Saturday 31 October 2015

DASAR HUKUM GADAI

DASAR HUKUM GADAI


Gadai merupakan perbuatan yang halal dan dibolehkan bahkan termasuk perbuatan yang mulia karena mengandung manfaat yang sangat besar dalam pergaulan hidup manusia di dunia ini. Sebagaimana halnya dengan jual beli yang merupakan faktor yang sangat penting bagi kesejahteraan dan kemakmuran hidup manusia, sebagaiman firman Allah :
و إن كـنـتم عـلي سـفـرولـم تـجـدواكا تـبـا فـر هـن مـقـبـو ضـة فـإ ن أمـن بـعـضـكـم بـعـضـا فـلـيـوْدالـذي اوْ تمن أمنته وليتق الله ربه ولاتكـتموا الـشـهادة ومـن يـكـتمـها فإنه أثم قلبـه و الله بـما تـعـلـمـون عـلـيم[1]                                                                 
Dengan ayat di atas, ulama sepakat bahwa gadai dibolehkan dalam keadaan bepergian..
Dari ayat tersebut dapat diketahui bahwa Allah memerintahkan kepada pihak-pihak yang mengadakan perjanjian saat dalam perjalanan tetapi tidak mampu menyediakan seseorang yang bertugas mencatat perjanjian tersebut, untuk memperkuat adanya perjanjian, pihak yang berhutang harus menyerahkan barang gadai kepada pihak yang menghutangi. Ini dilakukan agar mampu menjaga ketenangan hatinya, sehingga tidak mengkhawatirkan atas uang yang diserahkan kepada rahin.
Dasar hukum lainnya adalah hadis Nabi SAW. Yang berbunyi sebagai berikut :
إشـتـري مـن يـهـو دي طـعـامـا إلي أجـل ورهـنـه د ر عـه[2]                                 
Hadis ini merupakan dasar bagi ulama yang membolehkan gadai dalam keadaan mukim (tidak musafir) karena peristiwa itu terjadi pada saat nabi berada di tempat.
Sunnah yang berfungsi sebagai penjelasan dari al-Qur’an memberikan ketentuan-ketentuan umum hukum muamalah, bahwa gadai adalah cara mendapatkan rezki yang halal, maka hadis nabi banyak yang menerangkan perincian tentang gadai tersebut, seperti: mengenai biaya dan pemanfaatan barang gadai baik yang bergerak maupun barang tetap.
Dalam melakukan akad gadai hendaknya memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat dalam hukum muamalah, prinsip yang dimaksud adalah :
a.       Pada dasarnya segala bentuk muamalah adalah mubah, kecuali yang ditentukan oleh al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
b.      Muamalah dilaksanakan atas dasar sukarela, tanpa mengandung unsur-unsur paksaan.
c.       Muamalah dilakukan atas dasar pertimbangan mendatangkan manfaat dan menghindari madharat dalam hidup masyarakat.
d.      Muamalah dilaksanakan dengan memelihara nilai keadilan, menghidari unsur-unsur penganiayaan, unsur-unsur pengambilan kesempatan dalam kesempitan[3].
Salah satu prinsip diatas sesuai dengan kaidah ushul fiqh yaitu :


الأصـل في الاشــيـاء الإبــاحــة[4]                                                 
Dari uraian di atas dapat ditarik pengertian bahwa sumber hukum muamalah adalah al-Qur’an dan as-Sunnah, selain itu manusia diperbolehkan juga untuk mengatur bentuk-bentuk muamalah yang berkembang dalam masyarakat asal tidak bertentangan dengan nash.
Sumber hukum gadai, selain al-Qur’an dan as-Sunnah, yang diperbolehkan untuk dijadikan pegangan adalah adat istiadat yang merupakan kebutuhan masyarakat yang bersifat positif.


[1] Al-Baqarah (2): 283.

[2] Imam al-Bukha>ri,S}ahih al-Bukha>ri bab Fi Rahni Fi al-Hadits (Beirut: Da>r al-fikr, 1891), III: 1115, Hadis riwayat al-Bukhari dari Musaddad dari Ab al-Wahid dari al-A’mas dari Ibrahim.

[3] Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Muamalat (Yogyakarta: UII Press, 2000),
hlm : 15-16.
[4] H. Asjmuni Abd. Rahman, Qaidah-qaidah Fiqh (Jakarta: PT. Bulan Bintang, 1976), hlm: 42.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post