Orang bisa saja menganggap “post
modernisme” hanya permainan kata atau seperti hantu yang menakutkan atau
sebagai aliran filsafat yang tidak bisa dipahami oleh akal kita yang lemah.
Orang bisa ngotot menganggapnya tidak ada dan omong kosong. Meskipun orang bisa
juga bersikukuh menganggapnya kenyataan paling real hari ini. Orang tidak akan
pernah tahu apa itu post modernisme tanpa mengetahui perselisihan sejarah
filsafat dengan gerakan dekonstruksinya serta munculnya imajinasi rasio dan
perkebangannya.
Pembahasan ini dimulai dengan sosok
tokoh post-modernisme, Jacques Derrida (1930 M) seorang filosof perancis
yahudi. Dia menganut aliran filsafat non rasial kontemporer. Dia banyak
terpengaruh dengan Nietsche dan filosof serta pemikir lainnya (Sartre, Martin
heidegger, Emanuell leibnizts, pemikir perancis yahudi).
Derrida memulai dengan perlawanan
terhadap strukturalisme (albinyawiyyah), Sebuah gerakan yang berusaha menjauh
dari esensi manusia yang berada dalam naungan eksistensialisme (alwujudiah).
Orang-orang strukturalis menganggap strukturalisme sebagai penggerak awal dan
melampaui akal manusia. Sehingga kita mendapati struktur bahasa dan kekuasaan
berbicara tentang manusia, Bukan manusia yang berbicara tentang struktur bahasa
dan kekuasaan. Derrida berkesimpulan bahwa strukturalisme dikemas dalam
metafisika dimana eksistensi akal ibarat ungkapan-ungkapan suci yang melampaui
alam intuisi dan perubahan. Struktur dalam pandangan orang strukturalis adalah
metode-metode yang menyerupai bangunan akal manusia. Sedangkan strukturalisme
adalah proyek mempelajari bangunan akal tersebut. Kosekuensinya,manusia kembali
pada otoritasnya dan memberikan alam rasionalitas dan makna yang memungkinkan
manusia untuk sampai pada satu kebenaran.
Proyek besar Derrida adalah upaya
untuk meruntuhkan ontologi barat secara menyeluruh yang dibangun dengan pola
pemilahan (oposisi) biner, Seperti manusia dan alam, mutlak dan nisbi, tetap
dan berubah. Oposisi biner ini bersandar pada pertanda transendensi yang
tsabit. Darridas berusaha meruntuhkan pertanda transendensi tsabit tersebut
(logos,mutlak dan tetap) dari sisi agama dan materi dengan menetapkan oposisi
binernya. Denag begitu,dia mampu menghancurkan batasan-batasan oposisi yang
tersusun dalam pertanda transenden menuju suatu alam baru tanpa batas, Asas dan
tanpa dasar ketuhanan bahakan tanpa landasan sama sekali. Pluralisme dan
relatifisme menjadi kata kuncinya. Alam petanda dan pertanda terpisah secara
mutlak. Maka bagi mereka tidak ada bahasa (kalopun ada hanya sekedar bahasa tubuh
intuisi). Realitas teks saling tumpang tindih. Teks tidak bisa lagi dihadapkan
pada realitas ataupun teks dengan makna teks. Pandangan nihilisme ala posmo ini
akan menjadi dekonstrukter ketika dijadikan metode dalam membaca sebuah teks.
Dengan proyek dekonstruksinya,
Derrida berusaha menghancurkan batasan-batasan kata, kalimat dan makna dengan
menciptakan makna-makna baru. Derrida memainkan bahasa provokatif dengan tetap
menjaga keseimbangan bahasa tersebut. Apa yang dilakukan Derrida menurut Masiry
adalah permainan anak-anak yang memuakkan. Kita tahu bahwa permainan anak-anak
pada masa kanak-kanak adalah wajar, tapi ketika menjadi orang dewasa suasananya
akan berbeda. Masiry memberikan contoh; Derrida ketika lahir diberi nama Jacky
kemudian ganti menjadi Jacques. Dia mengganti namanya tanpa meninggalkan nama
yang pertama. Baginya nama pertama adalah nama yang kedua dan yang kedua adalah
yang pertama. Bagaimana bisa seperti itu caranya?. Derrida mengatakan “nama itu
seperti tanda khitan, isyarat yang datang dari orang lain, dan tidak mungkin
berpisah dari badan”. Menurut Masery nama bisa saja sama denga khitan dari satu
sisi tapi tidak dari semua sisi. Kita bisa saja menyamakan satu dengan yang
lain tanpa ada pertautan antar keduanya. seperti itulah tabiat perbandingan
(majaz). Dia tidak menuntut pertautan dari semua sisinya sedangkan Derrida
mengatakan bahwa majaz tidak bisa dibawa menuju titik akhir yang logis. Ini
yang diketahui setiap anak-anak, ini juga yang dipahami oleh Derrida, akan
tetapi dia mempermainkan esensi majaz untuk merusak makna bahasa itu sendiri.
Menurut Derrida, nama adalah
fenomena peradaban manusia sama dengan bahasa. menurutnya, nama adalah tanda
yang tidak terpisah dari yang ditandai, ada hubungan pertautan dan pemisahan
antar keduanya. Menurut Masiry, seandainya kita tahu bahwa nama adalah fenomena
peradaban manusia dan tunduk pada keinginan manusia, tidak seperti tubuh yang
merupakan fenomena alam/materi, maka kita akan marah dan sedih seperti
anak-anak dan akan memberitahu semua orang bahwa tidak ada hubungan antar tanda
dan yang ditandai yang menyebabkan posisi manusia bermasalah.
No comments:
Post a Comment