Sebelumnya
telah dijelaskan akan pentingnya etika dalam sebuah organisasi profesi, dalam
hal ini profesi hakim. Dan akan kita bahas tentang pokok-pokok kode etik
profesi hakim. Bagaimanakah pandangan etika terhadap profesi hakim, Apa saja
bentuk dan jenis norma etis yang dianut dan wajib dilaksanakan oleh para hakim.
Hal inilah yang menjadi permasalahan pada bagian ini. Pembahasan pokok-pokok
etika ini dimaksudkan untuk mengetahui bahwa nilai-nilai etika dalam profesi
hakim.
Profesi hukum merupakan salah satu
profesi yang menuntut pemenuhan nilai moral bagi pengembannya. Nilai moral
tersebut akan menjadi landasan bagi tindakannya. Ada
5 (lima ) nilai
moral yang terkandung dalam profesi hakim yaitu 1. Nilai kemandirian atau kemerdekaan.
Di sini terkandung nilai profesi
hakim adalah profesi yang mandiri, yang dalam melaksanakan tugasnya, tidak
boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Begitu pula Hakim dalam menjalankan
tugasnya tidak boleh dipengaruhi oleh pihak manapun. Hakim dalam menjatuhkan
putusan berdasarkan keyakinan yang dilandasi dengan kejujuran dan keseksamaan,
yang diambil setelah mendengar dan
mempelajari keterangan-keterangan dari semua pihak. Nilai kemandirian atau
kemerdekaan ini sangat penting karena tanpa nilai ini, nilai-nilai lain tidak
akan bisa ditegakkan.
Hal ini memperjelas bahwa untuk
mendukung terlaksananya tugas-tugas profesi hakim maka diperlukannya
kemandirian hakim. Namun harus kita pahami bahwa kemandirian ini adalah bukan
dengan identik dengan kebebasan yang mengarah kepada pada kesewenang wenangan.
Tentu hal ini kembali kepada kemandirian moral dan keberanian moral.
Kemandirian moral artinya tidak mudah terpengaruh atau tidak mudah mengikuti pandangan moral sekitarnya,
melainkan membentuk penilaian dan mempunyai pendirian sendiri. Mandiri secara
moral berarti tidak dapat dibeli oleh pendapat mayoritas, tidak terpengaruh
pertimbangan untung rugi, menyesuaikan diri dengan nilai kesusilaan dan agama. Sedangkan
keberanian moral adalah kesetiaan terhadap suara hati nurani yang menyatakan
kesediaan untuk menanggung resiko konflik. Keberanian tersebut antara lain
menolak segala bentuk korupsi, kolusi, suap, pungli; menolak segala bentuk
penyelesaian melaui jalan belakang yang tidak sah.[1]
Hal ini dapat menjadikan seorang hakim menjadi kuat, demikian pula faktor
kemandirian moral dan keberanian moral yang kedua-duanya saling mengikat.
2. Nilai
keadilan.
Kewajiban menegakan keadilan tidak
hanya dipertanggungjawabkan secara horizontal kepada sesama manusia, tetapi
juga secara vertikal kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka pengadilan harus
mengadili menurut hukum dan tidak membeda-bedakan orang Yang dicerminkan dalam
proses penyelengaraan peradilan yaitu membantu pencari keadilan dan berusaha
mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan secara
sederhana, cepat, dan biaya ringan.[2] Agar
keadilan tersebut dapat dijangkau oleh seluruh lapisan masyaarakat, dengan tidak
memutar balikan fakta dan tidak membedakan orang dengan tetap memegang asas
praduga tak bersalah. Dan nilai ini dapat diperluas sampai kepada hakim wajib
menghormati hak seseorang (setiap orang yang tersangkut perkara berhak
memperoleh bantuan hukum).[3] Serta
memperoleh ganti rugi dan rehabilitasi akibat kekeliruan tentang orang atau
hukum yang diterapkan.[4]
3. Nilai
kerja sama dan kewibawaan korp
Nilai kerja sama ini diwujudkan
dalam persidangan salah satunya dalam bentuk majlis dengan sekurang-kurangnya
berjumlah sebanyak tiga orang hakim untuk memusyawarahkan hasil dari
persidangan secara rahasia yang kemudian menjatuhkan putusan, disamping itu
perlunya saling memberi bantuan dan adanya kerja sama dengan negara lain yang
meminta keterangan, pertimbangan, atau nasehat-nasehat yang berkaitan dengan
hukum.
4. Nilai
pertanggungjawaban.
Sikap
pertanggungjawaban ini berdimensi vertical dan horizontal. Secara vertical
berarti bertanggungjawab kepada Tuhan Yang Maha Esa. Secara horizontal berarti
bertanggung jawab kepada sesama manusia, baik kepada lembaga peradilan maupun
kepada masyarakat luas.[5]
Dan dalam kaitanya dengan putusan pengadilan harus memuat alasan-alasan dan
dasar-dasar atas pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau
sumberhukum yang tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[6]
Nilai ini penting dalam meletakan tanggung jawab hakim terhadap keputusan yang
dibuatnya, sehingga putusan itu memenuhi tujuan hukum berupa keadilan (Gerectigkeit),
kepastian hukum (Rechtssicherheit), dan kemamfaatan (Zweckmassigkeit).
