diskriminasi dan manipulasi hukum di masa transisi
Ngesti D. Prasetyo
Abstrak
Hukum di Indonesia tidak lagi berwibawa, hukum
menjadi sangat menakutkan bagi sebagian masyarakat kecil dan hukum menjadi
sangat kompromis dan bersahabat bagi masyarakat yang mapan kekuasaan dan
ekonomi. Benarkah bahwa hukum diskriminatif ? Keadaan yang demikian dimaklumi
oleh sebagian masyarakat sebab Indonesia memasuki transisi dimana masih mencari
format yang ideal. Kalaupun transisi bidang hukum menjadi alasan utama untuk
membiarkan terjadinya diskriminasi dan pelanggaran-pelanggaran tentunya tidak
harus sermit yang kita bayangkan. Dalam tulisan ini lebih banyak mengungkapkan
kelemahan hukum kita yang lebih banyak melahirkan hukum yang diskriminatif dan
manipulatif.
1. Pendahuluan
Ditengah kondisi bangsa Indonesia yang seakan tidak
pernah usai dengan masa masa-masa transisi. Khalayak menyebut kehidupan
kebangsaan yang sedang di jalani merupakan masa transisi bidang politik, masa
transisi bidang ekonomi dan masa transisi bidang hukum. Tentunya pemaknaan masa
transisi memiliki cara pandang yang berbeda-beda pada setiap orang, adanya masa
transisi bagi sebagian orang memandang akan memanfaatkan kesempatan yang
sebesar-sebesarnya karena tidak ada jaminan kepastian.
Bagi sebagian yang lain masa transisi ini dilakukan
perbaikan-perbaikan dan menahan diri agar masa transisi menuju arah yang lebih
baik. Sampai kapankah masa transisi ini akan segera berakhir, masyarakat sudah
merindukan kepastian bidang hukum yang dirasa hari ini menjadi cerminan
moralitas dari suatu masyarakat.
Penegakkan hukum merupakan
salah satu dari beberapa cita-cita reformasi yang dicetuskan di tahun 1998.
Masa itu masyarakat dan seluruh komponen bangsa menempatkan penegakan hukum di
antara perubahan UUD 1945, pemulihan ekonomi, pemberantasan KKN, otonomi
daerah, demokratisasi, dan pemilihan langsung sebagai agenda reformasi yang
harus diwujudkan sebagai syarat menuju reformasi negara dan bangsa Indonesia
yang demokratis
Penegakan hukum tanpa
diskriminasi merupakan jalan bagi
terwujudnya keadilan. Nilai-nilai keadilan inilah yang hilang semasa orde baru.
Ketika itu, siapa yang kuat, baik dari perspektif kedudukan maupun kekayaan,
dialah yang akan memperoleh keadilan. Sementara bagi mereka yang lemah,
keadilan adalah sesuatu yang sangat mahal harganya.
Hari-hari ini Indonesia diwarnai adanya
catatan-catatan kritis yang dilontarkan oleh masyarakat pada masalah hukum.
Catatan ini dilontarkan tidak hanya pada lembaga legislatif, melainkan juga
pada lembaga yudikatif dan legislatif yang sama buruknya. Realitas ini
hendaknya dipandang sebagai suatu cerminan persepsi masyarakat yang mengganggap
lembaga-lembaga hukum kurang bergigi, tidak profesional, hukumnya pilih-pilih
dan beraninya sama yang lemah, dipertanyakan kapasitas dan moralitas
personelnya, serta produknya dalam menegakkan hukum.
Belum lagi persoalan korupsi yang terjadi pada
setiap lembaga pada seluruh level birokrasi yang dirasa sulit dibuktikan.
Kalaupun terendus aparat penyidik yang tak kuasa untuk melakukan tindakan lebih
lanjut atau proses peradilan yang banyak diwarnai dengan bargaining politik
bila menyangkut orang kuat bidang ekonomi dan politik. Hukum menjadi tidak
berlaku. Berbeda jika yang terkena persoalan masyarakat biasa hukum menjadi
sangat kejam dan tanpa ampun menghukum.
Realitas ini semakin menipisnya harapan publik akan supremasi hukum yang
berkeadilan. Ironi tatkala melihat realitas masyarakat
lainya yang bersusah payah untuk
melangsungkan hidup dengan menerobos aturan hukum yang akhirnya harus mendekam
di balik jeruji.
