Saturday, 7 November 2015

DISKRIMINASI DAN MANIPULASI HUKUM DI MASA TRANSISI

diskriminasi dan manipulasi hukum di masa transisi

Ngesti D. Prasetyo

Abstrak
Hukum di Indonesia tidak lagi berwibawa, hukum menjadi sangat menakutkan bagi sebagian masyarakat kecil dan hukum menjadi sangat kompromis dan bersahabat bagi masyarakat yang mapan kekuasaan dan ekonomi. Benarkah bahwa hukum diskriminatif ? Keadaan yang demikian dimaklumi oleh sebagian masyarakat sebab Indonesia memasuki transisi dimana masih mencari format yang ideal. Kalaupun transisi bidang hukum menjadi alasan utama untuk membiarkan terjadinya diskriminasi dan pelanggaran-pelanggaran tentunya tidak harus sermit yang kita bayangkan. Dalam tulisan ini lebih banyak mengungkapkan kelemahan hukum kita yang lebih banyak melahirkan hukum yang diskriminatif dan manipulatif.  




1.      Pendahuluan
Ditengah kondisi bangsa Indonesia yang seakan tidak pernah usai dengan masa masa-masa transisi. Khalayak menyebut kehidupan kebangsaan yang sedang di jalani merupakan masa transisi bidang politik, masa transisi bidang ekonomi dan masa transisi bidang hukum. Tentunya pemaknaan masa transisi memiliki cara pandang yang berbeda-beda pada setiap orang, adanya masa transisi bagi sebagian orang memandang akan memanfaatkan kesempatan yang sebesar-sebesarnya karena tidak ada jaminan kepastian.
Bagi sebagian yang lain masa transisi ini dilakukan perbaikan-perbaikan dan menahan diri agar masa transisi menuju arah yang lebih baik. Sampai kapankah masa transisi ini akan segera berakhir, masyarakat sudah merindukan kepastian bidang hukum yang dirasa hari ini menjadi cerminan moralitas dari suatu masyarakat. 
Penegakkan hukum merupakan salah satu dari beberapa cita-cita reformasi yang dicetuskan di tahun 1998. Masa itu masyarakat dan seluruh komponen bangsa menempatkan penegakan hukum di antara perubahan UUD 1945, pemulihan ekonomi, pemberantasan KKN, otonomi daerah, demokratisasi, dan pemilihan langsung sebagai agenda reformasi yang harus diwujudkan sebagai syarat menuju reformasi negara dan bangsa Indonesia yang demokratis
Penegakan hukum tanpa diskriminasi merupakan jalan  bagi terwujudnya keadilan. Nilai-nilai keadilan inilah yang hilang semasa orde baru. Ketika itu, siapa yang kuat, baik dari perspektif kedudukan maupun kekayaan, dialah yang akan memperoleh keadilan. Sementara bagi mereka yang lemah, keadilan adalah sesuatu yang sangat mahal harganya.
Hari-hari ini Indonesia diwarnai adanya catatan-catatan kritis yang dilontarkan oleh masyarakat pada masalah hukum. Catatan ini dilontarkan tidak hanya pada lembaga legislatif, melainkan juga pada lembaga yudikatif dan legislatif yang sama buruknya. Realitas ini hendaknya dipandang sebagai suatu cerminan persepsi masyarakat yang mengganggap lembaga-lembaga hukum kurang bergigi, tidak profesional, hukumnya pilih-pilih dan beraninya sama yang lemah, dipertanyakan kapasitas dan moralitas personelnya, serta produknya dalam menegakkan hukum.
Belum lagi persoalan korupsi yang terjadi pada setiap lembaga pada seluruh level birokrasi yang dirasa sulit dibuktikan. Kalaupun terendus aparat penyidik yang tak kuasa untuk melakukan tindakan lebih lanjut atau proses peradilan yang banyak diwarnai dengan bargaining politik bila menyangkut orang kuat bidang ekonomi dan politik. Hukum menjadi tidak berlaku. Berbeda jika yang terkena persoalan masyarakat biasa hukum menjadi sangat kejam dan tanpa ampun menghukum.  Realitas ini semakin menipisnya harapan publik akan supremasi hukum yang berkeadilan.  Ironi tatkala melihat realitas masyarakat lainya  yang bersusah payah untuk melangsungkan hidup dengan menerobos aturan hukum yang akhirnya harus mendekam di balik jeruji.  
Di satu sisi hukum perlu ditegakkan. Tetapi, di sisi lain isi keadilan dalam hukum perlu dipertanyakan, supaya hukum tidak begitu saja menguntungkan pihak yang satu dan merugikan pihak lain Persoalan diskriminasi hukum inilah yang sesungguhnya selalu mengusik rasa keadilan rakyat. Sosiolog hukum Donald Black menjabarkan lima penyebab terjadinya diskriminasi hukum, yaitu stratifikasi, morfologi, kultur, organisasi, dan pengendalian sosial.
Beberapa kasus diskriminasi yang muncul lebih banyak di warnai pada aspek stratifikasi dan kultur birokrasi penegak hukum. Rasa keadilan masyarakat terusik manakala hukum tidak menyentuh para pejabat dan konglomerat yang menggerogoti keuangan negara.  Hukum telah mengambil bagian dari apa-apa yang seharusnya dapat di lingkupi Das sollen hukum berlaku untuk semua orang, Dalam implementasinya seharusnya juga (dijamin) dapat mengenai setiap orang.
Kenyataan ini semakin memperkuat persepsi masyarakat yang pada akhirnya masyarakat tidak mempercayai pada hukum antara lain penegak hukum yang tidak profesional dan diskriminatif, lembaga peradilan yang tidak independen, upaya maksimal perlindungan hukum pada masyarakat dan menjadi rahasia umum lembaga peradilan merupakan sarang KKN yang paling tidak tersentuh hukum.
Keadilan telah diperjualbelikan. Begitulah gambaran awal hukum. Para pencari keadilan dihadapkan pada hukum yang diputar balik dan ironisnya pelakunya adalah penegak hukum. Gaji kecil dijadikan alasan korupsi peradilan, sebenarnya itu hanya memperlihatkan betapa beraninya manusia memperdagangkan hukum dan membuat keadilan di tangannya menjadi relatif.
Benarkah realitas bidang hukum kita sedang mengalami masa transisi ? sesungguhnya pemaknaan transisi bidang hukum lebih dipahami pada subtansi hukumnya, artinya isi hukum dipandang belum memadai atau bahkan tidak ada untuk mengikat dan mengatur setiap tingkah laku. Akan tetapi masa transisi bidang hukum seharusnya tidak berlaku pada hukum yang telah nyata ada, artinya secara subtansi hukum telah mengatur dan pelaksanaannya bergantung pada aparat penegak hukumnya. Misal hukum bidang korupsi telah ada dan dibuat, sekaligus aparat penegaknya telah tersedia, dan pelaku korupsi tidak tersentuh.  Kenyataan ini bukan dipandang sebagai masa transisi akan tetapi problematik pada efektifitas hukum.

