Dasar Dan Syarat Pengangkatan
Hakim
Lembaga peradilan
sebagai lembaga Negara yang ditugasi menerapkan hukum (Izhar Al Hukm)
terhadap perkara-perkara yang berkaitan dengan hukum dan adanya hakim sebagai
pelaksana dari Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan
Kehakiman, ketetapan Majelis Permusyawarakatan Indonesia Nomor X/MPR/1998 yang
menyatakan perlunya reformasi di bidang hukum untuk penanggulangan dibidang
hukum dan ketetapan Majlis Permusyawatan Rakyat Nomor III/MPR/1978 Tentang
Hubungan Tata Kerja Lembaga Tinggi Negara .[1]
Dalam al-Quran di jelaskan :
Dalam ayat lain di sebutkan :
Ayat tersebut menjelaskan bahwa Allah menciptakan Daud
sebagai khalifah di muka bumi ini supaya menghukumi di antara manusia dengan
benar. Sedangkan ayat
selanjutnya menegaskan bila menghukumi manusia harus sesuai dengan dengan apa
yang telah dianjurkan oleh Allah dan
orang yang menghukumi tersebut adalah hakim. Dalil hadis} antara
lain
Dari hadis dan ijma' tersebut dijelaskan tentang
keutamaan ijtihad, kemuliaan ijtihad yang dilakukan dengan sungguh-sungguh baik
benar atau salah akan mendapat pahala. Maksudnya seorang hakim dalam memutuskan
perkara yang dihadapinya itu melalui qiyas yang mengacu kepada al-Kitab dan al-Sunah
bukan berdasarkan pendapat pribadi, yang terlepas dari keduanya.
Hal ini sebagai salah satu usaha menggali hukum guna
melindungi kepentingan-kepentingan orang-orang yang teraniaya dan untuk
mernghilangkan sengketa-sengketa yang timbul dalam masyarakat, akibat dari
luasnya wilayah Islam, seperti pada masa bani umayah khalifah hanya mengangkat
qod}i pusat dan didaerah diserahkan pada penguasa daerah dan hanya diberi
wewenang untuk memutuskan perkara, sedangkan untuk pelaksanaan putusan oleh
khalifah langsung atau oleh utusannya.[6]
Sedangkan pada masa Bani Abbasiah dibentuknya Mahkamah Agung, pembentukan hakim
setiap wilayah, pembukuan dan mulainya organisasi peradilan,[7]
sehingga menempatkan hakim sebagi sosok yang sangat diperlukan dan mempunyai
peranan penting.
Hakim sebagai pelaksana hukum-hukum Allah mempunyai
kedudukan yang sangat penting sekaligus mempunyai beban yang yang sangat berat.
Dipandang penting karena melalui hakim akan tercipta produk-produk hukum baik melalui ijtihad yang sangat dianjurkan
sebagai keahlian hakim yang diharapkan dengan produk tersebut segala bentuk kez}aliman yang terjadi dapat tercegah dan diminimalisir sehingga ketentraman
masyarakat terjamin. Dari tugas hakim ini menunjukkan posisi hakim sangat
penting sebagai unsur badan peradilan. Dari penjelasan dasar hakim di atas
menempatkan Hakim sebagai salah satu unsur peradilan yang dipandang penting
dalam menyelesaikan perkara yang diperselisihkan antara sesama, oleh sebab itu
harus didukung oleh pengetahuan dan kemampuan yang professional dengan syarat-syarat
yang umum dan khusus yang di tentukan oleh oleh Mahkamah Agung atas kekuasaan
kehakiman yang diatur oleh undang-undang tersendiri, terkecuali Mahkamah
Konstitusi yang kekuasaan dan kewenangannya oleh Mahkamah Konstitusi.
Adapun
syarat menjadi hakim secara umum adalah
:
1. Warga Negara Indonesia
2.
Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa
3.
Setia Pada Pancasila dan Undang-undang
4.
Bukan anggota organisasi terlarang
5.
Pegawai Negeri
6.
Sarjana hukum
7.
Berumur serendah-rendahnya 25 tahun
8.
Berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan baik.[8]
Mengenai ketentuan khuhusnya terdapat pada masing-masing
lembaga peradilan. Peradilan Agama mensyaratkan hakim harus beragama Islam dan
sarjana syari'ah atau sarjana hukum yang mempunyai kehlian dalam bidang hukum Islam.
