Dinasti Safawi
Dari Tarekat Ke Politik
Serta
Kontribusinya terhadap Perkembangan Iran Modern
Pada waktu kerajaan Turki Usmani sudah mencapai
puncak kejayaannya, kerajaan Safawi di Persia masih baru berdiri. Namun pada
kenyataannya, kerajaan ini berkembang dengan cepat. Nama Safawi ini terus di
pertahankan sampai tarekat Safawiyah menjadi suatu gerakan politik dan menjadi
sebuah kerajaan yang disebut kerajaan Safawi. Dalam perkembangannya, kerajaan
Safawi sering berselisih dengan kerajaan Turki Usmani [1]
Gerakan politik-keagamaan kaum Tarekat Safawi
terjadi ketika dunia Islam tengah memasuki periode pertengahan (1250-1800 M).
Gerakan Tarekat Safawi muncul pada abad ke-13 M di Ardabil, sebuah kota di
Azerbeyjan,
wilayah Iran bagian Barat.2 Ardabil pada saat itu merupakan wilayah
kekuasaan Kara koyunlu yang berasal dari suku Turki yang menganut Syiah.
Pendiri Tarekat Safawi adalah Saifuddin Ishaq(1252-1334).
Gerakan Tarekat Safawi pada masa awal masih bercorak
keagamaan murni. Tetapi, karena kondisi sosial yang mendukungnya dan doktrin
Syi’ah yang memotivasi kaum Safawi, kemudian mereka merubah corak pemikiran
keagamaan kepada pemikiran politik-keagamaan dalam gerakan Tarekat Safawi[2]
Pada masa awalnya, Tarekat Safawi berbentuk
pengajian tasawuf murni yang bersifat lokal, yang
bertujuan menanamkan ajaran-ajaran Sufistik dan kesalehan sebagai bagian yang
terpenting dalam tasawuf, sehingga para pengikut tarekat ini taat dan
teguh menjalani ajaran agamanya
Gerakan Tarekat Safawi pada masa awal masih bercorak
keagamaan murni. Tetapi, karena kondisi sosial yang mendukungn dan memotivasi
kaum Safawi, kemudian mereka merubah corak pemikiran keagamaan kepada pemikiran
politik-keagamaan dalam gerakan Tarekat Safawi
Sebagai organisasai keagamaan (dakwah) tarekat dapat
dijadikan institusi politik-dakwah dengan tujuan guna menyebarkan Islam
sekaligus meraih cita-cita politik dalam mengembangkan ajaran agama Islam di
tengah kehidupan sosial, baik kehidupan sosial-keagamaan maupun sosial-politik
(yakni sistem religio-politik Islam) yang dilakukan kaum Tarekat Safawi. Organisasi
tarekat sekaligus sebagai institusi politik-dakwah kaum Tarekat Safawi selain
berfungsi untuk memudahkan konsolidasi dan penyebaran doktrin tarekat itu bagi
pengikutnya di tengah masyarakat, juga sekaligus untuk meningkatkan kaum
Tarekat Safawi di hadapan penguasa dan di tengah masayarakat.
Gerakan tarekat Safawi juga tidak jarang menghadapi
peperangan-perangan politik dengan beberapa kerajaan, hingga pada saat Ismail
ibn Haidar dapat mengalahkan penguasa dari Syrwanid kemudian dilanjutkan
kemenangan atas Alaq Koyunlu memberikan jalan kepada tarekat Safawi untuk
mendirikan kerajaan.
B. Tarekat
Safawiyah
Cikal bakal kerajaan Safawi ini berasal
dari tradisi tarekat. bagaimana tradisi tarekat mampu melahirkan sebuah dinasti
besar seperti Safawi, istilah Safawi dinisbahkan kepada tarekat Safawiyah yang didirikan oleh Syekh
Saifuddin Ishaq(1252-1335M) di Ardabil
barat laut Iran, dalam periode Dinasti Ilkhan antara abad ke 7-8 H. Syeikh
Saifuddin selain sebagai seorang guru tarekat juga sebagai pedagang dan
politisi. Namun dalam berpolitik Syekh Saifudddin kurang berambisi terhadap
kekuasaan politik, karena bidang politik bukanlah perhatian utamanya, ia
lebih tertarik menjadi pelindung bagi
kaum miskin dan kalangan yang lemah. Selain itu ia memiliki misi mengislamkan
orang mongol. Ia sendiri adalah seorang Suni. Popularitas Syekh Saifuddin tidak
terbatas hanya diwilayah Ardabil. jaringan para murid dan wakilnya dari wilayah Oxus sampai Teluk Persia dan dari
wilayah kaukasus hingga Mesir.[3]
Setelah wafatnya Syekh Saifuddin Ishaq kepemimpinan
tarekat Safawiyah digantikan oleh Syekh Khwaja Ali yang merupakan anak cucu
Syekh Saifuddin Ishaq. Kemudian tarekat Safawiyah beralih dibawah pimpinan
Syeikh Junaid pada tahun 1447 M, sejak kepemimpinan tarekat Safawiyah di bawah
pimpinan syekh Junaid aliran tarekat tersebut mengalami perubahan paham dan
cara bertarekat, tarekat Safawiyah yang di kembangkan dari lembaga Tasawuf yang
mempunyai kecenderungan kepada hal-hal yang bersifat ukhrowi menjadi aliran
agama yang mempunyai kecenderungan kepada politik dan kekuasaan
Para pengikut tarekat di kerahkan dengan cara
militer untuk melakukan gerakan menentang negara tetangga yang beragama Kristen,
ataupun untuk memanfaatkan situasi pertentangan antara penguasa Kara Koyunlu dan
Alaq Koyunlu.
