Tugas, Fungsi, Kedudukan, dan Kewajiban Hakim di Lingkungan Badan Peradilan Agama
1.
Tugas hakim
Dalam
peradilan, tugas hakim adalah mempertahankan tata hukum, menetapkan apa yang
ditentukan oleh hukum dalam suatu perkara. Dengan demikian yang menjadi tugas
pokoknya adalah menerima, memeriksa, dan mengadili serta menyelasaikan setiap
perkara yang diajukan kepadanya.
Dari
banyaknya masalah yang ada, tidak semuanya ada peraturan perundang-undangannya
yang mengatur masalah tersebut. Untuk mengatasi masalah hal ini hakim tidak
perlu untuk selalu berpegang pada peraturan-peraturan yang tertulis saja, dalam
keadaan demikian tepatlah apabila hakim diberi kebebasan untuk mengisi
kekosongan hukum. Untuk mengatasi masalah tersebut hakim dapat menyelesaikannya
dengan memperhatikan hukum yang hidup dalam masyarakat atau yang dikenal dengan
hukum adat. Sehingga dengan demikian tidak akan timbul istilah yang dikenal
dengan sebutan kekosongan hukum. Kewenangan hakim untuk melakukan hal demikian
ini sesuai pula dengan apa yang telah ditentukan dalam pasal 16 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004.
Dengan
melihat kenyataan di atas, maka tampak jelas bahwa dalam hal ini hakim harus
aktif dari permulaan sampai akhir proses, bahkan sebelum proses dimulai, yaitu
pada waktu penggugat mengajukan gugatan, hakim telah memberikan pertolongan
kepadanya. Sedangkan setelah proses berakhir, hakim memimpin eksekusi.
Aktifnya
hakim dapat dilihat dari misalnya dengan adanya usaha dari hakim untuk
mendamaikan dari kedua belah pihak. Bentuk yang lain misalnya, tindakan hakim
untuk memberikan penerangan selayaknya kepada para pihak yang berperkara
tentang upaya-upaya hukum apa yang dapat mereka lakukan, atau tentang pengajuan
alat-alat bukti, sehingga dengan demikian pemeriksaan dapat berjalan dengan
lancar.
Selain
bersifat aktif, hakim bersifat pula pasif, dalam arti bahwa ruang lingkup atau
luas pokok sengketa yang diajukan kepada hakim untuk diperiksa pada asasnya
ditentukan oleh para pihak yang berperkara dan bukan oleh hakim. Hakim hanya
membantu para pencari keadilan dan mengatasi segala hambatan dan rintangan
untuk dapat tercapainya keadilan. Dalam hal ini, para pihak dapat secara bebas
mengakhiri sengketa yang telah diajukan ke muka pengadilan, sedang hakim tidak
dapat menghalang-halanginya, hal ini dapat dilakukan dengan jalan perdamaian
atau pencabutan gugatan. Dengan demikian hakim tidak menentukan luas dari pokok
sengketa, yang berarti hakim tidak boleh menambah atau menguranginya.
Dari
sini dapat disimpulkan, bahwa hakim bersifat aktif kalau ditinjau dari segi
demi kelancaran persidangan, sedangkan hakim bersifat pasif kalau ditinjau dari
segi luasnya tuntutan.
Tugas
hakim pengadilan agama di dalam mewujudkan keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa, bukan sekedar berperan memantapkan kepastian hukum, melainkan juga
keadilan.[1]
Dalam
penjelasan atas Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman
Pasal 1, dijelaskan:
Kebebasan dalam
melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak karena tugas hakim adalah
untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia.
Dicantumkannya
pernyataan itu pada pada penjelasan undang-undang dimaksudkan agar mata, hati,
dan telinga hakim terbuka terhadap berbagai tuntutan yang berkembang dalam
masyarakat. Dengan demikian, dalam melaksanakan kewajibannya, ia tidak hanya
berdasarkan hukum, tetapi berdasarkan keadilan yang diucapkan atas nama Tuhan
Yang Maha Esa.
Disamping
yang lahiriyah, terdapat tanggung jawab hakim yang bersifat batiniah, yaitu:
Bahwa karena
sumpah jabatannya, dia tidak hanya bertanggung jawab pada hukum, kepada diri
sendiri, dan kepada rakyat, tetapi bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam Undang-undang ini dirumuskan dengan ketentuan bahwa pengadilan
dilakukan, ‘Demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’. [2]
2. Fungsi Hakim
Fungsi hakim adalah menegakkan
kebenaran sesunggyuhnya dari apa yang dikemukakan dan dituntut oleh para pihak
tanpa melebihi atau menguranginya terutama yang berkaitan dengan perkara
perdata, sedangkan dalam perkara pidana mencari kebenaran sesungguhnya secara
mutlak tidak terbatas pada apa yang telah dilakukan oleh terdakwa,[3]
melainkan dari itu harusdiselidiki dari latar belakang perbuatan terdakwa.
Artinya hakim pengejar kebenaran materil secara mutlak dan tuntas.
Di
sini terlihat intelektualitas hakim yang akan teruji dengan dikerahkannya
segenap kemampuan dan bekal ilmu pengetahuan yang mereka miliki, yang semua itu
akan terlihat pada proses pemeriksaan perkara apakah masih derdapat
pelanggaran-pelanggaran dalam teknis yustisial atau tidak.
3.
Kedudukan Hakim
Kedudukan
hakim adalah sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur
dalam undang-undang.[4]
Hakim juga harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, jujur,
adil, professional, dan berpengalaman dalam bidang hukum, dan bagi soerang
hakim dituntut dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim wajib menjaga kemandirian
peradilan.
4.
Kewajiban Hakim
Adapun
kewajiban hakim menurut Undang-undang No. 4 Tahun 2004 sebagi pengganti UU No.
14 tahun 1970 adalah:
- Memutus demi keadilan berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menentukan : a) Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa, b) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu (pasal 4 ayat 1).
- Menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat (pasal 28 ayat 1).
- Dalam mempertimbangkan berat ringannya hukuman, hakim wajib memberhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa. Berdasarkan ketentuan ini maka dalam menentukan berat ringannya hukuman yang akan dijatuhkan hakim wajib memperhatikan sifat baik atau sifat jahat dari terdakwa sehingga putusan yang dijatuhkan setimpal dan adil sesuai dengan kesalahannya (pasal 28 ayat 2).
Dengan
demikian tugas hakim adalah melaksanakan semua tugas yang menjadi tanggung
jawabnya untuk memberikan kepastian hukum semua perkara yang masuk, baik
perkara tersebut telah di atur dalam undang-undang maupun yang tidak terdapat
dalam ketentuannya. Di sini terlihat dalam menjalankan tanggung jawabnya, hakim
harus bersifat obyektif, karena merupakan fungsionaris yang ditunjuk
undang-undanguntuk memeriksa dan menggali perkara dengan penilaian yang
obyektif pula, karena harus berdiri di atas kedua belah pihak yang berperkara
dan tidak boleh memihak salah satu pihak.
No comments:
Post a Comment