Di satu sisi hukum perlu
ditegakkan. Tetapi, di sisi lain isi keadilan dalam hukum perlu dipertanyakan,
supaya hukum tidak begitu saja menguntungkan pihak yang satu dan merugikan
pihak lain Persoalan diskriminasi hukum inilah yang sesungguhnya selalu
mengusik rasa keadilan rakyat. Sosiolog hukum Donald Black menjabarkan
lima penyebab terjadinya diskriminasi hukum, yaitu stratifikasi, morfologi,
kultur, organisasi, dan pengendalian sosial.
Beberapa kasus diskriminasi
yang muncul lebih banyak di warnai pada aspek stratifikasi dan kultur birokrasi
penegak hukum. Rasa keadilan masyarakat terusik manakala hukum tidak menyentuh
para pejabat dan konglomerat yang menggerogoti keuangan negara. Hukum telah mengambil bagian dari apa-apa
yang seharusnya dapat di lingkupi Das sollen hukum berlaku untuk semua orang,
Dalam implementasinya seharusnya juga (dijamin) dapat mengenai setiap orang.
Kenyataan ini semakin memperkuat persepsi
masyarakat yang pada akhirnya masyarakat tidak mempercayai pada hukum antara
lain penegak hukum yang tidak profesional dan diskriminatif, lembaga peradilan
yang tidak independen, upaya maksimal perlindungan hukum pada masyarakat dan
menjadi rahasia umum lembaga peradilan merupakan sarang KKN yang paling tidak
tersentuh hukum.
Keadilan telah
diperjualbelikan. Begitulah gambaran awal hukum. Para pencari keadilan
dihadapkan pada hukum yang diputar balik dan ironisnya pelakunya adalah penegak
hukum. Gaji kecil dijadikan alasan korupsi peradilan, sebenarnya itu hanya
memperlihatkan betapa beraninya manusia memperdagangkan hukum dan membuat
keadilan di tangannya menjadi relatif.
Benarkah realitas bidang hukum kita sedang
mengalami masa transisi ? sesungguhnya pemaknaan transisi bidang hukum lebih
dipahami pada subtansi hukumnya, artinya isi hukum dipandang belum memadai atau
bahkan tidak ada untuk mengikat dan mengatur setiap tingkah laku. Akan tetapi
masa transisi bidang hukum seharusnya tidak berlaku pada hukum yang telah nyata
ada, artinya secara subtansi hukum telah mengatur dan pelaksanaannya bergantung
pada aparat penegak hukumnya. Misal hukum bidang korupsi telah ada dan dibuat,
sekaligus aparat penegaknya telah tersedia, dan pelaku korupsi tidak
tersentuh. Kenyataan ini bukan dipandang
sebagai masa transisi akan tetapi problematik pada efektifitas hukum.
2. Tujuan
- Memahami dan mencari akar
persoalan terhadap munculnya diskriminasi dan manipulasi hukum.
- Mencari solusi terhadap
munculnya diskriminasi dan manipuali bidang hukum yang realistis.
3. Materi dan metodologi
Penulisan ini akan melakukan
pendekatan normatif sebab yang hendak
dikaji adalah kajian pustaka dan datat-data tentang realitas terjadinya
diskriminasi dan manipulasi hukum. Hal ini berkaitan dengan maksud penulis yang
berusaha menemukan akar persoalaan mengapa hukum menjadi sangat diskriminasi
dan manipulatif.
4. Pembahasan
Diskriminasi pada dasarnya adalah tidak
dibenarkan HAM Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39 Tahun 1998 tentang HAM
disebutkan pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau
pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia
atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan,
penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan
kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang
politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.
Pemahaman tersebut diatas mengandung makna
yang luas bahwa lingkup diskriminasi
dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara
langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi tersebut dapat bersumber dari peraturan
perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah yang mengandung unsur-unsur
diskriminasi. Atau dapat pula berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran
agama, serta struktur sosial dan ekonomi yang membenarkan terjadinya
diskriminasi.
