An
nafs dalam kamus Arab seringkali diberi pengertian yang
sama dengan ruh (jiwa), sebagaimana dipahami dari ayat: (ketika ruh
dipertemukan dengan jasad),
Yang
dimaksud dengan nafs adalah organ rohani manusia yang memiliki pengaruhpaling
banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan
instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakanDitinjau
dari seberapa besar tingkat keterpengaruhannya dengan tubuh, maka nafs dapat
dikatagorikan ke dalam : 1) an naf al ammaroh bi assu’ yaitu sifat jiwa
yang cenderung kepada keburukan; 2) An nafs al lawwamah, yaitu nafsu
yang telah memiliki kemampuan memilah dan memilih antara yang baik dan yang
tidak baik, yang benar dan yang salah. Ia masih sering terpengaruh dengan
dorongan tubuh yang negatif, namun begitu ia terpeleset dalam kesalahan, maka
ia akan segera menyesali dan insaf; 3) an nafs al muthmainnah yaitu jiwa
yang mampu meminimalisir pengaruh tubuh, sehingga ia dapat menikmati
kebahagiaan ruhani.[1]Selanjutnya
adalah Qolb yang juga bisa diartikan sebagai hati. Qolb dapat dikonotasikan
dalam dua arti yaitu daging berbentuk belahan sanubari yang berada di dada
sebelah kiri yang berisi darah merah kehitaman dan merupakan sumber kehidupan.
sedangkan makna yang kedua yaitu, hati sebagai sifat kelembutan(lathifah), yang
merekat pada qalb jism, ia memiliki ketergantungan yang sama seperti dengan ketergantungan
jiwa terhadap raga atau juga dengan ketergantungan sifat dengan yang
disifatinya. lathifah sendiri dalam hal ini merupakan hakikat manusia yang
memiliki kemampuan memahami, mengetahui, berdialog, yang berpotensi di beri
pahala ataupun siksa.Selain
jiwa dan hati yang menjadi bagian immateri dalam diri manusia, akal juga
termsuk bagian imateri yang memiliki fungsi sentral, dalam penjelasan
Al-Ghazali, pada dasarnya akal merupakan
bagian dari daya insani yang memilki dua makna, yaitu akal jasmani yang lazim
disebut sebagai otak yang mengungkap segala jenis pengetahuan, akal dalam jenis
yang pertama diistilahkan oleh al-Ghazali sebagai sifatnya ilmu yang bersemayam
dalam qalb dan jenis kedua adalah akal ruhani yaitu cahaya ruhani (lathifah
ruhaniyyah) dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk memperoleh
pengetahuan. Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa akal jenis kedua ini
hampir sama dengan qalb dalam segi matafisiknya (lathifah). Akal dalam
hal ini mampu mengantarkan manusia pada esensi kemanusiaan dan juga merupakan
kesehatan fitrah yang memilki daya pembeda antara yang baik dan buruk.[2]Sumber
pengetahuan manusia untuk menemukan kebenaran sebagaimana yang kita ketahui
sebelumnya ada tiga. Indera yang berhubungan dengan pengalaman empiris (sains),
akal yang berhubungan dengan pemikiran logis dan filosofis, serta hati (qalb)
yang berhubungan dengan rasa atau keimanan. Ketiganya berjalan beriringan
(berimbang), tidak saling menafikkan atau menegasikan.Keseimbangan ini
kemudian menjadi suatu keharusan karena paling sesuai dengan fitrah manusia.
Akal tak boleh mendominasi pengalaman indera (sains) dan hati (keimanan),
pengalaman inderawi tak boleh mendominasi akal (pemikiran filosofis) dan hati
(keimanan), begitu pula hati (keimanan) tak boleh juga mendominasi pengalaman
inderawi (sains) dan akal (pemikiran filosofis).
[1] Ahmad Tafsir, 2006, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Penerbit Rosda)
No comments:
Post a Comment