Gerakan politik tarekat Safawiyah pada masa
kepemimpinan SyekhJunaid menggunakan alasan jihad untuk melawan orang Georgia
dan Kaukasus dihadapkan pada kenyataan bahwa gerakan tersebut telah memasuki wilayah
Kaukasus Utara. Dengan kata lain penguasa Syirwanid menganggap gerakan Syeikh
Junaid sebagai gerakan pencaplokan terhadap wilayahnya. Maka terjadilah
pertempuran antara Syekh Junaid dan penguasa Syirwanid, yang mengakibatkan
terbunuhnya Syekh Junaid. [4]
Sepeninggal Syekh Junaid, kedudukannya digantikan
oleh anaknya, Haidar, yang baru lahir beberapa minggu menjelang Syekh Junaid
wafat. Haidar di besarkan dilingkungan istana pamannya, Uzun Hasan seorang raja
Alaq Koyunlu yang berhasil menguasai Irak dan Azerbaijan. Sekitar umur sepuluh tahun
haidar telah menetapdi Ardabil, tempat kelahiran dan pusat perkembangan tarekat
safawiyah. Di tempat itulah Haidar perlahan mengorganisasi kekuatan dengan
memanfaatkan pola kharismatik kepemimpinan ayahnya, yang telah dianggap sebagai
Tuhan oleh para pengikutnya yang fanatik dan ekstrem. Atas dasar ini lah,
Haidar dianggap oleh pengikutnya sebagai anak Tuhan. untuk meneruskan
kepemimpinan dan ambisi ayahnya, ia lebihj jauh mengorganisasi kekuatan
pengikutnya yang fanatik menjadi tentara agama yang di kenal dengan sebutan Qizilbasy.
Karena beberapa pertimbangan,Haidar yang merupakan
keponakan Uzun Hasan diminta agar kembali datang ke istanahnya di
Diyarbakr,Turki untuk menikahkannya dengan putrinya Baki Aqa. Pada tahun 1478
M, Uzun Hasan meninggal dan kekuasaannya digantikan khalil, namun beberapa
bulan kemudian Khalil meninggal karena terbunuh oleh adiknya Ya’qub, yang memiliki ambisi politik serta menganggap
Haidar sebagai ancaman.
Untuk mewujudkan ambisi politiknya Haidar melakukan
serang ke wilayah kaukasus Utara sebanyak dua kali, 1483 M dan 1487 M.
sepertihalnya ayahnya, Junaid, Haidar juga merencanakan untuk merebutkekuasaan
kerajaan kecil Syirwanid yang tetap berada diluar control Alaq Koyunlu. Dengan
kemampuan berdiplomasi Haidar mampu meyakinkan pemimpin Syirwanid, Sriwan Syah
khalilullah. Namun diplomasi Haidar
sebenernya untuk memerlukan persetujuan melintasi wilayah Syirwanid guna
mengadakan serangan terhdap wilayah Kaukasus Utara. Pergantian penguasa Syirwanid yang digantikan oleh
Farrukh Yasar, berbeda dengan penguasa
sebelumnya, Farrukh Yasar tidak memberikan izin kepada Haidar untuk melewati
Syirwanid.
Disamping itu Haidar tetap merupakan ancaman bagi
kerajaan Alaq Koyunlu. Atas dasar itulah, ketika kali ketiga Haidar melakukan
serangan ke Kaukasu Utara pada tahun 1488 M, ia dihadang oleh Ya’qub dan
farrukh Yasar di Syirwanid , dalam pertempuran tersebut ia menemui ajalnya.
Kemudian anak-anak dari Haidar diasingkan ke Fars dan baru kembali ke Ardabil
ketika Alaq Koyunlu mengalami kemelut politik internal akibat dari perebutan
kekuasaan.
Pada tahun 1495 M, anak tertua Haidar, Sultan Ali,
meninggal dunia ditangan penguasa Alaq Qoyunlu, Rustam. Maka dari itu
kepemimpinan tarekat Safawiyah beralih ketangan putra termuda Haidar, Ismail,
yang baru lahir setahun sebelum ayahnya meninggal. Untuk melarikan diri dari kejaran Rustam, Ismail
tinggal diLahijan selama lima tahun sejak kematian kakanya. Di Lahijan, Ismamil
hidup dibawah pengawasan Karkiya Mirza Ali, seorang pengusa Jilan. Untuk
mengajari Ismail pengetahuan agama, Karkiya Mirza Ali mendatangkan seorang
ulama syiah. Ulama tersebutlah yang menjabat sebagai Sadr,setelah Ismail
berhasil mendirikan Kerajaan Safawi.
Kematian penguasa Alaq Koyunlu, Sultan Rustam pada
tahun 1497 M. menjadi angin segar bagi Ismail. Mewarisi kharismatik ayah dan
kakeknya,ia bebas mengorganisasi dan mengerahkan para pengikutnya yang fanatik,
dengankekuatan 7000 tentara Qizilbasy pada maret 1500,Ismail bergerak menyerang
Arzinjan di Anatolia Timur, delapan bulankemudian yakni pada desember 1500,
pasukan Ismail melakukan serangan terhdap Syirwanid, maka terjadilah peperangan
anatara pasukan Ismail dengan pasukan
farrukh Yasar. Namun kali ini tidak seperti peperangan yang terjadi 12 tahun lalu yang mengakibatkan
terbunuhnya Haidar karena Syirwanid harus berperang sendirian tanpa bantuan
dari Alaq koyunlu yang mengakibatkan kekalahan pasukan Syirwanid yang dipimpin
oleh Farrukh Yasar, Kemenangan dari Syirwanid bukan hanya sebagai keberhasilan
melakukan balas dendam, tapi kemenangan ini juga melancarkan jalan bagi
berdirinya kerajaan Safawi[5]
C. Kerajaan Dinasti
Safawi
Sebelum menguraikan sejarah kerajaan safawi maka
penulis akan paparkan raja yangberkuasa dari awal berdirinya kerajaan safawi
hingga berakhirnya kerajaan tersebut, diantaranya sebagai berikut,
1. Isma’il
I (1501-1524 M)
2. Tahmasp
I (1524-1576 M)
3. Isma’il
II (1576-1577 M)
4. Muhammad
Khudabanda (1577-1587 M)
5. Abbas
I (1587-1628 M)
6. Safi
Mirza (1628-1642 M)
7. Abbas
II (1642-1667 M)
8. Sulaiman
(1667-1694 M)
9. Husein
I (1694-1722 M)
10. Tahmasp
II (1722-1732 M)
11. Abbas
III (1732-1736 M)
Pada masa kepemimpinan Ismail ibn Haidar
(1501-1524), gerakan politik-keagamaan kaum Tarekat Safawi lebih ditujukan pada
gerakan sosial-politik dengan tujuan merebut kekuasaan politik dan mendirikan