Akar Krisis :
diskriminasi & manipulatif
Banyak laporan yang menyebutkan bahwa
pengadilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan ketidakadilan
ternyata tidak banyak memberi rasa keadilan dan tidak berdaya. Buruknya
pelayanan lembaga peradilan dapat diukur dari lambatnya proses penyelidikan
yang dilakukan oleh kepolisian terhadap suatu kasus, banyaknya persyaratan
administrasi ditambah lagi dengan pungutan-pungutan diluar biaya resmi sampai
kepada putusan pengadilan yang diskriminatif hukum hanya bagi masyarakat kecil
tapi tidak untuk yang mempunyai uang dan kekusaan, disi lain putusan dianggap tidak transparan oleh publik.
Kelemahan
hukum kita yang lebih banyak melahirkan hukum yang diskriminatif dan
manipulatif menimbulkan krisis kepercayaan dan kewibawaan hukum dimata
masyarakat. Kelemahan itu bisa kita lihat dalam tiga aspek pertama ; Materi
hukumnya, untuk melihat materi hukum atau isi suatu peraturan
perundang-undangan harus dilihat secara
baik. Apakah aturan hukum tersebut telah adil dan tidak memihak atau
menguntungkan bagi sebagian orang dan merugikan pada sebagian orang. Tentunya
isi hukum yang seperti akan tidak dapat di terima dengan mudah.
Sisi lain yang tidak kalah penting dalam melihat isi
hukum adalah pada proses pembuatan hukum. Menjadi rahasia umum bahwa proses
pembentukan hukum jauh dari partisipasi masyarakat dan transparansi. Hukum
kebanyakan di buat secara sembunyi-sembunyi akibat dari pembuatan hukum yang
tidak partisipatif dan transparan hukum tidak menjadi ikatan kontrak bagi
masyarakat. Hukum kembali mandul.
Kedua dari sisi struktur hukum, hukum dapat menjadi
wibawa ataupun hukum menjadi keadilan bagi semua masyarakat akan bergantung
juga pada aparat hukumnya. Criminal justice system yang terdiri dari
kepolisian, kejaksaan dan peradilan menjadi ujung tombak dari proses penegakan
hukum. Sayangnya Criminal justice system mendapat predikat negatif dari
publik. Kelemahan mendasar dari penopang struktur hukum adalah kualitas
sumberdaya manusia yang kurang memadai, moralitas dan komitmen terhadap
penegakan hukum hal inilah yang mengakibatkan merajalelanya KKN di lembaga
Criminal justice system.
Ketiga dari sisi budaya masyarakat, upaya menciptakan
hukum yang berekeadilan dan berlaku untuk semua ditentukan oleh budaya
masyarakat. Masyarakat harus terus memberikan pemantauan dan pengawasan pada
setiap lembaga peradilan. Kebiasaan masyarakat menjadi tumpuan dalam membangun
hukum yang partisipatif dan terlibat dalam proses pembuatan hukum. Terkadang
masyarakat juga mempunyai andil besar dalam menyuburkan KKN dalam lembaga peradilan
dengan menempuh diluar jalur hukum resmi yang pada akhirnya terjadilah
tawar-menawar hukum antara masyarakat dan lembaga pada criminal justice
system.
Tiga
aktor tersebut diatas merupakan faktor penyebab terjadinya proses diskriminasi
hukum dan manipulasi. Beberapa faktor lainya yang secara natural hukum menjadi
diskriminatif dan manipulasi adalah : pertama dalam sistem masyarakat terdapat
lapisan-lapisan sosial menimbulkan hak-hak dan kewajiban tertentu bagi
msyarakatnya. Lapisan sosial terpandang merupakan pemegang kendali sosial yang
merasa tidak akan pernah tersentuh oleh hukum. Kedua adanya kekuasaan
tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai atau dengan
kata lain akan berebut pengaruh dan pihak lain menerima pengaruh dengan
sukarela atau terpaksa.
Mac Iver membagi pola umum dari lapisan-lapisan
kekuasaan atau piramida kekuasaan :
a. Tipe kasta, yaitu sistem kekuasaan dengan garis-garis
pemisah yang tegas dan kaku. Tipe semacam ini biasanya dapat dijumpai pada
masyaraat yang berkuasa, dimana hampir tidak terjadi gerak sosial vertikal
b. Tipe oligarkis, yang merupakan lapisan kekuasaan yang
masih mempunyai garis pemisah yang tegas, akan tetapi dasar pembedaan
kelas-kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan masyarakat tersebut terutama
dalam hal kesempatan yang diberikan kepada warga untuk memberi kekuasaan
tertentu.
c. Tipe demokratis, lebih menunjukan akan adanya
garis-garis pemisah antara lapisan-lapisan yang sifatnya mobile sekali.