Dan pada peradilan Tinggi Agama minimal berumur 40 tahun dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua
Peradilan Agama dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan Agama.[9] Peradilan
Tata Usaha Negara mensyaratkan sarjana hukum yang memiliki keahlian di bidang
Tata Usaha Negara atau Administrasi Negara yang melaksanakan fungsi untuk
menyelenggarakan urusan pemerintahan baik Pusat maupun Daerah, sedangkan pada
Peradilan Tinggi Tata Usaha Negara minimal berumur 40 tahun dan minimal harus 5 tahun menjadi ketua atau
wakil Peradilan Tata Usaha Negara dan 15 Tahun menjadi hakim pada Peradilan
Tata Usaha Negara.[10] Pada
peradilan Militer mensyaratkan hakim harus pengalaman dalam peradilan,
berpangkat kapten dan berijazah sarjana hukum, dan pada Hakim Militer Tinggi
minimal berpangkat Letnan Kolonel, serta pada Hakim Militer Utama minimal
berpangkat kolonel dan pengalaman sebagai Hakim Militer Tinggi atau sebagai
Oditur Militer Tinggi,[11]
Sedangkan pada Peradilan Militer ini tidak ada batasan umur yang menjadi
persyaratan. Adapun Peradilan adhoc pada Peradilan Hak Azasi Manusia hakim
harus mempunyai keahlian hukum, berumur minimal 45 tahun dan maksimal 65 tahun
dan memiliki kepedulian di bidang hak azasi manusia, serta pada hakim ad hoc pada
Mahkamah Agung minimal berumur 50 tahun.[12] Sedangkan
pada Mahkamah Agung atau Hakim Agung minimal umur 50 tahun dan sekurang-kurangnya
20 Tahun menjadi hakim dan sekurang-kurangnya 3 Tahun menjadi hakim tinggi. Dan
apabila diangkat dari dari bukan karir yaitu dari profesi hukum atau akademisi,
sekurang-kurangnya telah menjalani rofesinya selama 25 Tahun, dan berijazah
magister hukum.[13] Dan
Mahkamah Konstitusi yaitu mempunyai kewenangan pada tingkat pertama dan
terakhir yang putusannya bersifat final, mensyaratkan hakim minimal berumur 40
tahun, tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
dengan kekuatan hukum tetap yang diancam lima tahun penjara serta tidak dinyatakan pailit dan mempunyai pengalaman
di bidang hukum minimal 10 Tahun, serta masa jabatan hakim Mahkamah Konstitusi
ini hanya 5 Tahun.[14] Adapun Cik Hasan Bisri menyatakan
persyaratan tersebut termasuk kedalam dua katagori. Pertama, syarat kongkrit
yaitu nomor 1-8, kecuali nomor 3 dan 8. kedua, sebagai syarat Abstrak yaitu : Bertaqwa,
Adil, jujur dan setia.[15]
Sedangkam Imam Mawardi menambahkan bahwa hakim harus
diketahui identitasnya, harus memahami tugas atas pekerjaanya, menyebut
wewenangnya dan wilayah (Negara atau Propinsi).[16] Sedangkan
dalam literatur Islam atau fiqih ada beberapa persyaratan yang menjadi
persamaan dan perbedaan, persamaannya hakim harus berakal, Islam, adil,
berpengetahuan baik dalam pokok hukum agama dan cabang-cabangnya, sehat
pendengaran, penglihatan dan ucapan dan merdeka bukan hamba sahaya.[17].
Adapun perbedaannya adalah pada fiqih Islam
disyaratkan hakim laki-laki dan tidak boleh perempuan yang terjadi khilafiyah
diantara para ulama dari empat maz\hab kecuali Abu Hanifah membolehkan selain dalam urusan hadd dan qis}as}, karena kesaksian dalam dua hal tersebut tidak dapat diterima.[18]
Dalam
Hadis disebutkan :
Hadis\\\\\\\\\\\\\\\\\\\\ di atas menerangkan bahwa perempuan dianggap belum mampu membawa
kemenangan atau kemajuan. Ini merupakan pendapat lama karena melihat kondisi
perempuan yang berbeda dengan masa sekarang, sehingga
sekarang ini wanita boleh menjadi hakim asalkan mempunyai keahlian serta
memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan oleh hukum positif dan hukum Islam.
