MEKANISME PELAKSANAAN GADAI MENURUT HUKUM ISLAM
Dalam melaksanakan gadai ada beberpa mekanisme yang
harus diperhatikan atau dipenuhi, apabila mekanisme tersebut sudah dipenuhi
maka pebuatan tersebut dapat dikatakan sah, begitu juga halnya dengan gadai.
Mekanisme-mekanisme tersebut disebut dengan rkun. Oleh karena itu gadai dapat
dikatakan sah apabila terpenuhi rukun-rukunnya. Selanjutnya rukun itu
diperlukan syarat-syarat yang harus dipenuhi pula. Jadi jika rukun-rukun
tersebut tidak terpenuhi syarta-syaratnya, maka perjanjian yang dilakukan dalam
hal ini gadai dinyatakan batal.
Dalam kitab al-Fiqh
‘Ala >
al-Maza>hib al-Arabi’ah dinyatakan
bahwa rukun gadai itu ada tiga yaitu :
1.
Aqid (orang yang melakukan akad)
yang meliputi :
a.
Ra>hin,
yaitu orang yang menggadaikan barang (penggadai)
b.
Murtahin, yaituorang yang berpiutang, yang
memerihara barang gadai sebagai imbalan uangyang dipinjamkan (penerima gadai).
2.
Ma’qu>d
‘alaih (yang
diakadkan) yang meliputi dua hal yaitu :
a.
Marhu>n
(barang yang digadaikan).
b.
Marhu>n
bih (hutang yang karenanya diadakn gadai).
3. Si>gah (akad gadai).[1]
Sedangkan menurut DR. Wahab az-Zuhaili mengatakan
bahwa rukun gadai itu adalah :
1.
Sigat
akad (
I>ja>b qa>bu>l)
2.
Aqid (Penggadai dan penerima gadai).
3.
Marhu>n (barang gadaian).
Dalam rukun gadai Abu Hanifah hanyan mensyaratkan ijab
qabul saja yang merupakan rukun akad. Beliau berpendapat bahwa ijab
qabul merupak hakekat dari akad.[3]
Ad. I, Sigat Akad.
Yang dimaksud dengan sigat akad yaitu dengan cara bagaimana ijab qabul yang
merupakan rukun akad itu dinyatakan.
Ahmad Azhar Basyir mengatakan :
Akad
adalah suatu perikatan antara ijab dan qabul dengan cara yang dibenarkan
syara’, yang merupakan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya. Ijab adalah
pernyataan pihak pertama mengenai isi perikatan yang diinginkan sedangkan qabul
adalah pernyataan pihak kedua untuk menerimanya.[4]
Gadai belum dinyatakan sah apabila belum ada ijab
dan qabul, sebab dengan adanya ijab dan qabul menunjukkan kepada kerelaan atau
suka sama suka dari pihak yang mengadakan transaksi gadai. Suka sama suka tidak
dapat diketahui kecuali dengan perkataan yang menunjukkan kerelaan hati dari
kedua belah pihak yang bersangkutan, baik itu perkataan-perkataan atau
perbuatan-perbuatan yang dapat diketahui maksudnya dengan adanya kerelaan,
seperti yang dikemukakan oleh Prof. Hasbi ash-Shiddieqiy :
Akad
adalah perikatan antara ijab dan qabul secara yang dibenarkan syara’, yang
menetapkan keridhaan kedua belah pihak. Gambaran yang menerangkan maksud
diantara kedua belah pihak itu dinamakan ijab dan qabul. Ijab adalah permulaan
penjelasan yang terbit dari salah seorang yang berakad, untuk siapa saja yang
memulainya. Qabul adalah yang terbit dari tepi yan lain sesudah adanya ijab
buat menerangkan persetujuannya.[5]
Sigat dapat dilakukan dengan lisan , tulisan atau
syarat yang memberikan pengertian dengan jelas tentang adanya ijab qabul dan
dapat juga berupa perbuatan yang telah menjadi kebiasaan dalam ijab dan qabul.[6]
a. Sigat secara lisan.
Merupakan
cara alami seseorang untuk mengutarakan keinginannya, oleh karena itu akad
dipandang sah apabila ijab qabul dinyatakan secara lisan oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. Adapun mengenai bahasa tidak terikat oleh aturan khusus asal
dapat dimengerti dan dipahami oleh pihak-pihak yang melakukan akad, agar tidak
menimbulkan perselisihan ataupun sengketan dikemudian hari.
b. Sigat akad dengan tulisan.