Kelahiran tidak terlalu menentukan kedudukan seseorang, yang terpenting adalah
kemapuannya dan kadang-kadang juga faktor keberuntangan.
Diferensiasi sosial memang tidak dapat dihindarkan
dengan perkembangan zaman yang demikian pesat yang mengharuskan masyarakat
untuk berbeda. Diferensiasi soaial inilah yang menimbulkan diskriminasi
terhadap hukum yang berlaku.
Keluar dari krisis
Masa transisi bukanlah pembenar terhadap terjadinya
diskriminasi dan manipulasi hukum. Masa transisi ada karena terjadinya
perubahan-perubahan yang besar oleh masyarakatnya. Perubahan itu akan
berkausalitas dengan hukum sampai seberapa jauhkah perubahan-perubahan hukum
dapat mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. Atau sampai seberapakah
hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum
tidak selalu berlangsung bersama-sama.artinya pada keadaan tertentu
perkembangan hukum akan tertinggal oleh
permbangan masyarakatnya atau mungkin sebaliknya. Bila terjadi yang demikian
terjadilah social lag yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidak
seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan
terjadinya kepincangan-kepincangan. (W.F. Ogburn 1966:200)
Kondisi yang digambarkan oleh Ogburn sangat relevan
dengan kondisi kebangsaan hari ini dimana pasca reformasi terjadi perubahan
mendasar dari masyarakat. Muncullah kesadaran-kesadaran baru dan realitas bahwa
masyarakat menginginkan keadilan tanpa diskriminasi dengan transparansi. Akan
tetapi perubahan tersebut tidak dibarengi dengan sikap para penegak hukumnya.
Di lain kesempatan Daniel S. Lev mengatakan yang menajdi hukumialah parktek
sehari-hari oleh pejabat hukum. Jika kelakukan pejabat-pejabat hukum termasuk
hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, polisi-polisi dan pegawai pemerintah
pada umunya berubah walaupun Undang-undangnya tetap. Inilah yang menjadi social
lag dimana antara keinginan masyarakat dengan penegak hukum jauh dari titik
temu.
Dalam teori yang dikemukakan Durkheim yang pada
intinya menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas sosial
masyarakat Durkheim membagi dua model solidaritas yakni bersifat mekanis dan
bersifat organis. Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat yang
sederhana dan homogen, dimana ikatan-ikatan warganya didasarkan pada hubungan
pribadi serta tujuan yang sama. Pada solidaritas mekanis sistem hukum yang
terbangun adalah hukum pidana yang represif.
Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat
yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks. Dengan
meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, rekasi yang kolektif terhadap
pelangaran-pelanggaran kaidah hukum
menajdi berkurang sehingga hukum yang tadinya bersifat represif berubah menajdi
hukum yang bersifat retitutif.
Perubahan sosial yang terjadi yang mengharuskan
kita pada masa transisi menimbulkan hukum yang cenderung diskriminasi dan
manipulatif. Kedaan sosial yang demikian akibat dari diferensiasi struktur
masyarakat yang tentunya berbeda status dan kepentingan. Sehubungan dengan
diskriminasi hukum maka sedikitnya dapat di kemukakan dua hipotesa yakni ;
- Semakin tinggi kedudukan
seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
- Semakin rendah kedudukan
seseorang dalam stratifikasi semakin banyak hukum yang menagturnya
(Soerjono Soekanto 1988 :83)
Apakah selamanya bahwa dua hipotesa akan terus
berlangsung, tentunya hal ini akan lebih menjauhkan lagi harapan yang ingin
diwujudkan oleh masyarakat. Tentunya keadaan seperti ini harus dikembalikanlagi
pada fungsi hukum untuk ketertiban.
