Oleh Rubina
Qurratu'ain Zalfa'
Pagi, saat akan
berangkat menuju tempat kerja, aku sudah disuguhi pemandangan yang sungguh
tidak mengenakkan, paling tidak buatku. Di tengah kemacetan lalu lintas pagi,
dari dalam angkot yang aku tumpangi, aku melihat dua orang pengendara motor,
keduanya bapak-bapak bersitegang. Entah bagaimana awal kejadiannya, bapak
pengendara motor yang satu membentak bapak pengendara motor lainnya, dari raut
wajahnya kelihatan sekali si bapak sangat marah dengan bapak yang satunya lagi.
Untunglah si bapak yang dibentak, entah karena merasa bersalah atau tidak ingin
ribut, berusaha tidak melayani kemarahan si bapak tadi. Ia mengelus pundak si
bapak yang membentaknya, sambil berkata dengan cara yang halus dan sopan.
Sayup-sayup dari kaca jendela yang terbuka, aku dengar si bapak yang sabar itu
mengucapkan kata maaf. Tapi ungkapan maaf itu ternyata tidak direspon dengan
baik, si bapak yang marah tetap membentak-bentak bahkan menendang motor bapak
yang minta maaf tadi, sambil ngeloyor pergi. Meski tidak sampai jatuh, bapak yang
sabar itu, jadi kelihatan kesal dan tidak terima dengan perlakuan tadi. Ia pun
bergegas hendak mengejar orang yang sudah memperlakukannya dengan kurang baik
itu. Untunglah pengendara motor lainnya yang menyaksikan adegan itu, mencegah
dan memintanya untuk bersabar. Si bapak tadipun mengurungkan niatnya, tidak
jadi mengejar bapak yang sudah membentak-bentaknya dengan kasar.
Bukan aku saja yang
lega melihat kesabaran si bapak itu, tapi aku lihat seluruh penumpang di angkot
yang aku tumpangi tanpa sadar juga bernafas lega. Ah.... sebuah pemandangan
yang tidak indah sama sekali untuk mengawali hari, kataku dalam hati.
Sepanjang perjalanan,
adegan barusan terus bermain-main di benakku. Pertanyaan-pertanyaan yang
mengusik hatiku, mengapa orang bisa sedemikian kasar pada orang lain bahkan
hanya untuk hal-hal yang sepele, mengapa orang menjadi begitu cepat hilang
kesabaran, mengapa begitu sulit memaafkan pada orang yang sudah meminta maaf.
Dalam hati aku memuji sikap sabar si bapak yang minta maaf tadi dengan tetap
berkata halus meski sudah dibentak-bentak. Inilah gambaran orang yang hidup di
kota Metropolitan, pikirku. Di tengah kehidupan kota Jakarta yang penuh dengan
persaingan, ditambah lagi tuntutan hidup yang makin tinggi, setiap orang
bergerak serba ingin cepat, ingin saling mendahului, pokoknya siapa cepat dia
dapat. Kondisi semacam ini membuat orang tertekan, sehingga mudah marah,
stress, bersikap individualistis dan jadi tidak sabaran. Hampir setiap pagi aku
melihat pengendara motor yang malas antri macet sampai nyelip-nyelip bahkan
menggunakan trotoar yang diperuntukkan buat pejalan kaki, pengendara mobil yang
membunyikan klaksonnya berulang-ulang karena tidak sabar menunggu di belakang
metromomini yang sedang berhenti karena menurunkan penumpang, sopir angkotan
umum yang kebut-kebutan karena tidak sabar ingin mengejar setoran, dan masih
banyak contoh lagi.
Tapi.... saya jadi
teringat pengalaman saya sendiri beberapa hari ini. Pekerjaan yang menumpuk,
dikejar tenggat waktu dan sejumlah persoalan pribadi yang belum terselesaikan,
membuat saya sering ngedumel, mudah tersinggung dan hilang kesabaran. Hanya
menunggu antrian di kamar mandi saja sudah membuat saya kesal, menunggu mesin
foto kopi yang sedang diperbaiki saja, cukup membuat saya cemberut seharian.