Metode lain yang dilakukan oleh orang untuk
menyatakan keinginannya adalah dengan tulisan. Jika kedua belah pihak tidak
berada ditempat, maka transaksi dapat dilakukan melalui surat . Ijab akan terjadi setelah pihak kedua
menerima dan membaca surat
tersebut. Apabila dalam ijab tersebut tidak disertai dengan pemberian tenggang
waktu, maka qabul harus segera dilakukan dalam bentuk tulisan atau surat . Apabila
disertai tenggang waktu, qabul supaya
dilakukan sesuai dengan lamanya tenggang
waktu tersebut.[7]
c.
Sigat akad dengan isyarat.
Ini berlaku bagi mereka yang tidak dapat
bicara atau bisu dan tidak dapat menulis. Jika orang tersebut dapat menulis,
maka hendaknya dilakukan dengan menulis saja, karena keinginan yang dinyatakan
dengan tulisan menyakinkan daripada dinyatakan dengan isyarat.
d.
Akad dengan perbuatan.
Jumhur ulama mengatakan bahwa syarat sahnya
gadai adalah hendaknya dalam akad gadai tidak ditetapkan suatu syarat yang
bertentangan dengan tujuan akad gadai itu.
Ad. 2. Aqid
(Subyek gadai).
Yaitu orang yang melakukan akad, dalam hal ini
penggadai dan penerima gadai. Untuk sahnya gadai kedua belah pihak harus
mempunyai keahlian (kecakapan) melakukan akad yakni baliq, berakal dan tidak mah}ju>r ‘alaih (orang yang tidak cakap
bertindak hukum). Maka akad gadai tidak sah jika pihak-pihak yang bersangkutan
orang gila atau anak kecil yang belum tamyiz, berdasarkan hadis Nabi saw. yang
berbunyi :
ر فع القلم عن ثلاثة
: عـن الـنـا ءـم حـتي يـسـتـيـقـظ و عـن الـصـغـيـر حـتي يـكـبـروعـن الـمـجـنـو
ن حـتي يـعـقـل أو يـفـيـق.[8]
Imam asy-Syafi’I melarang gadai yang dilakukan oleh
anak kecil, orang gila, dan orang bodoh secara mutlak, walaupun mendapat izin
dari walinya, atas pertimbangan bahwa wali boleh membelanjakan harta mah}ju>r ‘alaih dengan digadaikan karena
dua hal yaitu :
a.
Dalam keadaan darurat yang sangat menghendaki
dilakukan gadai. Dengan syarat wali tidak mendapatkan biaya itu selain
mengadaikan harta mah}ju>r
‘alaih.
b.
Gadai itu mengandung kemaslahatan bagi mah}ju>r ‘alaih.[9]
Dalam
hal ini Imam Abu Hanifah berbeda pendapat yakni tidak
mensyaratkan bagi akid baliq. Oleh sebab itu menurut beliau gadainya anak kecil
yang sudah tamyiz dan orang dewasa bodoh yaitu dua orang yang sudah tahu arti
muamalah, dengan syarat adanya persetujuan walinya.[10]
[1]
Abd. Ar-Rahma>n
al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh ‘Ala >
al- Maza>hib al-Arba’ah (Beirut :
Da>r al-Fikr, t.t), II : 320.
[3]
Abd. Ar-Rahma>n
al-Jazi>ry,Kitab al-Fiqh ‘ala> al-Maza>hi>b …., II : 320
[4]
Ahmad Azhar Basyir, Asa-asas …., hlm :
65.
[5]
Hasbi ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, t.t), hlm: 21-22.
[6]
Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas….., hlm: 68.
[7] Ibid.,
hlm: 68-70.
[8] Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah
Bab Talaq al-Ma’tuhu Wa as}-S}agiru wa an-Na>imu (Beirut : Da>r al-Fikr: t.t), I: 629, Hadis
no. 651. Hadis riwayat Ibnu Ma>jah dari Ali bin Abi Tha>lib.
[9]
Abd. Ar-Rahma>n
al-Jazi>ry, Kitab al-Fiqh…., hlm: 328.
[10] Ibid.,
hlm: 327.
No comments:
Post a Comment