Untuk mengatasi krisis tentunya diperlukan suatu
mekanisme pengendalian sosial agar segala sesuatunya berjalan tertib. Yang
dimaksudkan dengan mekanisme pengendalian sosial ialah segala sesuatu yang
dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak
direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat
agar menyesuiakan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan
masyarakat yang bersangkutan (J.S Roucek :1951:3 )
Oleh karena penting dirasa untuk kembali meletakkan
fungsi hukum untuk berjalannya suatu kehidupan masyarakat yang baik.
Fungsi-fungsi hukum itu antara lain :
1. Menetapkan hubungan antara para warga masyarakat
dengan menetapkan perikelakukan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
2. Membuat alokasi kewenangan dan menentukan secara
seksama pihak-pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus
memilih sangsi-sangsi yang tepat dan efektif.
3. Disposisi masalah-masalah sengketa.
4. Menyesuikan pola-pola hubungan dengan perubahan
kondisi kehidupan (E.A. Hoebel :1961:bab II)
Suatu pelaksanaan pemerintahan dapatlah disebut
berseni baik manakala keputusan-keputusan politik dan hokum di badan
legislative dan eksekutif atau bahkan dibadan yudisial sekurang-kurangnya harus
memiliki empat syarat : keputusan itu pertama-tama taat asas, sehingga kurang
dan lebihnya akan dapat diperkirakan sebelumnya
(predictable). Kedua pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban
oleh public (accountable) ketiga prosesnya tidak dilakukan secara
sembunyi-sembunyi yang akan segera mengindikasikan adanya kolusi-kolusi
(transparent). Keempat proses itu juga terbuka yang
mengakomodasi kepentingan kritis khalayak ramai. (Soetandyo Wignyo Soebroto :
2002; 2)
Berbicara tentang hukum tidak hanya berbicara
tentang meteri hukumnya saja akan tetapi
banyak faktor yang mempengaruhinya; pertama proses pembentukan hukum (yang lebih banyak merupakan ajang power
gameyang mengacu pada kepentingan the powerful dari the needy sangat sulit
untuk diingkari)
Kedua proses penerapan hukum, baik yang dilakukan
oleh lembaga eksekutif tingkat atas menengah maupun bawah dan yudikatif dalam tugasnya melaksanakan hukum, tudingan
yang cukup banyak dialamatkan kepada pelaksana hukum karena hukumtidak lagi
berwibawa dengan menonjolkan nuansa non hukum (misal politik dan kekuasaan),
penegakan hukum yang tidak konsisten dan diskriminatif, intervensi kekuasaan
terhadap hukum yang sulit dilacak dan dibuktikan apalagi di proses. Ketiga penegak
hukum memiliki kelemahan integritas, pmehaman, kontrol dan sebagainya yang
kesemuanya harus diubah. Jelas mengubah sistem dan muatan hukum jauh lebih
mudah daripada mengubah sikap dan perilaku manusia. (Harkristuti: 2002;2)
Upaya perbaikan struktur birokrasi dalam tubuh
kekuasaan kehakiman tentunya harus kita sambut dengan baik Mahkamah Agung dalam
beberapa waktu yang lalu telah menerima sejumlah kewenangan dari Menteri
Kehakiman yag nantinya seluruh kewenangan bidang peradilan termasuk pembinaan
para hakim akan dibawah kendali langsung oleh Mahkamah Agung. Penyatuan atap
tersebut bukan sekedar memindahkan kewenangan melainkan penambahan tugas dan
tanggung jawab yang harapan dari penyatuan tersebut badan peradilan lebih
Independen. Selama ini adanya dualisme
dalam badan peradilan dituding sebagai penyebab tidak mandirinya pengadilan.
Rezim yang berkuasa melakukan intervensi terhadap pengadilan.
Tentunya upaya tersebut diatas harus tetap menjadi
perhatian penting untuk tetap memberikan pengawasan terhadap lembaga peradilan.
Mekanisme pertangungjawaban dan transparansi menajdi sangat penting sebagai
upaya mengembalikan kembali citra hukum di dalam masyarakat.
Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng
keadilan tertinggi dalam menciptakan dan menghasilkan harapan masyarakat
untuk bagi pembaruan hukum. Dalam konsep Trias Politika lembaga MA adalah salah
satu dari tiga pilar kekuasaan terpenting, di samping kekusaan eksekutif dan
legislatif. Pasal 2 UU No 14 tahun 1985 juga menyatakan bahwa MA adalah
Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam
melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh
lainnya. Apabila peran tersebut tidak dimainkan dengan ketentuan hukum yang
benar, sudah dapat dipastikan keadilan hukum dalam masyarakat tidak akan pernah
terlaksana
Beratnya tugas MA dalam alam
reformasi ini tentunya tak akan terpenuhi apabila hakim agung tetap berkelakuan
buruk. Karena itu, di mata masyarakat tertanam anggapan pengadilan merupakan
tempat berkumpulnya para mafia yang dengan gampang mempermainkan hukum dengan
kaidah-kaidah tertentu. Hukum begitu mudah diselewengkan.
Urgensi di masa datang yang
perlu diperbaiki adalah budaya hukum,
kemudian dalam jangka pendek, adalah penegakkan hukum dengan melakukan terobosan-terobosan
yaitu, menyelesaikan perkara korupsi yang besar, agar masyarakat bisa melihat
bahwa ada kesungguhan dari pemimpin. lemahnya penegakkan hukum diera reformasi
saat ini justru banyak disebabkan berasal dari aparat (criminal justice system)
yang seharusnya bekerja lebih tepat dan cepat.
Antara penegakkan hukum dan
keadilan itu harus seiring sehingga apa yang diharapkan masyarakat adanya rasa
keadilan juga bisa terwujud dari penerapan hukuman bagi siapa saja yang
melanggar.
Sederhananya yang harus dilakukan
agar hukum kita tidak diskriminatif adalah :
1.
Pembenahan
terhadap materi hukum, pembenahan materi hukum ini di mulai dari arah kebijakan
umum secara nasional kemana hukum akan dibawa. Kemudian proses pembuatan hukum
yang harus melibatkan partisipasi dan
pengawasan masyarakat. Dan terakhir bahwa hukum juga harus selalu mengikuti
perkembangan masyarakatnya.
2.
Pembenahan
terhadap struktur hukumnya. Pembenahan ini dimulai dari pendidikan tinggi hukum
yang berbasis pada moralitas dan keberpihakan pada nilai-nilai kedailan.
Selanjutnya dilakukan pembinaan melalui evaluasi dan pengawasan terhadap
kemungkinan penyelewengam dengan kuasa yudikatif. Paradigma aparat criminal
justice system juga harus dipaksa berubah dengan melihat dinamika masyarakat
yang berpegang pada akuntabilitas dan transparansi.
3.
Pembenahan
budaya hukum masyarakat. Pembenahan di sektor ini di rasa paling sulit karena
berkaitan dengan apa yang telah tertanam dan memerlukan waktu. Tapi harus tetap
optimis bahwa masyarakat mampu untuk tidak terjebak dalam lingkaran
diskriminasi dan manipulasi hukum.
5. Kesimpulan
Melakukan pembenahan bidang hukum
harus bertumpu pada tiga sektor pertama hukum harus dibenahi oleh materi
hukumnya atau yang lebih di kenal adalah peraturan perundang-undanganya. Kedua
hukum harus dibenahi melalui struktur parat penagak hukumnya hal ini akan
membuat hukum menjadi berwibawa KKN terjadi bukan karena hukum yang jelek
ataupun hukum yang baik akan tetapi lebih pada persoalan sumber daya manusianya
Ketiga membangun budaya hukum
masyarakat agar melakukan partisipasi pengawasan terhadap uapaya penegakan
hukum. Dan tidak mengikuti arus KKN yang terjadi di lembaga peradilan.
Daftar Bacaan
Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum,
Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1988
Soetandyo Wignyo Soebroto, Hukum dan Moral
Pemerintahan Yang Baik, Justika Siar
Publika, Jakarta, 2002
Hoebel Adamson, The Law of Primitive Man, Cambridge
Harvard University Press, 1961
Harkristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum di
Indonesia, Quo Vadis?, Justika Siar Publika, Jakarta, 2002
Hadjon ,
Philipus, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Edisi Khusus,
Peradaban, 2007
------------------------,
Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005
Hutchinson,
Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook, Sydney, 2002
Ian Mccleod,
Legal Method, Macmilan, London, 1993
Roucek joseph, Social Control, fourt printing,
London, D. Van Nortstran Company, 1964
No comments:
Post a Comment