Ekonomi
Islam
Dalam
bagian yang komprehensif Hukum Islam telah menerangkan tentang aturan
berekonomi, termasuk elemen-elemen di dalamnya seperti produksi, distribusi dan
konsumsi. Ungkapan ini merupakan pernyataan yang melegitimasi bahwa Islam
dengan al Qurannya telah mengatur sistem ekonomi yang sempurna. Hal ini
merupakan bukti bahwa Islam mampu mengimbangi perkembangan sistem ekonomi yang
berlaku di kalangan umat manusia.
Dalam
perkembangan dewasa ini, ada dua sistem ekonomi yang paling berpengaruh di
dunia, yaitu sistem ekonomi Kapitalis dan sistem ekonomi Sosialis. Sistem
ekonomi kapitalis adalah suatu sistem ekonomi yang mengizinkan dimilikinya
alat-alat produksi oleh pihak swasta, sedangkan sistem ekonomi Sosialis
merupakan kebalikan dari sistem ekonomi Kapitalis yakni suatu sistem ekonomi di
mana pemerintah atau pekerja memiliki serta menjalankan semua alat produksi;
hingga dengan demikian, usaha swasta dibatasi dan mungkin kadang-kadang
dihapuskan sama sekali.
Pada
gilirannya, sistem ekonomi yang dianut oleh sekelompok manusia sesungguhnya
berfungsi untuk mencapai tujuan atau hasil tertentu yang memiliki nilai yang
ditetapkan dan bergantung kepada prioritas masyarakat atau negara penganut
sistem tersebut. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin prioritas antara satu
sistem ekonomi dengan ekonomi lainnya berbeda. Sistem Ekonomi Kapitalis lebih
memprioritaskan individu dari pada kelompok, sedangkan sistem ekonomi sosialis
lebih memprioritaskan kepentingan negara daripada kepentingan individu[1].
Berbeda
dengan kedua sistem ekonomi diatas, Islam menerapkan sistem ekonominya dengan
menggunakan moral dan hukum bersama untuk menegakkan bangunan suatu sistem yang
praktis. Berkenaan dengan prioritas, Islam mengetengahkan konsep keseimbangan
antara kepentingan individu (khusus) dan kepentingan negara (umum) yang
bersumber kepada al-Qur‟an dan al-Sunnah.
Berdasarkan
uraian itu, dapat dipahami bahwa ekonomi menurut Islam merupakan sekumpulan
dasar-dasar umum ekonomi yang disimpulkan dari al Quran dan al-Sunnah, dan
merupakan bangunan yang didirikan diatas landasan- landasan tersebut sesuai
dengan tiap lingkungan dan masa. Sehubungan dengan hal tersebut, al Quran dan
al-Sunnah sebagai sumber hukum Islam memegang peranan penting dalam memberikan
dasar-dasar pada sistem perekonomian menurut Islam.
Prinsip-prinsip
utama dalam Islam berkenaan dengan sistem ekonomi adalah dengan hajat manusia
terhadap ekonomi, ciri-ciri ekonomi Islam, dan kebebasan ekonomi menurut Islam.
Selain hal-hal tersebut, Islam dengan al-Qur‟an dan al-Sunnahnya juga
menyinggung persoalan-persoalan yang berkaitan dengan faktor produksi, kerja
menurut Islam, hak milik menurut Islam, akad dan pendayagunaan harta Konsep
Islam tentang hakikat manusia menegaskan bahwa manusia itu adalah makhluk
Allah, yang Allah menjadikan kepada pandangan manusia kecintaan kepada segala
sesuatu yang diingini syahwatnya.
“dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan
kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang
banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah
ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali
yang baik (surga).” Ali Imran : 14
Namun
demikian, Islam memperkenalkan manusia dengan menjelaskan pula fungsinya, yaitu
disamping sebagai abid yang bertugas untuk beribadah kepada-Nya, juga sebagai
khalifah yang bertugas mengurus bumi dengan seluruh isinya dan berkewajiban
untuk memakmurkannya sebagai amanah dari Allah.
