Thursday 29 October 2015

Postmodernisme




Orang bisa saja menganggap “post modernisme” hanya permainan kata atau seperti hantu yang menakutkan atau sebagai aliran filsafat yang tidak bisa dipahami oleh akal kita yang lemah. Orang bisa ngotot menganggapnya tidak ada dan omong kosong. Meskipun orang bisa juga bersikukuh menganggapnya kenyataan paling real hari ini. Orang tidak akan pernah tahu apa itu post modernisme tanpa mengetahui perselisihan sejarah filsafat dengan gerakan dekonstruksinya serta munculnya imajinasi rasio dan perkebangannya.
Pembahasan ini dimulai dengan sosok tokoh post-modernisme, Jacques Derrida (1930 M) seorang filosof perancis yahudi. Dia menganut aliran filsafat non rasial kontemporer. Dia banyak terpengaruh dengan Nietsche dan filosof serta pemikir lainnya (Sartre, Martin heidegger, Emanuell leibnizts, pemikir perancis yahudi).
Derrida memulai dengan perlawanan terhadap strukturalisme (albinyawiyyah), Sebuah gerakan yang berusaha menjauh dari esensi manusia yang berada dalam naungan eksistensialisme (alwujudiah). Orang-orang strukturalis menganggap strukturalisme sebagai penggerak awal dan melampaui akal manusia. Sehingga kita mendapati struktur bahasa dan kekuasaan berbicara tentang manusia, Bukan manusia yang berbicara tentang struktur bahasa dan kekuasaan. Derrida berkesimpulan bahwa strukturalisme dikemas dalam metafisika dimana eksistensi akal ibarat ungkapan-ungkapan suci yang melampaui alam intuisi dan perubahan. Struktur dalam pandangan orang strukturalis adalah metode-metode yang menyerupai bangunan akal manusia. Sedangkan strukturalisme adalah proyek mempelajari bangunan akal tersebut. Kosekuensinya,manusia kembali pada otoritasnya dan memberikan alam rasionalitas dan makna yang memungkinkan manusia untuk sampai pada satu kebenaran.
Proyek besar Derrida adalah upaya untuk meruntuhkan ontologi barat secara menyeluruh yang dibangun dengan pola pemilahan (oposisi) biner, Seperti manusia dan alam, mutlak dan nisbi, tetap dan berubah. Oposisi biner ini bersandar pada pertanda transendensi yang tsabit. Darridas berusaha meruntuhkan pertanda transendensi tsabit tersebut (logos,mutlak dan tetap) dari sisi agama dan materi dengan menetapkan oposisi binernya. Denag begitu,dia mampu menghancurkan batasan-batasan oposisi yang tersusun dalam pertanda transenden menuju suatu alam baru tanpa batas, Asas dan tanpa dasar ketuhanan bahakan tanpa landasan sama sekali. Pluralisme dan relatifisme menjadi kata kuncinya. Alam petanda dan pertanda terpisah secara mutlak. Maka bagi mereka tidak ada bahasa (kalopun ada hanya sekedar bahasa tubuh intuisi). Realitas teks saling tumpang tindih. Teks tidak bisa lagi dihadapkan pada realitas ataupun teks dengan makna teks. Pandangan nihilisme ala posmo ini akan menjadi dekonstrukter ketika dijadikan metode dalam membaca sebuah teks.
Dengan proyek dekonstruksinya, Derrida berusaha menghancurkan batasan-batasan kata, kalimat dan makna dengan menciptakan makna-makna baru. Derrida memainkan bahasa provokatif dengan tetap menjaga keseimbangan bahasa tersebut. Apa yang dilakukan Derrida menurut Masiry adalah permainan anak-anak yang memuakkan. Kita tahu bahwa permainan anak-anak pada masa kanak-kanak adalah wajar, tapi ketika menjadi orang dewasa suasananya akan berbeda. Masiry memberikan contoh; Derrida ketika lahir diberi nama Jacky kemudian ganti menjadi Jacques. Dia mengganti namanya tanpa meninggalkan nama yang pertama. Baginya nama pertama adalah nama yang kedua dan yang kedua adalah yang pertama. Bagaimana bisa seperti itu caranya?. Derrida mengatakan “nama itu seperti tanda khitan, isyarat yang datang dari orang lain, dan tidak mungkin berpisah dari badan”. Menurut Masery nama bisa saja sama denga khitan dari satu sisi tapi tidak dari semua sisi. Kita bisa saja menyamakan satu dengan yang lain tanpa ada pertautan antar keduanya. seperti itulah tabiat perbandingan (majaz). Dia tidak menuntut pertautan dari semua sisinya sedangkan Derrida mengatakan bahwa majaz tidak bisa dibawa menuju titik akhir yang logis. Ini yang diketahui setiap anak-anak, ini juga yang dipahami oleh Derrida, akan tetapi dia mempermainkan esensi majaz untuk merusak makna bahasa itu sendiri.
Menurut Derrida, nama adalah fenomena peradaban manusia sama dengan bahasa. menurutnya, nama adalah tanda yang tidak terpisah dari yang ditandai, ada hubungan pertautan dan pemisahan antar keduanya. Menurut Masiry, seandainya kita tahu bahwa nama adalah fenomena peradaban manusia dan tunduk pada keinginan manusia, tidak seperti tubuh yang merupakan fenomena alam/materi, maka kita akan marah dan sedih seperti anak-anak dan akan memberitahu semua orang bahwa tidak ada hubungan antar tanda dan yang ditandai yang menyebabkan posisi manusia bermasalah.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post