negara berbasis doktrin Syi’ah Dua belas sebagai mazhab negara. Ismail adalah
sosok seorang pemuda yang sangat ambisius untuk menguasai politik dan berkuasa
berdasarkan doktrin Syi’ah Dua belas. Ia menghimpun kekuatan politik yang
didasarkan pada doktrin Syi’ah dan berkonsolidasi dengan pasukan Qizilbas[6]
Beberapa langkah strategis yang
dilakukan oleh Ismail ibn Haidar dalam mengkonsolidasikan pasukan Qizilbas untuk meningkatkan gerakan
politik-keagamaan , antara lain: Pertama,
Ismail ibn Haidar menyatakan dirinya keturunan Imam Musa al-Kazim dan Ismail
pun menyatakan dirinya sebagai wakil imam gaib, al-Mahdi[7]. Kedua, Ismail ibn Haidar menyatakan
dirinya memiliki sifat ketuhanan serta meyakinkan dirinya kepada pengikutnya
bahwa dirinya titisan Tuhan yang berwujud pada dirinya. faham tersebut dianut
oleh Ismail bertujuan untuk meyakinkan kesetiaan pasukan Qizilbasy atas kepemimpinannya dalam
mewujudkan kekuasan politik. Ketiga,
Ismail ibn Haidar mengharuskan kepada setiap pasukan Qizilbasy untuk menyatakan sumpah janji setia (bai’at) mereka kepada Ismail ibn
Haidar dengan mengucapkan, tiada tuhan kecuali Allah dan Ismail adalah wali
Allah.[8]
Pada
masa kepemimpinan Ismail ibn Haidar, gerakan politik-keagamaan bagi kaum
Tarekat Safawi yang semula berpusat di Ardabil dipindahkan ke Gilan. Di wilayah Gilan ini, Ismail
terus melakukan konsolidasi dengan para pengikutnya di Azerbaijan, Syiria, dan
Anatolia, untuk mempersiapkan dan menghimpun kekuatan pasukan Qizilbasy yang berasal dari kumpulan
suku Turki, untuk menyerbu dan mengalahkan Koyunlu[9]
Kemudian
pasukan Qizilbasy terus
memasuki dan menak-lukkan Tabriz, ibu kota Koyunlu, dan akhirnya Ismail ibn Haidar bersama pasukan Qizilbas, pada hari Jum’at tahun 1501
M memproklamasikan dirinya sebagai penguasa politik pertama dengan gelar raja (syah) sekaligus pemimpin Tarekat Safawi
dengan gelar syaikh pertama
yang berhasil mendirikan Dinasti Safawi, Ismail ibn Haidar dalam proklamasi
berdirinya Dinasti Safawi tahun 1501 M, ia juga memutuskan ajaran Syi’ah Dua
belas (Syi’ah Isna ’Asyariyah)
diberlakukan sebagai agama resmi negara[10]
Dalam kasus Syah Ismail yang berpadu dalam dirinya
antara penguasa politik sebagai Syah atau raja dan guru tarekat sebagai Syekh
atau mursyid.untuk memperkukuh kekuasaan barunya, Ismail memerlukan dukungan
keagamaan dan politik. Posisi kekuasaannya diletakkan atas tiga dasar, pertama, konsep kekuasaan kerajaanpersia
kuno yangtercermin dalam konsep bahwa raja adalahbayanganTuhan dibumi, kedua, posisi sebagaisyekh tarekat
Safawiyah yang memungkinkannya untuk menuntut kepatuhan penuh dari pengikutnya
dan ketiga, pengakuannya bahwa dia
adalah keturunan dari Imam ketujuh dan memerankan sebagai wakil Imam Mahdi.
Pada kepemimpinan Ismail, ia
menginstruksikan kepada sadr atau mentri agama untuk menyebarluaskan ajaran
Syiah, dan itu merupakan tugas sadr pada periode awal. Tentu tugas yang berat untuk
menjadikan penduduk Persia beralih ideologi dari Suni ke Syiah. Syiahisasi ini
telah menimbulkan pertentangan ideologi yang sangat serius. untuk mewujudkan
programnya,ismail tidak segan-segan melakukan tindakan kekerasan. Ismail juga
secara kejam membunnuh ulama maupun sastrawan suni yang menolak ideologi syiah.[11]
Syah Ismail wafat pada tahun 1524 M,
Tahmasp, anak tertua Ismail, yang masih berusia sepuluh tahun menggantikan
ayahnya sebagai raja. Sebelum ia dewasa dan mampu mengendalikan kekuasaannya,
telah terjadi konflik internal antar anggota Qizilbasy yang memperebutkan
kepentingan politik. Situasi konflik tersebut berllangsung sampaitahun 1533 M,
kemudian pemerintahan Syah Tahmasp juga harus berhadapan kekuatan luar, yakni dari
Uzbek dan Usmani pada tahun 1553 M.
Tidak seperti ayahnya, Syah Tahmasp
tidak mengklaim dirinya sebagai wakil Imam Mahdi dan keturunan Imam ketujuh.
Sebaliknya ia meneken pengikutnya yang ekstrem yang memandang dirinya sebagai
titisan Tuhan. Anti ekstremisme terhadap tradisi tarekat ini terus berlangsung
hingga menjelang akhir kekuasaannya pada tahun 1575 M.
Setelah kematian Syah Tahmasp, anaknya
Ismail II sebagai penerus penguasa setelahnya,,namun dalam kebijakan keagamaan
ia tidak meneruskan proses pengembangan ideologi Syiah yang telah diprakarsai
oleh syah Ismail dan Syah Tahmasp. Ia
menaruh sikap yang ramah terhadap suni. Sikap ini diambil sebagai upayahnya
untuk mengurangi pengaruh dan peran politik ulama syiah guna menumbuhkan
perimbangan kekuatan antara kelompok bangsawan Iran dan kelompok Qizilbasy yang
senantiasa dilanda konflik kepentingan politik. Namun sikap Syah Ismail II
tersebut menjadi boomerang baginya, sikap yang ramah terhadap suni telah
melahirkan berbagai pertentangan, terutama dari kalangan Qizilbasy yang merasa
menjadi pendukung utama lahirnya kerajaan Safawi. Dalam tangan Qizilbasy inilah
kekuasaan singkat Ismail II berakhir dalamwaktu yang cukup singkat, yakni
delapan belas bulan. Ia digantikan oleh saudaranya, Muhammad Khudabanda pada
tahun 1578 M, kelemahan dan ketidakcakapannya dalam memimpin menjadi masalah
yang sangat serius dalam pemerintahannya, akhirnya ia digantikan oleh anaknya
Syah Abbas I,melalui proses kudeta[12].