“Dan
Dia yang menjadikan kamu kholifah-kholifah d bumi dan meninggikan sebagaian
kamu atas sebagaian (yang lain) beberapa derajat, untuk menguji kamu melalui
apa yang diberikan-Nya kepada kamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksa-Nya,
dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” Al-An’am, Ayat; 165
Penjelasan
diatas membuktikan konsep hakikat manusia menurut Islam berbeda dengan konsep
yang dikemukakan oleh paham kapitalisme dan sosialisme. Kapitalisme mempunyai
asumsi bahwa manusia itu serakah dan materialistis. Sedangkan sosialisme
memahami hakikat manusia kepada dua jenis, yaitu hakikat manusia secara umum di
mana manusia seperti yang dijumpai sehari-hari serakah dan materialistis dan
hakikat manusia sebagai hasil dari suatu proses sejarah.
Konsep
manusia itu sangat menentukan terhadap jalan yang ditempuh manusia dalam upaya
merealisir kebutuhan hidupnya. Upaya memenuhi, menghasilkan dan membagikan
kebutuhan manusia ini dinamakan dengan ekonomi. Dengan demikian, dapat dipahami
bahwa konsep Islam dalam kegiatan ekonomi tidak hanya bertujuan untuk kehidupan
dunia semata, tetapi bertujuan pula untuk kehidupan akhirat.
Selain
itu, ekonomi menurut Islam memiliki ciri-ciri khusus yang membedakannya dari
sistem ekonomi hasil penemuan manusia. Diantara ciri-ciri tersebut adalah,
bahwa ekonomi merupakan bagian dari sistem Islam secara integral dan ekonomi
menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum.
“Dan carilah pada apa yang telah
dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu
melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada
orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan”, Al Qashash: 77.
Karena
ekonomi menurut Islam merealisir keseimbangan antara kepentingan individu dan
kepentingan umum.
"Apa
saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah, kepada Rasul-Nya yang berasal
dari penduduk kota-kota, maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul,
anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan,
supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara
kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah dia. Dan apa yang
dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.", Hasyr ; 7
Ciri
yang pertama merupakan ciri pembeda dengan sistem ekonomi hasil penemuan
manusia yang memisahkan antara kehidupan ekonomi dan agama. Sedangkan ciri yang
kedua merupakan ciri yang membedakan dengan sistem ekonomi Kapitalis dan
Sosialis, dimana sistem kapitalis lebih mendahulukan kepentingan individu dan
sistem Sosialis lebih mendahulukan kepentingan umum, sekalipun hak individu
harus dilanggar.
Seiring
dengan itu, Islam juga memberikan kebebasan kepada individu dan berekonomi,
tidak seperti yang ditentukan oleh sistem Sosialisme; tetapi, Islam juga tidak
melepaskannya tanpa kendali seperti yang dilakukan oleh sistem Kapitalis. Hal
ini berarti bahwa kebebasan ekonomi menurut Islam adalah kebebasan yang
terikat. Artinya, Islam tidak mengizinkan kepada individu kebebasan yang
mutlak, tetapi mengikatnya kebebasan itu dengan batas-batas dari nilai-nilai
Syari‟at. Islam menekankan bahwa kemerdekaan individu dalam melaksanakan
kegiatan ekonomi itu, terikat oleh syariat Islam
"Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu, dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku, dengan suka
sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya,
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.", Annisa :29
Individu
dalam Islam diberikan kebebasan melakukan kegiatan ekonomi selama tidak
dilarang oleh nash.
“Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran (tekanan)
penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka
berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang
telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari
mengambil riba), maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang kembali (mengambil
riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di
dalamnya”, Al Baqoroh : 275
Berdasar
pada uraian di atas dapat dipahami bahwa pengakuan Islam akan kebebasan ekonomi
dengan menentukan ikatan-ikatan adalah bertujuan untuk merealisasikan dua hal.
Pertama, agar kegiatan ekonomi berjalan sesuai dengan ketentuan yang termuat
dalam syari'at Islam. Kedua, terjaminnya hak negara dalam ikut campur, baik
untuk mengawasi kegiatan ekonomi terhadap individu maupun untuk mengatur atau
melaksanakan beberapa macam kegiatan ekonomi yang tidak mampu ditangani oleh
individu atau tidak mampu untuk mengeksploitasinya dengan baik[2].
No comments:
Post a Comment