Saturday 31 October 2015

MEKANISME PELAKSANAAN GADAI MENURUT HUKUM ISLAM

MEKANISME PELAKSANAAN GADAI MENURUT HUKUM ISLAM


Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai. Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam hal ini gadai dinyatakan batal.
Dalam kitab al-Fiqh ‘Ala> al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :
1.      Aqid (orang yang melakukan akad) yang meliputi :
a.       Ra>hin, yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
b.      Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
2.      Ma’qu>d ‘alaih (yang diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
a.       Marhu>n (barang yang digadaikan).
b.      Marhu>n bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
3.      Si>gah (akad gadai).[1]
Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan bahwa rukun gadai itu adalah :
1.      Sigat akad ( I>ja>b qa>bu>l)
2.      Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
3.      Marhu>n (barang gadaian).
4.      Marhu>n bih (hutang)[2].
Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab qabul merupak hakekat dari akad.[3]
Ad. I, Sigat Akad.
Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu  dengan cara bagaimana ijab qabul yang merupakan rukun akad itu dinyatakan.
Ahmad Azhar Basyir mengatakan :
Akad adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[4]

Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan, seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :
Akad adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab buat menerangkan persetujuannya.[5]

Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[6]
 a. Sigat secara lisan.
Merupakan cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari. 
b. Sigat akad dengan tulisan.
    Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat. Ijab akan terjadi setelah pihak kedua menerima dan membaca surat tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat. Apabila disertai  tenggang waktu, qabul supaya dilakukan sesuai dengan lamanya  tenggang waktu tersebut.[7]
c. Sigat akad dengan isyarat.
    Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis, maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.


d. Akad dengan perbuatan.
    Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.
Ad. 2. Aqid (Subyek gadai).
Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang berbunyi :
ر فع القلم عن ثلاثة : عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[8]    
Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena dua hal yaitu :
a.      Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain mengadaikan harta mah}ju>r ‘alaih.
b.      Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[9]
Dalam hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[10]


[1] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala> al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut: Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.

[2] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Isla>my Wa Adillatuhu, (Beirut: Da>r al-Fkr, t.t), V: 183.

[3] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320
[4] Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :  65.

[5] Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.

[6] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.
[7] Ibid., hlm: 68-70.
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut: Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.


[9] Abd. Ar-Rahma>n al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.

[10] Ibid., hlm: 327.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post