Ketika Syah Abbas I naik tahta, kondisi kerajaan Safawi
dalam keadaan lemah akibat peperangan dengan kerajaan Turki Usmani yang lebih
kuat dan terjadi berkali-kali pada zaman pemerintahan Tahmasp I, Ismail II,
hingga zaman Muhammad Khudabanda. Selain itu, di dalam negeri sering terjadi
pertentangan antara kelompok-kelompok memperebutkan kekuasaan.[13]
Maka dalam rangka memulihkan kekuatan kerajaan Safawi, Syah Abbas I melakukan
dua langkah, pertama, membangun angkatan bersenjata kerajaan yang kuat, besar
dan modern. Tentara Gizylbasy yang pernah menjadi tulang punggung kerajaan,
menurut Syah tidak bisa diandalkan lagi untuk menopang citra politik Syah yang
besar. Untuk itu perlu dibangun suatu angkatan bersenjata yang baru. Inti
satuan militer ini direkrut dari bekas tawanan perang bangsa Georgia, Armenia
dan Sircassia. Mereka diberi nama Ghulam. Mereka dibina dengan pendidikan
militer yang militan dan dipersenjatai secara modern. Sebagai pimpinannya, Syah
mengangkat Allahwardi Khan, salah seorang dari Ghulam.
Dalam membangun kekuatan militer Ghulam, Syah dibantu
oleh dua orang asing berkebangsaan Inggris, yaitu Sir Anthony Sherley dan saudaranya Sir
Rebort Sherley. Mereka mengajari tentara Safawi membuat meriam sebagai
perlengkapan tentara modern Bantuan pihak
inggeris itu, oleh sebagian sejarawan di pandang sebagai upaya Inggris untuk
melemahkan pengaruh Turki Usmani di Eropa yang menjadi musuh besar Inggris saat itu[14]. Dengan
bantuan kedua orang Inggris tersebut, Safawi membangun
kekuatan militernya, sehingga terbentuk beberapa resimen di antaranya, satu
resimen pengawal sejumlah 3000 orang Ghulam, sebuah resimen tempur yang terdiri
dari orang-orang Persia dengan kekuatan 12.000 prajurit. Saat itu kerajaan
Safawi memiliki tentara sekitar 37000 orang prajurit[15].
Langkah kedua Syah Abbas I adalah mengadakan perjanjian
damai dengan Turki Usmani. Dalam perjanjian tersebut, Safawi harus menyerahkan
kepada Turki Usmani wilayah Azerbajian, dan Georgia serta sebagian wilayah
Luristan. Termasuk dalam butir perjanjian, bahwa Syah harus menjamin
penghentian penghinaan terhadap tiga khalifah pertama, yaitu Abu Bakar, Umar
dan Usman pada setiap khutbah diseluruh wilayah kekuasaannya. Sebagai jaminan
atas janji tersebut, Syah menyerahkan saudara sepupunya Haidar Mirza sebagai
Sandra di Istambul.
Sejak saat itu, Syah Abbas I dapat berkonsentrasi memulihkan
stabilitas keamanan dalam negeri dan membentengi wilayah kekuatannya dari
serangan bangsa Uzbek yang sering kali menyerang Khurasan. Setelah itu,
Syah Abbas I mulai mengalihkan perhatiannya keluar dengan berusaha
mengembalikan wilayah-wilayah kekuasaanya yang hilang. Pada tahun 1598 M ia
merebut Heart, Merv dan Balkh. Setelah kekuatannya benar-benar terbina dan
sholid, ia pun merusaha merebut kembali wilayah kekuasannya dari tangan Turki
Usmani. Pada akhir kekuasaan Sultan Muhammad III, Ketika Turki Usmani terlibat perang
dengan Australia, Syah Abbas melancarkan serangannya terhadap Turki Usmani
sehingga berhasil merebut kembali Tabriz, Syirwan dan Baghdad. Selanjutnya
pasukan Abbas I merebut Nakhchivan, Erivan, Ganja, Tiflis dan kepulauan Hurmuz
yang menjadi pusat lalu lintas perdagangan maritim.[16]
Dengan keberhasilan membangun angkatan bersenjata yang
tangguh, lalu memulikan stabilitas dalam negeri mengembalikan wilayah-wilayah
kerajaan yang pernah direbut kerajaan lain selama pemerintahan raja-raja
sebelumnya, maka Syah Abbas I berhasil membawa Safawi mencapai kemajuan di
bidang politik.
Stabilitas politik kerajaan Safawi pada masa Syah Abbas I
telah mendorong kemajuan di bidang ekonomi, terutama pada sector industri dan
perdagangan. Untuk menunjang kekuatan militer yang memerlukan banyak dana, Syah
Abbas I melakukan usaha besar di bidang perdagangan. Ia memacu produksi
sutera dan memasarkan produk tersebut melalui para pedagang yang berada dalam
pengawasan Negara. Melalui para pedagang Armenia yang membawa produk tersebut
ke Isfahan dan menjadikan mereka sebagai penengah antara sang Syah dan
pelanggang asing, maka pihak kerajaan memperoleh kedudukan yang kuat di dalam
perdagangan Iran. Abbas I juga mendirikan Sejumlah pabrik kerajaan untuk
menghasilkan barang-barang mewah untuk keperluan kalangan kerajaan dan untuk
keperluan perdagangan internasional. Pembuatan karpet yang semula merupakan
kegiatan industri rumah tangga, di pusatkan pabrik-pabrik besar di Isfahan.
Pembuatan sutera juga di ubah menjadi industri kerajaan yang menghasilkan
beludru, kain damas, satin dan kain taf untuk di perdagangkan ke Eropa.
Kerajaan juga mengembangkan produksi keramik Cina yang khas di dasarkan pada
seni porselin Cina. Untuk menunjang kelancaran kegiatan perdagangan, di seluruh
penjuru Iran di bangun jalan-jalan dan cavansaries (perkampungan dagang).[17]
Selanjutnya,
Kemajuan di bidang fisik tata kota dan seni menyertai kemajuan
Dinasti Safawi, ketika Pembangunan besar-besaran dilakukan Syah Abbas I terhadap
kota Isfahan, Sehingga ibu kota Safawi tersebut menjadi kota yang sangat indah.
Di kota Isfahan didirikan bangunan-bangunan besar lagi indah seperti
mesjid-mesjid, rumah-rumah sakit, sekolah-sekolah, jembatan raksasa diatas
sungai Zende Rudd an istana megah yang di sebut Chihiro
l Sutun atau Istana empat puluh tiang. Kota Isfahan juga di perindah
dngan aman-taman wisata yang ditata secara apik yang dikenal dengan taman bunga
empat penjuru.
