil mereka sering diperlakukan seperti
perempuan. Ketika masih kecil Emy sering didandani oleh kakak perempuannya dan
dipakaikan baju perempuan. Sedangkan Maya selalu dibelikan rok oleh bapaknya
ketika pulang dari bepergian. Selain itu, di sekolah Maya juga diperlakukan
seperti perempuan oleh teman-temannya, setelah selesai belajar kelompok malam
hari Maya selalu diantarkan pulang oleh teman laki-lakinya misalnya, padahal
hal yang sama tidak berlaku bagi teman laki-laki Maya yang lain.
Berbicara mengenai waria, tidak bisa
dilepaskan dengan orientasi seks yang
dilakukan. Ketika dilihat secara fisik, maka seolah-olah waria adalah
homo, karena ia tertarik pada sesama jenisnya. Namun, bila dilihat secara
spikologis, maka ia adalah hetero karena tertarik pada lawan jenisnya yaitu
laki-laki, walaupun dengan kondisi fisik laki-laki. Kemudian, dengan kondisi
yang “serba salah” tersebut, bagaimana seorang waria melaksanakan
pernikahannya. Apakah harus melakukan operasi pengubahan kelamin guna menyesuaikan
dengan kondisi psikologisnya, lalu baru bisa melangsungkan perkawinan,
sebagaimana yang dilakukan artis kenamaan Dorce. Namun, Fais – seorang
transeksual perenpuan ke laki-laki – mengatakan bahwa ia adalah hetero karena
tertarik pada perempuan, justeru bila terarik pada laki-laki ia bisa dikatakan
homo[9]).
Bila diperhatikan lebih lanjut,
keberadaan status
waria sebagai kaum marjinal tersebut bukan atas kehendak mereka ataupun
karena lingkungan yang mempengaruhi. Asumsi ini berdasarkan pada apa yang
terjadi dan dapat dilihat pada Syaiful (salah satu tokoh gay di Malang),
misalnya, yang mengatakan bahwa waria, gay maupun lesbi tidak terbentuk dari
lingkungan. Dengan perkataan lain, lingkungan tidak pernah mempengaruhi
terciptanya waria, gay maupun lesbi tetapi hanya memberikan peluang. Dari
peluang itu, selanjutnya mereka berusaha mencari jati dirinya dan kemudian
menemukannya dalam bentuk lain, yaitu waria, gay dan lesbi[10]).
Padahal, untuk diketahui, Syaiful terlahir dan tumbuh dalam lingkungan sebuah
keluarga muslim yang taat. Sejak kecil ia mengenyam pendidikan agama yang ketat
di pondok pesantren milik kakeknya di Pasuruan. Namun, lingkungan yang telah
mendidiknya begitu ketat tersebut ternyata tetap tidak bisa menghalanginya
untuk menjadi seorang gay atau homo. Dalam proses pencarian jati diri
selanjutnya, dia juga mencoba untuk menjadi waria, namun tidak bisa karena
dirinya memang bukan terlahir sebagai waria melainkan gay.
Kebanyakan waria di Indonesia
terjebak pada pekerjaan pelayanan seks atau yang biasa disebut PSK (pekerja
seks komersial). Hal ini disebabkan sulitnya mencari partner pemuas seks dan
alasan ekonomi, sebab kebanyakan orang tua
bersikap negatif menanggapi perubahan tingkah laku anaknya, sehingga mereka
memilih pergi dari rumah walaupun tanpa bekal ketrampilan. Apologi inilah yang
sering digunakan waria kenapa ia bekerja sebagai PSK, namun tidak sedikit juga waria yang bekerja di salon atau
bergabung dengan LSM. Hingga sekarang, meskipun sudah banyak masyarakat yang
telah dapat menerima keberadaan waria, tetapi ada juga orang yang masih
beranggapan bahwa seolah-olah waria adalah alien yang tersesat di bumi.
Padahal bila dicermati lebih mendalam,
hal paling mendasar yang mengakibatkan perbedaan dalam diri manusia adalah
karena penciptaan manusia secara umum tidak bisa lepas dari keterlibatan orang
tua dalam proses reproduksi, yang sangat mempengaruhi kondisi atau bentuk fisik
dan psikis anak yang dilahirkannya[11]). Bila umur seorang
ibu dalam proses reproduksi terlalu muda maka dapat mengakibatkan otak anak
yang dilahirkannya kurang cerdas. Begitu juga sebaliknya bila umur ibu terlalu
tua maka anak yang dilahirkannya secara fisiologis maupun psikologis kurang
sempurna, misalnya secara fisik ia seorang laki-laki tapi secara psikologis ia seorang
wanita, atau biasa disebut waria (wanita-pria). Selain itu, fantasi seorang ibu
ketika hamil atau proses reproduksi juga sangat mempengaruhi perkembangan
kejiwaan anak, sebagaimana yang terjadi pada Chenny Han[12]).