Menurut O. Notohamidjojo, ada empat
norma yang penting dalam penegakan hukum yaitu kemanusiaan, keadilan,
kepatutan, dan kejujuran. Keempat norma etis inilah yang akan dieksplorasi lebih
jauh dalam penelitian ini.
a.
Kemanusiaan
Norma kemanusiaan menuntut supaya dalam penegakan hukum,
manusia senantiasa diperlakukan sebagai manusia, sebab ia memiliki keluhuran
pribadi. Dalam hubungan person dengan kesejahteraan umum, maka diperlukan adanya
penjernihan makna tentang individu dan person. Karena pada dasarnya manusia itu
mempunyai dua dimensi metafisis, yaitu individualitas dan sosialitas, berbeda
dari yang lain namun tidak terpisahkan dari yang lain, satu sama lainnya saling
menentukan. Individualitas berakar didalam unsur-unsur yang dalam susunan badan
manusia menentukan prilaku temperamen (keadaan rasa dan pikiran) dan menyatakan
dirinya dalam bentuk emosi yang bersifat infrarasional, sedangkan dari aspek
sosialitasnya manusia pribadi itu senantiasa hidup dalam masyarakat atau
persekutuan manusia. Sebagai akibatnya sering menimbulkan kerja sama dan
konflik akibat dari adanya saling menilai baik sebagai individu (nilai primer)
maupun masyarakat (sekunder).[7]
Dihadapan hukum, manusia harus dimanusiakan artinya dalam
penegakan hukum manusia harus dihormati sebagai pribadi dan sekaligus sebagai
makhluk sosial.[8] Manusia
menurut kodratnya adalah baik,namun kondisi sosial yang kadangkala memaksa manusia
berbuat jahat justru untuk mempertahankan kodratnya itu. Sebagai contoh seorang
mencuri hak orang lain dalam rangka mempertahankan hidupnya, meskipun sadar
bahwa mencuri dilarang oleh hukum positif. menurut pertimbangannya, dari pada
mati kelaparan lebih baik bertahan hidup dengan barang curian, dan hidup adalah
hak asasi yang wajib dipertahankan. Oleh karena itu, manusia yang diancam
sanksi dalam kerangka penegakan hukum positif yang telah dilanggarnya tetap
diperlakukana sebagai manusia, yang wajib dihormati hak-hak asasinya.[9] Manusia
memang mempunyai kodrat bebas atau merdeka, karena ia memiliki hak-hak
individual. Namun dalam pelaksanaanya hak-hak tersebut berbenturan dengan
hak-hak orang lain dan tidak boleh membahayakan orang lain. Kebebasan adalah
hak milik setiap manusia sejak lahirnya. Tidak ada satupun hukum buatan manusia
yang dapat merampas hak tersebut, sebab hak kebebasan itu diperoleh dari hukum
alam.[10]
Dalam menjalankan profesinya, para profesional dituntut
untuk menjalankan dua keharusan yaitu keharusan untuk menjalankan profesinya
secara bertanggung jawab terhadap pekerjaan yang dilakukan dan dampak
pekerjaannya kepada orang lain, serta keharusan untuk tidak melanggar hak-hak
orang lain, artinya keadilan menuntut kita untuk senantiasa kita berikan kepada
yang berhak.
Seorang hakim
dalam dalam bertindak harus memperhatikan sesuai yang ditentukan dalam
hukum acara yang berlaku dengan memperhatikan azas-azas peradilan, tidak
menunjukan sikap memihak atau antipati kepada pihak yang berperkara dan tidak
boleh bersikap diskrimimanatif karena perbedaan agama, kepercayaan, suku,
keturunan, jenis kelamin, keyakinan politik dan kedudukan sosialnya. Semua
warga negara mempunyai hak yang sama dihadapan hukum.
b. Keadilan
Menurut Thomas Aquinas, keadilan didefinisikan sebagai
kebiasaan di mana orang satu sama lain saling memberikan apa yang menjadi
haknya didasarkan atas kehendak yang bersifat ajeg dan kekal. Keadilan sebagai
salah satu bentuk kebajikan yang menuntun manusia dalam berhubungan dengan
sesamanya. Dalam pengertian ini Segala hal yang bertentangan dengan hak
dianggap tidak adil. Dan seseorang disebut adil bila ia mengenali dan mengakui
yang lain sebagai yang benar-benar berbeda dari dirinya sendiri.[11] Oleh
karena itu seorang hakim disebut adil dalam keputusannya apabila memberi sanksi
hukuman pada pelanggar hukum, atau membantu seseorang untuk memperoleh apa yang
menjadi haknya, melalui segala keputusan yang dibuatnya.