Kota Isfahan menunjukkan puncak pencapaian artistic
periode Safawi. Isfahan merupakan Paris atau Washinton pada masanya sendiri.
Taman-tamannya, perpustakannya, pavilion dan mesjid-mesjidnya membuat takjub
para pelancong Eropa yang tidak pernah melihat hal serupa di negeri mereka
sendiri. Orang Iran menyebutkan Nish Al-jahan, yaitu separo dunia,
melihatnya berarti melihat separo dunia.
Dibangun disuatu tempat sekitar 1600 meter di atas
permukaan laut di dataran Iran tengah dan dikelilingi pegunungan, Isfahan
menjadi salah satu dari kota-kota elegan di dunia.[18] Syah abbas I membangun kota baru
tersebut mengitari Maydan Syah, yakni sebuah alun-alun yang sangat besar dengan
luas sekitar 160x 500 meter. Alun-alun tersebut berfungsi sebagai pasar, tempat
perayaan dan sebagai lapangan permainan polo. Ia dikelilingi oleh sederetan
tokoh bertingkat dua dan sejumlah gedung utama pada setiap sisinya. Pada sisi
bagian timur terdapat mesjid Syekh Lutfullah yang merupakan sebuah sebuah
oratorium yang disediakan sebagai tempat peribadatan peribadi Syah. Pada sisi
bagian selatan terdapat mesjid kerajaan. Pada sisi bagian barat berdiri Istana
Ali Qapu yang merupakan gedung pusat pemerintahan. Pada sisi bagian utara dari
Maydan berdiri bangunan monumental yang menjadi symbol bagi gerbang menuju
bazaar kerajaan dan sejumlah pertokohan, caravansacies dan sejumlah perguruan.
Dari Maydan, terdapat sebuah jalan raya yang disebut Chahar Bagh sepanjang
empat kilometer, degan dihiyasi taman-taman di kedua sisanya. Chahar Bagh
menghubungkan istana musim panas yang di tempat inilah sang penguasa memberikan
saran-saran kepada duta besar dan mengadakan upacara resmi kenegaraan. Pada
sisi lain dari raya ini terdapat tempat tinggal para pegawai istana dan para
duta besar asing. Seluruh ansambel ini merupakan masterpiece bagi tata kota
Timur Tengah.[19]
Ketika Syah Abbas I wafat, di Isfahan
terdapat 162 mesjid, 48 perguruan tinggi, 1802 penginapan yang luas para
tamu Khalifah dan 273 pemandian umum. Di bidang seni, kemajuan tampak begitu jelas
dalam gaya arsitektur Persia pada bangunan-bangunannya, seperti terlihat pada masjid Syah yang
dibangun tahun 1611 M dan masjid Syekh
Luthfullah yang dibangun pada tahun 1603 M. Unsur seni lainnya terlihat pula
dalam bentuk kerajinan tangan, keramik, karpet, permadani, pakaian, tenunan,
tenbikar dan benda-benda seni lainnya.
Adapun seni lukis sudah ada sejak zaman Ismail I dan
Tahmasp I. Pada tahun 1510 sekolah lukis Timuriyah di pindahkan oleh Ismail I
dari Herat ke Tabriz. Bagdad, seorang pelukis terbesar pada masa itu dilantik
menjadi kepala perpustakaan Raja sebagai pembimbing sebuah warkshop yang
menghasilkan sejumlah manuskrip yang tercerahkan. Syah Tahmasp juga seorang
tokoh seniman besar yang menghasilkan pakaian jubah, hiasan dinding dan sutra
serta sejumlah karya seni logam dan kramik. Pada masa itu terdapat sekolah seni
lukis yang menerbitkan sebuah edisi Syah
Nameh(buku tentang Raja-raja ) yang memuat lebih dari 250 lukisan. Ini
adalah salah satu karya besar seni manuskrip Iran dan Islam yang tercerahkan.
Sementara Syah Abbas I mengembangkan lukisan-lukisan tentang peperangan,
pemandangan perburuan dan upacara kerajaan. Di atas segalanya, secara peribadi
Syah Abbas I mendukung dan mempelopori kegiatan seni seperti mendirikan
bengkel-bengkel kerja para seniman, sehingga mencipakan suatu iklim yang kondusif
bagi perkembangan seni.bahkan kisah populer menyebutkan bahwa Syah Abbas I
memegang lilin, sementara pelukis
kaligrafi kesayangannya, Ali Reza bekerja.
Selain lukisan, kerajinan logam, tekstil, karpet dan
kramik mencapai suatu penyempurnaan yang baru. Berbagai pencapaian para era ini
paling jelas terlihat bahkan hingga masa sekarang dengan sebuah kunjungan
singkat ke makam-makam dan mesjid-mesjid di Iran: ubinnya, kaligrafinya,
warna-warna lukisannya dan simetris bangunan-bangunannya telah bertahan
menghadapi ujian masa berabad-abad.[20]
Kemajuan di bidang pendidikan
tidaklah ditinggalkan oleh Syah Abbas I, Guna memperlancar sosialisasi dan
memapankan ajaran Syiah, Syah Abbas I mendirikan lembaga-lembaga pendidikan
Syiah. Banyak sekolah-sekolah dibangun di Isfahan, Masyad dn Siraj. Di
antaranya adalah sekolah teologi, sekolah Khan di Siraj (Iran Tenggara) yang
terkenal dengan seorang tokoh pengajarnya, yaitu Mula Shadra. Sekolah ini
mendapat pengakuan dari para wisatawan asing dari Eropa yang menyaksikan
langsung sebagai tempat kehidupan akademis komherensip dan sangat aktif.[21] Ini menunjukkan adanya perubahan
besar dalaam proses pengembangan lembaga dan system pendidikan Syiah pada
permulaan abad ke-17 di Iran, terutama di ibukota Isfahan. Sistem pendidikan
yang di bangun oleh Syah Abbas I ini merupakan rintisan yang kelak menjadi
model pada masa Dinasti Qajar yang telah melahirkan pusat kajian yang sangat
penting di dunia Syiah.
Pada masa Dinasti Safawi kemajuan di
bidang filsafat dan Ilmu pengetahuan dbangkitkan kembali, khususnya
dikalangan orang-orang Persia yang berminat tinggi pada perkembangan
kebudayaan. Perkembangan baru ini era kaitannya dengan aliran Syiah yang
ditetapkan Dinasti Safawi sebagai aliran agama resmi Negara.
