Monday 12 October 2015

JIWA, HATI DAN AKAL

An nafs dalam kamus Arab seringkali diberi pengertian yang sama dengan ruh (jiwa), sebagaimana dipahami dari ayat: (ketika ruh dipertemukan dengan jasad),
Yang dimaksud dengan nafs adalah organ rohani manusia yang memiliki pengaruhpaling banyak dan paling besar di antara anggota rohani lainnya yang mengeluarkan instruksi kepada anggota jasmani untuk melakukan suatu tindakanDitinjau dari seberapa besar tingkat keterpengaruhannya dengan tubuh, maka nafs dapat dikatagorikan ke dalam : 1) an naf al ammaroh bi assu’ yaitu sifat jiwa yang cenderung kepada keburukan; 2) An nafs al lawwamah, yaitu nafsu yang telah memiliki kemampuan memilah dan memilih antara yang baik dan yang tidak baik, yang benar dan yang salah. Ia masih sering terpengaruh dengan dorongan tubuh yang negatif, namun begitu ia terpeleset dalam kesalahan, maka ia akan segera menyesali dan insaf; 3) an nafs al muthmainnah yaitu jiwa yang mampu meminimalisir pengaruh tubuh, sehingga ia dapat menikmati kebahagiaan ruhani.[1]Selanjutnya adalah Qolb yang juga bisa diartikan sebagai hati. Qolb dapat dikonotasikan dalam dua arti yaitu daging berbentuk belahan sanubari yang berada di dada sebelah kiri yang berisi darah merah kehitaman dan merupakan sumber kehidupan. sedangkan makna yang kedua yaitu, hati sebagai sifat kelembutan(lathifah), yang merekat pada qalb jism, ia memiliki ketergantungan yang sama seperti dengan ketergantungan jiwa terhadap raga atau juga dengan ketergantungan sifat dengan yang disifatinya. lathifah sendiri dalam hal ini merupakan hakikat manusia yang memiliki kemampuan memahami, mengetahui, berdialog, yang berpotensi di beri pahala ataupun siksa.Selain jiwa dan hati yang menjadi bagian immateri dalam diri manusia, akal juga termsuk bagian imateri yang memiliki fungsi sentral, dalam penjelasan Al-Ghazali,  pada dasarnya akal merupakan bagian dari daya insani yang memilki dua makna, yaitu akal jasmani yang lazim disebut sebagai otak yang mengungkap segala jenis pengetahuan, akal dalam jenis yang pertama diistilahkan oleh al-Ghazali sebagai sifatnya ilmu yang bersemayam dalam qalb dan jenis kedua adalah akal ruhani yaitu cahaya ruhani (lathifah ruhaniyyah) dan daya nafsani yang dipersiapkan untuk memperoleh pengetahuan. Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan bahwa akal jenis kedua ini hampir sama dengan qalb dalam segi matafisiknya (lathifah). Akal dalam hal ini mampu mengantarkan manusia pada esensi kemanusiaan dan juga merupakan kesehatan fitrah yang memilki daya pembeda antara yang baik dan buruk.[2]Sumber pengetahuan manusia untuk menemukan kebenaran sebagaimana yang kita ketahui sebelumnya ada tiga. Indera yang berhubungan dengan pengalaman empiris (sains), akal yang berhubungan dengan pemikiran logis dan filosofis, serta hati (qalb) yang berhubungan dengan rasa atau keimanan. Ketiganya berjalan beriringan (berimbang), tidak saling menafikkan atau menegasikan.Keseimbangan ini kemudian menjadi suatu keharusan karena paling sesuai dengan fitrah manusia. Akal tak boleh mendominasi pengalaman indera (sains) dan hati (keimanan), pengalaman inderawi tak boleh mendominasi akal (pemikiran filosofis) dan hati (keimanan), begitu pula hati (keimanan) tak boleh juga mendominasi pengalaman inderawi (sains) dan akal (pemikiran filosofis).

[1] Ahmad Tafsir, 2006,  Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung:Penerbit Rosda)
[2]
al-Ghozali , Ihya Juz III, 2011, (Semarang : As-Syifah),4.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post