Keadilan tukar secara timbal balik (iustitia
commutative), yaitu keadilan yang mengatur hubungan antara individu dengan
individu lain sebagai partner.
Keadilan pelayanan atau distributive (iustutia
distributive), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan di antara
masyarakat atau negara dengan individu sebagai warga masyarakat atau negara.
Keadilan legal atau keadilan umum (iustitia legalis,
iustitia generalis), yaitu keadilan yang menertibkan hubungan antara
individu terhadap masyarakat atau negara.[13]
Dalam melaksanakan tugasnya hakim dilarang melakukan
kolusi dengan siapapun yang berkaitan dengan perkara yang akan dan sedang
ditangani sehingga keputusan yang dibuat
benar-benar adil, tidak berpihak. Hakim dalam memutuskan perkara tumbuh dari
integritas (kejujuran dan keterbukaan) dan keberanian without fear ar favor
tanpa takut dan memberikan keuntungan kepada pihak yang berperkara.[14]
Karena apabila terdapat atau terjadi penyelewengan terhadap kode etik sebagai
salah satu acuan atau pedoman tingkah laku dalam menjalani profesinya, maka
tempat untuk menyelesaikan sengketa tersebut melalui wadah formal yang ada
yaitu komisi kehormatan profesi hakim.
c. Kejujuran
Kejujuran ialah hal yang berhubungan dengan pengertian
tentang kebenaran terutama berkaitan dengan bidang hukum dan moral. Kejujuran
sendiri merupakan kebajikan yang mengatur semua kehendak yang jujur dan
terdapat dalam pergaulan masyarakat, terutama dalam hubungan antar individu.
Sehingga Setiap penegak hukum perlu kejujuran dalam menegakkan hukum, dalam
melayani pencari hukum dan keadilan, serta diharapkan menjauhi
perbuatan-perbuatan yang curang dalam pengurusan perkara. Kejujuran berkaitan
erat dengan kebenaran, keadilan, kepatutan yang semuanya itu menyatakan sikap
bersih dan ketulusan pribadi seseorang yang sadar akan pengendalian diri
terhadap apa yang seharusnya tidak boleh dilakukan. Kejujuran adalah kendali
untuk berbuat menurut apa adanya sesuai dengan kebenaran akal (ratio)
dan kebenaran hati nurani.
d. Kepatutan
Kepatutan (equity) merupakan satu
term yang tidak dapat dipisahkan dengan term keadilan Kepatutan (equity).
Kepatutan dilakukan secara praktis. Biasanya berupa nilai atau penilaian atas
berbagai macam kasus tertentu yang bukan merupakan pokok bahasan putusan hakim
yang didasarkan atas keberadaan suatu hukum tertentu. Segala bentuk hukum pada
dasarnya merupakan generalisasi universal, yang keberlakuannya tidak mengenal
perkara, kasus istimewa, barulah menenguk makna "equity" atau apa
yang patut atau layak.
Keadilan
pada dasarnya merupakan kebajikan yang diwujudkan dalam sikap objektif, apa
adanya dan umum. Sikap ini yang mengatur hubungan yang hakiki di dalam
masyarakat. Jika keadilan dipahami seperti ini, maka makna keadilan akan sangat
abstrak dan kurang mengenai situasi dan keadilan manusia secara individual.
Yang diperlukan manusia adalah koreksi dan perhatian khusus bagi dirinya,
sesuai dengan kualitas, situasi serta keberadaannya sendiri. Dalam hal ini pula
orang memerlukan kepatutan, sebab kepatutan memperhatikan dan memperhitungkan
situasi dan keadilan manusia sebagai individual. Jadi kepatutan akan
menyingkirkan kekerasan dan kekejaman hukum terutama dalam situasi dan kondisi
khusus.[15]
Dan kepatutan sendiri menempatkan apa yang patut atau apa yang layak, dalam hukum
bukan saja keadilan menurut hukum, melainkan juga adil secara moral. Karena
putusan hakim akan patut apabila
menunjukkan perbuatan yang patut dibuat, dan tidak mengandung cacat bagi
putusan pengadilan.
[1] Dikutip
dari Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum, cet. ke-2, (Bandung : Citra Aditya
bakti, 2001), hlm. 62-64.
[2]
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman, Pasal
5 Ayat (1) dan (2).
[5] Darji Darmodiharjo dan Shidarta, Pokok-pokok Filsafat
Hukum, cet. ke-6, (Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.288-291.
[8]
Abdulkadir Muhammad, Etika Profesi Hukum., hlm. 115-116.
[9] Ibid.,
hlm. 116.
[10] Ibid..,
hlm. 118-119.
[13] Ibid..,
hlm. 125.
[15]
Sumaryono, Etika Profesi Hukum., hlm. 131-132.
No comments:
Post a Comment