Dalam Syiah dua belas ada dua golongan, yaitu Akhbari dan
Ushuli. Mereka berbeda dalam memahami ajaran agama. Golongan Akhbari cenderung
berpegang teguh pada hasil-hasil ijtihad pada mujtahid Syiah yang sudah mapan.
Sedangkan golongan Ushuli lebih utamakan mengambil langsung dari sumber ajaran
Islam, Alquran dan Hadis tanpa terikat oeh para mujtahid. Golongan Ushuli
inilah yang paling berperan pada masa Safawi. Pertemuan kedua elemen kelompok
inilah yang berperan pada terwujudnya perkembangan baru dalam bidang filsafat
dan ilmu pengetahuan yang kemudian melahirkan beberapa filosof dan ilmuwan.
Pada masa Safawi berkembang dua aliran filsafat. Pertama,
aliran filsafat perifatetik sebagaimana yang dikemukakan oleh Aristoteles dan
Al-farabi. Kedua, filsafat Isyragi yang dibawa oleh Suhrawardi pada abad
XII. Kedua aliran ini banyak dikembangkan di perguruan tinggi Isfahan dan
Syiraz. Di bidang filsafat ini muncul beberapa nama filosof di antaranya, Mir
Damad alias Muhammad Baqir Damad (wafat 1631 M) yang diaggap sebagai guru ketiga
(mu’allim salis) sesudah Aristoteles dan Al-farabi. Selain dikenal sebagai
filosof, ia juga adalah seorang teolog ahli sejarah serta seorang ilmuwan yang
pernah mengadakan penelitian tentang kehidupan lebah. Tokoh filsafat lainnya
adalah Mullah Shadraatau Shadr al-Din al-Syirazy. Ia adalah seorang dialektikus
yang paling cakap di zamannya. Selain itu, Ia dianggap mempunyai kemampuan
untuk mengambil jalan tengah antara filsafat perifatetik Ibnu Sina dengan
filsafat esoteric Ibnu Arabi, sehingga karyanya dipandang monumental sebagai
tingkat perjalanan agnostic yang sistematis dengan baju logika. Berkembangnya
tipe filsafat semacam ini sesuai dengan minat besar mereka terhadap ilmu
pengetahuan dan cara berfikir mendalam atau filsafat.[22].
D. Kemunduran
Dinasti Safawi
Setelah Syah Abbas wafat, ia digantikan oleh cucunya Syam
Mirza yang diumumkan sebagai raja dengan gelar Syah Shafi pada tanggal 23
Jumadil Akhir 1038/17 Pebruari 1629. Masa pemerintahannya merupakan awal
kemunduran pada masa pemerintahan Syah Shafi disebabkan oleh kebijakannya
merubah administrasi pemerintahan dalam negeri atas saran wazirnya Saru Taqi.
Selama ini pemerintahan daerah-daerah propinsi dibawa dominasi Qizilbasy,
tetapi Karena ulah mereka yang enggan mengisi kas pemerintah pusat, maka Syah
menetapkan pemerintahan propinsi-propinsi tersebut, terutama propinsi kaya
seperti Fars langsung dibawa pemerintahan pusat.
Hal yang sama masih terus berlangsung hingga masa
pemerintahan selanjutnya, yaitu pemerintahan Syah Abbas II (1052-1077/1642-1666).
Propinsi-propinsi yang selama ini dikuasai kelompok Qizilbasy, khususnya
Khurasan, Qazvin, Azerbaijan, Yazd, Qirman, Gulan dan Mazandaraan semuanya
diperintah langsung oeh Syah. Kebijakan ini membawa akibat-akibat negatif
bagi kerajaan sendiri. Kelompok Qizilbas, dilemahkan peran mereka dalam
pemerintahan. Akibatnya ialah kehilangan
kekuatannya, baik pemerintahan maupun militer. Kelemahan dan kekuatan militer
yang terdiri dari kelompok Qizilbasy dan para Ghulam tidak segera
ditanggulangi. Kelompok Ghulam tidak memiliki kualitas tempur seperti yang
dimiliki oleh kelompok Qizilbasy.
Setelah Syah Abbas II wafat, kemorosotan kerajaan semakin
tak tertahan lagi. Hal ini disebabkan adanya campur tangan para harem dalam
urusan politik, yaitu dalam pengangkatan seorang Syah. Telah menjadi kebiasaan
sejak Ismail I dan Thahamasp menunjuk calon putra mahkota sebagai Gubernur di
Khurasan. Calon putra mahkota tersebut ditempatkan dibawah asuhan seorang lala
(pengasuh). Pangeran muda, calon putra mahkota itu mendapat pendidikan dan
latihan untuk bekal menduduki singgasana kelak. Saudara-saudaranya yang lain
juga diangkat sebagai Gubernur di propinsi yang berbeda dengan diasuh
oleh seorang lala serta mendapat perlakuan yang sama pula.
Sistem ini sangat berbahaya karena seorang lala tidak jarang
merencanakan pemberontakan terhadap ayah yang memerintah. Terjadilah intrik dan
rivalitas antar pangeran untuk memperoleh kekuasaan. Karena para pangeran itu
lahir dari ibu yang berbeda, maka terjadi pula intrik dan persaingan antara
ibu-ibu pangeran tersebut yang di latar belakangi oleh ambisi masing-masing
untuk memperoleh kekuasaan sebagai Syah. Hal itu terjadi pada penetapan Syah
Sulaiman adalah melalui pertarungan antara wanita-wanita istana itu, Demikian
pula halnya dengan Syah Husain.
Pengganti Syah Abbas II adalah Syah Sulaiman (1070 H-1666
M-1106 H-1694 M). Seperti Syah Shafi, Syah Sulaiman bukan saja tidak cakap
dalam masalah politik kenegaraan, tetapi juga perhatiannya sangat kecil
terhadap pemerintahan dan kemasyarakatan. Ia lebih senang berhura-hura dengan
para wanita dan mabuk-mabukan hingga kecanduan minuman keras. Kondisi ini
menyebabkan munculnya gejala keruntuhan kerajaan Safawi. Kelemahan Syah
Sulaiman memerintah dimanfaatkan kalangan ulama untuk memainkan peran politiknya.