Merlyn dan Vinolia (tetua waria Yogyakarta ) serta waria pada umumnya mengatakan, bahwa
sejak kecil mereka sudah merasa bahwa dirinya bukanlah laki-laki, tetapi mereka
tidak berani mengatakan bahwa mereka perempuan, karena mereka tahu bahwa
perempuan memiliki vagina sedangkan mereka memiliki penis. Setelah menginjak
dewasa dan setelah melalui proses pencarian yang panjang mereka baru bisa
menemukan jati dirinya dalam bentuk waria. Namun, mereka tidak menyesali atau
megutuk Tuhan tidak adil, walaupun sikap masyarakat sangat tidak arif pada
mereka. Mereka juga mengatakan bahwa waria bukanlah penyakit turunan, karena
tidak ada satupun dari leluhurnya yang berstatus waria.
Kondisi kaum waria memang sangat berbeda
dengan jenis-jenis kondisi seksual lainnya yang masih serumpun seperti : homo, lesbi[13]),
pedofilia[14]), dan lain sebagainya.
Menurut FX. Rudi Gunawan, sebagaimana yang dikutipnya dari pasangan pakar seks,
William H. Master dan Virginia E. Johnsons, menurutnya terdapat tiga faktor
utama yang dapat menyebabkan lahirnya seorang waria sebelum kelahiran[15]). Ketiga faktor itu
adalah pertama, disebabkan oleh terjadinya kelainan kromosom[16]) seks. Kedua,
terjadi karena kondisi genetik yang berbeda atau faktor hereditas (bawaan) yang
disebabkan ketidak-seimbangan hormon-hormon seks. Dan yang ketiga,
karena pengaruh obat-obatan yang diminum sang ibu selama masa kehamilan. Jadi
seseorang yang terlahir sebagai waria
karena ketiga sebab di atas tidak dapat disalahkan. Justru disana dapat dilihat
kebesaran Tuhan yang telah menciptakan manusia dengan berbagai macam bentuknya.
Kromosom yang ada dalam tubuh sangat
berpengaruh pada proses pembentukan jenis kelamin manusia, kromosom X membawa
gen-gen yang menentukan sifat perempuan dan kromosom Y merupakan kromosom yang
memiliki gen-gen untuk sifat
laki-laki. Dalam sel tubuh manusia mengandung 46 buah kromosom, yakni
terdiri dari 44 (= 22 pasang) kromosom autosom[17]) pembawa watak dan 2
(=1 pasang) kromosom kelamin[18]) atau penentu jenis
kelamin[19]). Seorang perempuan
normal memiliki satu pasang kromosom atau dua kromosom-X (XX), maka ia memiliki
satu kromatin kelamin dan dinamakan kromatin positif. Sebaliknya laki-laki
normal hanya memiliki satu kromosom X dan satu kromosom Y, jadi ia tidak
memiliki kromatin kelamin[20]) sehingga dinamakan
kromatin negatif.
Namun tidak semua perempuan memiliki
kromosom XX, begitu juga laki-laki tidak selalu memiliki kromosom XY. Perempuan
yang mempunyai kelainan kromosom kelamin disebut sindrom turner atau ovaricular
dysgenesis yaitu individunya perempuan, tetapi ia kehilangan sebuah kromosom-X
sehingga hanya memiliki 45 kromosom, dengan formula kromosom 22AAXO, karena ia
kehilangan satu kromosom-X maka ia cenderung akan kehilangan ciri
keperempuanannya. Hal ini terjadi karena ovum yang tidak mengandung X dibuahi
oleh kromosom-X[21]). Sedangkan kelainan
pada laki-laki disebut sindrom klinefelter atau testicular dysgenesis,
yaitu individunya laki-laki , ia kelebihan sebuah kromosom-X, sehingga memiliki
47 kromosom, dengan formula kromosom 22AAXXY[22]). Biasanya gen dominan
memperlihatkan pengaruhnya pada individu laki-laki maupun perempuan.
Sebagaimana kasus di atas, maka laki-laki yang memiliki kromosom XXY akan
cenderung seperti perenpuan karena kromosom-X lebih dominan dari pada
kromosom-Y. Kemudian untuk mengetahui jenis kelamin embrio atau orang
dewasa yang diragukan susunan genetisnya dapat dilakukan tiga macam tes yang
populer dipakai untuk mengetes jenis kelamin yang sebenarnya sesuai dengan
susunan genetis, yaitu sex chromatine, drumstick, kariotipe[23]).