Saya betul-betul jadi orang yang tidak sabaran.
Melihat kejadian di
jalan tadi, saya tiba-tiba sadar bahwa akibat sikap saya itu ada orang yang
secara tak sengaja sudah saya dzalimi. Saya masih ingat, bagaimana ekspresi
wajah kecewa ponakan saya yang masih berusia dua tahun, ketika dengan nada
ketus saya bilang 'capek' ketika ia merengek-rengek mengajak saya bermain-main
dengan mobil-mobilan kecilnya sepulangnya saya dari kantor. Saya seperti
tersadar mengapa keponakan saya yang lucu dan manis itu, tiba-tiba saja menolak
saya peluk, mungkin kerena sikap saya kemarin. Astaghfirullah...... saya
merasakan ada air hangat di pelupuk mata saya dan rasa penyesalan yang dalam.
Sedikit tekanan dan persoalan saja ternyata telah mengalahkan kesabaran
saya.....bagaimana jika saya menghadapi cobaan dan tekanan hidup yang lebih
besar lagi? Apakah saya masih mampu bersabar menghadapinya?
Saya merasa menjadi
orang yang kalah. Kalah memerangi hawa nafsu dan mempertahankan kesabaran saya.
Padahal sabar adalah salah satu ciri orang yang beriman dan bertaqwa. Saya
kembali teringat sebuah artikel di koran yang pernah saya baca. Dalam artikel
itu disebutkan, Rasulullah, Nabi Muhammad Saw yang mulia pernah mengatakan
bahwa sabar adalah bagian dari iman. Lalu, saya buka lagi buku catatan kecil
yang selalu saya bawa dalam tas saya, di sana ada catatan sejumlah firman Allah
dalam Al-Quran tentang perntingnya memiliki sifat sabar.
"Sesungguhnya
hanya orang-orang yang sabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa
batas." (QS Az-Zumar,10)
''Hai orang-orang
yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga serta bertakwalah kepada Allah supaya kamu beruntung.'' (QS Ali Imran:
200).
"Dan mintalah
pertolongan (kepada Allah ) dengan sabar dan sholat. Dan sesungguhnya yang
demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang khusyu." (QS Al-Baqarah,45)
Aku meresapi kembali
ayat-ayat Al-Quran itu. Ah... bersikap sabar itu memang tidak mudah, apalagi
ketika menghadapi persoalan berat atau merasa didzalimi oleh orang lain. Tapi
itulah ujian bagi umat manusia. Ujian atas keimanannya. Bukankah Allah Swt juga
mengatakan, belum sempurna iman seseorang sebelum Ia mengujinya.
Wajah keponakanku
yang polos itu kembali terbayang di mataku, wajah bapak pengendara motor yang meminta
maaf dalam keributan kecil tadi kembali melintas, betapa kerdil sikapku dan
lemahnya imanku belakangan hari ini. Sabar... sungguh sebuah kata yang mudah
diucapkan tapi kadang sulit dilakukan, kecuali orang-orang yang memiliki kadar
keimanan dan ketaqwaan yang tinggi pada Allah Swt, yaitu orang-orang yang
khusyu'.
Sesampainya di
kantor, aku segera berwudhu, menuju mushola kecil di belakang gedung dan
menunaikan sholat Dhuha. Aku memohon ampunan pada Allah yang Maha Rahmah dan
aku memohon agar senantiasa diberi kekuatan dan kesabaran dalam menjalani
kehidupan yang penuh ujian dan cobaan ini.
" Robbanaa
afrigh 'alaina shabraw wa tawaffanaa muslimin."
(Ya Tuhan kami,
limpahkanlah kesabaran kepada kami dan wafatkanlah kami dalam keadaan berserah
diri (kepadaMu ).
Jakarta, 8 Februari
2006
rubina_zalfa at yahoo
dot com
No comments:
Post a Comment