Gerakan politik ulama ini dimotori oleh Muhammad Baqir Majlisi yang menjadi
Syekh al-Islam Isfahan pada 1098 H/1687 M dan Mullabasyi (pemimpin Mullah) pada
1106 H/1698 M.[23]
Selanjutnya Syah
Sulaiman digantikan oleh Syah Husain (1694-1722). Ia juga lemah dan tidak cakap
menjalankan pemerintahan. Ia malah menyerahkan urusan pemerintahan kepada kaum
agamawan yang sangat fanatic Syiah, seperti Majelisi. Keputusan Syah Husain
tersebut membuat pemerintah semakin kacau. Ulama fanatic Syiah semakin menekan
kelompok sunni secara membabi buta Sikap tersebut membangkitkan kemarahan
golongan Sunni Afghanistan, sehingga mereka berontak dan berhasil mengakhiri
kekuasaan Dinasti Safawi.[24]
Pemberontakan bangsa Afghan tersebut
terjadi pertama kali tahun 1709 M di bawah pimpinan Mir Vays yang berhasil merebut
wilayah Qandahar. Pemberontakan lainnya terjadi di Heart, suku Ardabil
Afghanistan berhasil menduduki Mashad. Mir Vays diganti oleh Mir Mahmud dan ia
dapat mempersatukan pasukannya dengan pasukan Ardabil, sehingga ia mampu
merebut negeri-negeri Afghan dari kekuasaan Safawi
Karena desakan dan ancaman Mir Mahmud,
Shah Husein akhirnya mengakui kekuasaan Mir Mahmud dan mengangkatnya menjadi
gebernur di Qandahar dengan gelar Husei Quli Khan (budak Husein). Dengan
pengakuai ini, Mir Mahmud makin leluasa bergerak sehingga tahun 1721 M, ia
merebut Kirman dan tak lama kemudian ia menyerang Isfahan dan memaksa Shah
Husein menyerah tanpa syarat. Pada tanggal 12 Oktober 1722 M Shah Husein
menyerah dan 25 Oktober Mir Mahmud memasuki kota Isfahan dengan penuh
kemenangan[25]
Salah seorang putera Husein, bernama
Tahmasp II, mendapat dukungan penuh dari suku Qazar dari Rusia,
memproklamasikan dirinya sebagai raja yang sah dan berkuasa atas Persia dengan
pusat kekuasaannya di kota Astarabad. Tahun 1726 M, Tahmasp II bekerjasama
dengan Nadir Khan dari suku Afshar untuk memerangi dan mengusir bangsa Afghan
yang menduduki Isfahan. Asyraf, pengganti Mir Mahmud, yang berkuasa di Isfahan
digempur dan dikalahkan oleh pasukan Nadir Khan tahun 1729 M. Asyraf sendiri
terbunuh dalam peperangan itu. Dengan demikian Dinasti Safawi kembali berkuasa.
Namun, pada bulan Agustus 1732 M, Tahmasp II di pecat oleh Nadir Khan dan di
gantikan oleh Abbas III (anak Tahmasp II) yang ketika itu masih sangat kecil.
Empat tahun setelah itu, tepatnya tanggal 8 Maret 1736, Nadir Khan mengangkat
dirinya sebagai raja menggantikan Abbas III. Dengan demikian berakhirlah
kekuasaan Dinasti Safawi di Persia[26]
E. Kontribusi
Dinasti Safawi Terhadap Perkembangan Iran Modern
Pada zaman Safavid (1502-1736), kebudayaan
Persia mulai berkembang kembali terutama pada zaman Shah Abbas I. Sebagian
sejarawan berpendapat bahawa negara Iran modern didirikan oleh Kesultanan
Safavid. Banyak kebudayaan Iran pada hari ini berasal dari zaman pemerintahan
Safavid termasuk pengenalan aliran Syiah di Iran.
Selepas
dari berakhirnya kerajaan Safawi ditanah Persia, pada tahun 1722 M, Persia
berhasil di kuasai oleh Afghanistan, meskipun dinasti Safawi masih ada dengan
Syah Tahmasp II sebagai rajanya namun kekuasaannya di Persia sudah jauh
menyempit jika dibandingkan Afghanistan yang berhasil menguasai sebagian besar
tanah Persia, namun kekuasaan Afghanistan tidak berlangsung lama karena kedatangan Nadir Syah ditanah Persia
yang melakukan propaganda dengan menggunakan keturunan dari kerajaan
Safawi Shah Abbas II dan berhasil
mengusir orang-orang Ustmaniyah dan Rusia, sehingga Shah Abbas II menjadi
penguasa Persia.
Menjadi
Raja sebagai kelanjutan Dinasti Safawi, Shah Abbas II tidak berhasil
mempertahankan kekuasaanya,karena aktor dibalik keberhasilan Dinasti Safawi
ialah Nadir Syah, sehingga ia mengambil alih kekuasaan dari Syah Abbas II pada
tahun ketiga Syah Abbas menjadi Raja, yakni pada tahun 1736 M, dengan demikian
berakhir sudahkekuasaan Dinasti Safawi.