Pada kasus waria yang disebabkan ketidak-seimbangan
hormon, bukan sekedar kejiwaannya saja yang kewanita-wanitaan atau
kelelaki-lakian, tetapi hormon yang mengalir dalam darahnya pun menunjukkan hal
tersebut. Dalam Isla>m melalui hadi>s\ Rasu>lulla>h
telah disinggung masalah disintegrasi identitas seksual kaum waria dengan
pengharaman laki-laki menyerupai wanita dan wanita menyerupai laki-laki. Dalam
hal transeksual dengan sebab seperti di atas, tidak ada salahnya untuk
menghilangkan unsur fisik lainnya yang kurang dominan, dan memunculkan unsur
fisik lain yang lebih dominan.
2nd. Waria dalam Berbagai Perspektif
Manusia terdiri atas raga
dan jiwa yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, bila salah
satunya menderita sakit maka penyakit tersebut akan mengenai keduanya (jiwa dan
raga). Tetapi permasalahannya ialah bagian mana yang lebih besar dilibatkan,
soma (raga) ataukah psikenya (jiwanya).
Fenomena waria, dalam
psikologi disebut sebagai gejala abnormalitas seksual. Dan gejala abnormalitas
ini tidak bisa dipisahkan dari kehidupan dan pengalaman seseorang. Hal ini
selaras dengan pendapat beberapa ahli, sebagaimana dikutip oleh Koeswinarno,
bahwa keadaan abnormalitas seseorang, apapun bentuknya, tidak dapat dipisahkan
dari proses perkembangan manusia, sejak ia berada dalam kandungan, lahir dan
dibesarkan di alam dunia[24]).
Pada mulanya orang mengira
bahwa seksualitas dimulai dari masa pubertas atau masa remaja. Sebelum itu
hasrat untuk memperoleh kepuasan seksual belumlah ada. Padahal tidaklah
demikian, sebab di setiap tubuh manusia terdapat suatu kekuatan atau energi
yang dapat digunakan untuk menggerakkan tubuh dan diarahkan oleh perasaan yang
disebut ego. Ego mengarahkan energi untuk mencari makan dan
minum, sedang impuls libido mengarahkan energi untuk mencari kepuasan seks.
Perasaan ego disebut lapar dan haus, sedang perasaan seks disebut syahwat.
Dan kedua perasaan – ego dan seks – tersebut merupakan kebutuhan manusia yang
disebut nafsu[25]).
Seksualitas selalu terkait
erat dengan obyek dan tujuan dilakukannya perbuatan seksual tersebut, baik
seksualitas normal maupun abnormal. Pada umumnya perempuan dan laki-laki
tertarik pada lawan jenisnya, perempuan tertarik pada laki-laki begitu pula
laki-laki tertarik pada perempuan. Namun kenyataan membuktikan bahwa terdapat
beberapa laki-laki yang tertarik pada sesama laki-laki (homoseks) dan perempuan
tertarik pada perempuan (lesbian), selain itu ada juga, laki-laki yang
berpenampilan dan berperilaku sebagaimana perempuan – biasa disebut waria –
yang hanya tertarik pada laki-laki. Selain kelainan-kelainan di atas masih
dikenal beberapa kelainan seksual yang lain, diantaranya ialah
hyperseksualitas, hyposeksualitas atau frigiditas, impotensi, bestialitas,
necrophylia, voyeurisme, troilisme, ekshibitionisme, incest[26]).
Untuk
menganalisis kelainan-kelainan seksual tersebut diperlukan kajian yang mendalam
hingga bisa diketahui penyebabnya sekaligus dicari solusi pencegahan dan
menyembuhannya – bila dimungkinkan. Selain itu, dengan kajian mendalam tersebut
juga diharapkan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang
kelainan-kelainan seksual di atas yang dapat terjadi pada siapa saja dan dimana
saja. Sebab kelainan-kelainan tersebut bukan merupakan penyakit keturunan
yang hanya dapat dialami oleh orang – orang yang mempunyai keluarga atau orang
tua yang memiliki kelainan seksual. Kebingungan masyarakat umum untuk
membedakan orang yang benar-benar mengalami kalainan identitas seksual dan yang
tidak, mengakibatkan mereka salah kaprah dalam memahami dan menilai keberadaan
orang yang mengalami kelainan tersebut.
[1])
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi ,
Maliki, Hanbal, cet. ke-10, (Jakarta : Hidakarya Agung, 1983), hlm. 1.
[2])
Bagi YS dan Tika, adopsi bukanlah persoalan yang mudah. Menurut mereka, bila
mereka melakukan adopsi maka mereka harus sudah siap segalanya terutama materi.