Persyaratan-persyaratan tersebut merupakan persyaratan
pada masa dahulu dikarenakan luasnya wilayah Islam dan banyaknya permasalahan
yang muncul sehingga menjadi komplek sedangkan lembaga peradilan masih sangat
sedikit, namun dalam kontek sekarang peradilan yang yang sudah merata dan laju
kehidupan yang semakin maju sehingga persyaratan-persyaratan itu menjadi
dikontekkan secara umum untuk lebih mewadahi pluralitas yang ada, kecuali dalam
peradilan agama yang memakai azas personalitas keIslaman sebagai lembaga
peradilan khuhus dari lembaga peradilan yang lainnya.
Dengan berbagai macam syarat tersebut diharapkan hakim
dapat bermoral tinggi dan tidak boleh melakukan perbuatan tercela, melanggar
sumpah jabatan atau melanggar larangan seperti menjadi pengusaha atau penasehat
hukum, Karena syarat tersebut termasuk dalam ajaran yang menuntut moral dan
tanggungjawab sebagai seorang hakim setelah disumpah sesuai agamanya
masing-masing.
Adapun lafal sumpah dan janjinya sebagai berikut :
Sumpah
:
" Demi Allah saya bersumpah bahwa saya akan
memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang
teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dan menjalankan
segala peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya menurut
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, serta berbakti kepada
nusa dan bangsa."
Janji
:
" Saya berjanji bahwa saya dengan
sungguh-sungguh akan memenuhi kewajiban hakim dengan sebaik-baiknya dan
seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, dan menjalankan segala peraturan perundang-undangan dengan
selurus-lurusnya menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, serta berbakti kepada nusa dan bangsa." [20]
Maka jika seorang hakim melanggar maka dapat
diberhentikan secara tidak hormat oleh Presiden dengan terlebih dahulu diberi
kesempatan untuk membela diri.
[1]
Sebagai salah satu dasar atas
terbentuknya lembaga Mahkamah Agung sebagai lembaga tertinggi dan lembaga peradilan di bawahnya.
[4] Ima>m
Abi> Husain
Muslim Bin al-Hajjaj Ibn Muslim al-Qusyairi>
Annisaburi>, Kitab Ja>mi' I As}ah}ih}, Bab Baya>nu Ajrul Ha>kim
Iz|a> ajtahidu fa as}oba au akhtou , (Bairut : Dar al-Fikr, tt), juz 5, hlm.131. dan lihat juga
Al-Hafizh Bin Hajar al-Asqolani, Bulu>bul
Ma>ram, Kitab al-Qod}o,
Hadis} nomor 4
(Semarang
: Toha Putra, tt), hlm.315.
[8] Undang-undang
No 2 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum Pasal 14 Ayat ( 1 ) dan Ketentuan tersebut dipakai di
secara umum di lingkungan peradilan tingkat pertama sampai Mahkamah Agung, tetapi
ada persyaratan khusus atau persyaratan lain yang ditentukan oleh masing–masing undang-undang di tingkat peradilan masing.
[9]
Undang-undang Nomor 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama Pasal 13 Ayat (1). Dan lihat juga Pasal
Pasal 14 Ayat (1) Butir (a-c).
[10] Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Tata Usaha Negara Pasal 14 Ayat (1) dan
Pasal 15 Ayat (1) Butir (a-c).
[12]
Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Peradilan Hak Azasi Manusia, Pasal 29
Butir (3, 4 dan 8).
[13]
Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 beserta penjelasannya Tentang Mahkamah Agung,
Pasal 7 ayat (1) Butir (a dan F) dan Ayat (2) Butir (b) dan (c).
[14] Undang-undang
Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Pasal 16 ayat (1) Butir (c-f),
dan lihat juga kewengan Mahkamah Konstitusi
yang bersifat final dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang
Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal 12 ayat (1) Butir (a-d) dan Ayat (2), serta Pasal 22.
[15] M.Yahya Harahap, Kedudukan
Kewenangan Dan Acara Peradilan Agama, cet. ke-1, (Jakarta : Pustaka Kartini
: 1993), hlm. 112.
[16] Imam Mawardi, Hukum Tata Negara Dan Kepemimpinan
Dalam Takaran Islam, cet. ke-1, (Jakarta : Gema Insani
Press,Tahun 2000),hlm. 142-143.
[18] M.Yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan Dan
Acara Peradilan Agama, cet. ke-1, (Jakarta : Pustaka Kartini : 1993),
hlm.35-43.
No comments:
Post a Comment