Kemudian
pada kurun waktu 1779 – 1925 M kerajaan Persia berada dibawah kekuasaan
Qa’ariyah, Ketika Perang
Dunia I, Iran berada di bawah pengaruh Inggris dan Rusia walaupun kebijakan
pemerintahannya netral. Pada 1919, Inggris mencoba menjadikan Iran sebagai
negeri naungan mereka tetapi rencana macet saat Shah Reza berhasil melakukan
kudeta dan mendirikan Dinasti Pahlavi. Shah
Reza Pahlavi memerintah selama 16 tahun
dan memulai proses pemodernan serta mendirikan pemerintahan sekular baru.[27]
Sejak
penemuan minyak, Persia menjadi sumber cadangan minyak utama bagi negara-negara
Sekutu. Ketika Perang
Dunia II, tentara Sekutu meminta agar Shah Reza menghalau keluar teknisi
Jerman tetapi permintaan ini ditolak. Maka, tentara Sekutu melancarkan serangan
atas Iran dan menyingkirkan Shah Reza dan melantik puteranya Shah Mohammad Reza
menjadi pengganti Raja. Namun begitu, Shah Mohammad hanyalah boneka Inggris
dalam administrasi Iran dan pemerintahannya bersifat otokratis dan dibenci
rakyat.[28]
Setelah berbulan lamanya protes dilancarkan terhadap
pemerintahan tangan besi Shah Mohammad, pada 16 Januari 1979
ia terpaksa melarikan diri ke Mesir sekaligus
mengakhiri dinasti Pahlavi. Selepas itu, Iran terlibat dalam kancah domestik
yang menyaksikan persengketaan di antara pendukung revolusi Iran dan pendukung
kerajaan sementara warisan Shah Mohammad yang dikepalai Dr. Shapour Bakhtiar. Pada
saat kembalinya Ayatollah Khomeini, pencetus revolusi Iran, ia melantik Mehdi Bazargan sebagai perdana
menteri baru Iran. Ini menyebabkan Iran terbagi dua, pemerintahan revolusi dan
pemerintahan sementara. Namun begitu, pemerintahan sementara kalah dalam persaingan merebut kuasa saat
pihak militer Iran menyatakan netral. Setelah itu, jajak pendapat dibuat untuk
mendirikan sebuah pemerintahan baru. Keputusannya, 98% rakyat menyokong gagasan
ini dan akhirnya terbentuk Republik Islam Iran.[29]
Dari
penjelasan diatas dapat di fahami bahwa
perkembangan Iran modern merupakan warisan dari kekuasaan Dinasti Safawi yang
merupakan awal penguasa Islam di tanah
Persia, semenjak kekosongan penguasa
asli dari Persia pasca habisnya kerajaan Persia Kuno. Sebuah kebudayaan, serta
bangunan dan peradaban baru di mulai di
masa Dinasti Safawi menguasai Persia, terutama kegemilangan pada masa Shah
Abbas I memimpin yang mampu memberikan sumbangsih besar terhadap
perkembangannya, bahkan penetapan madzhab Syiah sejak dinasti Safawi hingga
sekarang masih tetap berlanjut.
PUSTAKA
Abdullah,
Taufik …et al, 2002, Ensiklopedi Tematis
Dunia Islam Jilid 2, (Jakarta :
Ichtiar Baru Van Hoeve.)
Akbar S. Ahmed,1997, From
Samarkand to Stornoway Living Islam ,diterjemahkan Pangestuningsi, Living Islam (Bandung: Penerbit Mizan,)
Azra,Azyumardi et.al, selanjutnya disebut Azyumardi, Ensiklopedi Islam JilidIII (Jakarta:PT.Ikhitiar Baru Van
Hoeve)
Allouche,
1980, The Origins and Develovment of The Ottoman Safavid Conflict 1500-1555,
(Michigan: Michigan University MicroFilm Internasional)
Demircy, Suleyman The Iranian Revolution and Shia
Islam: The Role of Islam in the Iranian Revolution (History
Studies, International Journal Of History : Volume 5 Issue 3, May 2013)
Holt,
et.al. (ed), 1970, The
Cambridge History of Islam, (London: Cambridge University Press,Vol. I.A.)
Ira M. Lapidus, A History
of Islamic Societas, di
terjemahkan Ghubron A. Mas’ud Sejarah
social Umat Islam (Cet.
II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000),449.
Karim, 2007Sejarah
Pemikiarn dan Peradaban Islam (Cet.
I; Yokyakarta: Pustaka Book Publisher)
Moojan
Momen, 1985, An Introduction to Shi’i Islam, (New Haven and London: Yale
University Press)
Supriyadi,
Dedi, 2008, Sejarah Peradaban Islam (Bandung
: Pustaka Setia)
Thohir, Ajid 2004, Perkembangan
Peradaban di kawasan Dunia Islam (Cet.1;
Jakarta: PT. Raja Grafindo)
Yatim,Badri, 1999, Sejarah
Peradaban Islam (Cet. IX;
Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada)
[1]
Badri,Yatim 1999, Sejarah
Peradaban Islam (Cet. IX;
Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada),138.
[2] Harun Nasution,
1984, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press), 84.
[3] Taufik Abdullah…et al, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 2, Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve,263
[4] Ibid, 264.
[5] Ibid,266.
[6] Holt, et.al. (ed), The
Cambridge History of Islam, (London: Cambridge University Press, 1970),
Vol. I.A. 398
[7] Moojan Momen, An Introduction
to Shi’i Islam, (New Haven and London: Yale University Press, 1985), 105.
[8] Allouche, The Origins and
Develovment of The Ottoman Safavid Conflict 1500-1555, (Michigan: Michigan
University MicroFilm Internasional,1980),130
[9] Ibid,131.
[10] Holt, (et.al.), The
Cambridge History of Islam, 397.
[11] Taufik Abdullah…et al, 2002, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam Jilid 2, Jakarta : Ichtiar Baru Van
Hoeve,265
[12] Ibid, 266.
[13] Badri
yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet. IX; Jakarta:PT. Raja
Grafindo Persada, 1999), h.142
[14] Ajid
Thohir, selanjutnya disebut Ajid, Perkembangan
Peradaban di kawasan Dunia Islam (Cet.1;
Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2004),175
[15] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam (Cet. IX; Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1999),75.
[16] Ibid,
143.
[17] Ira
M. Lapidus, A History of
Islamic Societas, di
terjemahkan Ghubron A. Mas’ud Sejarah
social Umat Islam (Cet.
II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000),449.
[18] Akbar
S. Ahmed, From
Samarkand to Stornoway Living Islam,diterjemahkanPangestuningsi, Living Islam (Cet.I;Bandung: Penerbit Mizan,
1997),130.
[19] Ira Lapidus, A History
of Islamic Societas, di
terjemahkan Ghubron A. Mas’ud Sejarah
social Umat Islam (Cet.
II;Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2000), 453.
[20] Akbar
S. Ahmed, From
Samarkand to Stornoway Living Islam,.130
[21] Abd
Karim, Sejarah Pemikiarn dan
Peradaban Islam (Cet. I;
Yokyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007),308.
[22] Badri
Yatim, Sejarah Peradaban Islam ,144.
[23] Azyumardi
Azra, selanjutnya disebut Azyumardi, Ensiklopedi
Islam JilidIII (Jakarta:PT.Ikhitiar
Baru Van Hoeve),103.
[24] Hamka, 1981, Sejarah Umat Islam,71.
[25] Holt, The Cambridge History
of Islam, 426.
[26] Ibid,428-429.
[27] Dedi supriyadi, 2008, Sejarah Peradaban Islam (Bandung :
Pustaka Setia), 300.
[28] Ibid, 300
[29] Suleyman
Demircy,
The Iranian Revolution and Shia Islam: The Role of Islam in the Iranian
Revolution (History Studies, International Journal Of
History : Volume 5 Issue 3, May 2013)
No comments:
Post a Comment