Sebab adopsi menurut mereka bukan asal comot
anak, tetapi juga harus memberikan penghidupan (makan) dan juga
pendidikan yang layak sebagaimana yang dilakukan orang tua terhadap anaknya.
Oleh kerena itu, mereka lebih senang merawat keponakan-keponakan mereka dengan
harapan nanti ketika usia lanjut dan mereka sudah tidak dapat bekerja lagi
mereka bisa nebeng hidup dengan keponakan-keponakannya.
[3]
) Koeswinarno, “Seks,
Bahasa, dan Identitas; Studi tentang “Hidup sebagai Waria” di Kalangan Kaum
Waria Yogyakarta”, Jurnal Antropologi UGM, Tahun II, No. 3 Juli-Desember
1999, hlm. 83-84.
[4]
) Koeswinarno, “Hidup
Sebagai Waria”, Tesis, Jurusan Ilmu-ilmu Humaniora, Program Studi
Antropologi Pasca Sarjana, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, hlm. 133-134.
(tidak dipublikasikan)
[6]
) Koeswinarno ,“Aspek-aspek Kritis Dunia Kaum Ketiga”, Musawwa; Jurnal
Studi Gender dan Isla>m,
(Jakarta : The Royal Danish Embassy dan Pusat Studi Wanita IAIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta, 2002), hlm. 72.
[8]) Noor Efni Salam dan AnaNadhya
Abrar, “Waria Suku Laut”, Konstruksi Seksualitas Antara Hak dan Kekuasaan,
(Diterbitkan atas kerja sana Ford Foundation dengan Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 2001), hlm. 197.
[9]) Disampaikan Faiz
dalam diskusi tentang transeksual di PKBI Taman Siswa pada hari Sabtu tanggal 6
Maret 2004 jam 14.00-16.30 WIB.
[10]) Hasil
wawancara dengan Syaiful, seorang anggota Ikatan Gay Malang (IGAMA), di Hotel
Wisanti Yogyakarya pada hari Rabu, tanggal 04 Juni
2003, pukul 10.00-12.00 WIB.
[12] )
Chenny Han biasa dipanggil dengan sebutan Chenny, ia adalah Ratu Waria kelas
Dunia (Miss Universe dikalangan waria). Dalam wawancara yang diadakan oleh
Metro-tv pada acara mig night live jam 24.00-01.30 tanggal 3 Maret 2004,
Chenny mengaku, bahwa ketika hamil ibunya selalu berfikir dan berharap bahwa
anaknya yang lahir kelak adalah perempuan, karena ibunya sangat menginginkan
anak perempuan. Namun kenyataan mengatakan lain, meskipun Chenny lahir dengan
membawa atau memiliki sifat dan bahkan merasa dirinya perempuan tetapi fisiknya
adalah laki-laki.
[13] ) Orang Homoseks
ialah orang yang orientasi seksnya, baik diwujudkan atau tidak, diarahkan
kepada sesama jenis kalaminnya. Sebenarnya istilah ini mengacu kepada laki-laki
dan perempuan. Tetapi pada umumnya istilah gay atau homo dipakai untuk
laki-laki, sedangkan untuk perempuan dipakai istilah lesbian. Lihat Dede
Oetomo, Memberi Suara Pada yang Bisu, cet. ke-1, (Yogyakarta : Galang
Press, 2001), hlm. 6.
[14] ) Pedofil adalah
istilah yang digunakan untuk menjuluki orang tua yang suka menggauli anak di
bawah umur. Sedangkan penyakitnya biasa disebut dengan pedofilia. Dan
reaksi masyarakat terhadap pedofilia lebih keras dari perkosaan biasa.
Lihat dalam Koesnadi, Seksualitas dan Alat Kontrasepsi, (Surabaya :
Usaha Nasional, Cet.I, 1992), hal. : 93. Bahkan FX. Rudy juga mengatakan bahwa
kaum pedofil adalah sekelompok orang “sakit” yang menganggap anak-anak sebagai
“obat”nya. Lihat dalam FX Rudy Gunawan, Krisis Orgasme Nasional, hlm.
92. Bahkan pada pasal 292 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) kaum
pedofilia dapat dikenai hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. R. Soesilo, Kitab
Undang-undang Hukum Pidada, (Bogor : Politeia, 1996), hlm. 213.
[16]) Menurut
Heuken, dikutip oleh Koeswinarno, kromosom merupakan bagian-bagian kecil yang
terdapat dalam inti sel dan mengandung zat kimia yang disebut
deoxyribonucleic acid (DNA), yang mampu memberikan informasi yang
diturunkan , yaitu kode genetis. Koewswinarno, Profil Waria Yogyakarya,
hlm. 64.
[20])
Ibid., hlm. 172.
[22])
Ibid,. hlm. 174-175.
No comments:
Post a Comment