2.      Tujuan
  1. Memahami dan mencari akar persoalan terhadap munculnya diskriminasi dan manipulasi hukum.
  2. Mencari solusi terhadap munculnya diskriminasi dan manipuali bidang hukum yang realistis.

3.      Materi dan metodologi
Penulisan ini akan melakukan pendekatan normatif  sebab yang hendak dikaji adalah kajian pustaka dan datat-data tentang realitas terjadinya diskriminasi dan manipulasi hukum. Hal ini berkaitan dengan maksud penulis yang berusaha menemukan akar persoalaan mengapa hukum menjadi sangat diskriminasi dan manipulatif.

4.      Pembahasan
Diskriminasi pada dasarnya adalah tidak dibenarkan HAM Dalam Pasal 1 butir 3 UU No. 39 Tahun 1998 tentang HAM disebutkan pengertian diskriminasi adalah “setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak langsung didasarkan pada perbedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan atau penghapusan pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan HAM dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan sosial lainnya.
Pemahaman tersebut diatas mengandung makna yang luas bahwa lingkup  diskriminasi dapat terjadi dalam berbagai bentuk pada setiap bidang kehidupan secara langsung maupun tidak langsung. Diskriminasi tersebut dapat bersumber dari peraturan perundang-undangan dan kebijakan Pemerintah yang mengandung unsur-unsur diskriminasi. Atau dapat pula berakar pada nilai-nilai budaya, penafsiran agama, serta struktur sosial dan ekonomi yang membenarkan terjadinya diskriminasi.

Akar Krisis : diskriminasi & manipulatif
      Banyak laporan yang menyebutkan bahwa pengadilan yang seharusnya menjadi benteng terakhir melawan ketidakadilan ternyata tidak banyak memberi rasa keadilan dan tidak berdaya. Buruknya pelayanan lembaga peradilan dapat diukur dari lambatnya proses penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian terhadap suatu kasus, banyaknya persyaratan administrasi ditambah lagi dengan pungutan-pungutan diluar biaya resmi sampai kepada putusan pengadilan yang diskriminatif hukum hanya bagi masyarakat kecil tapi tidak untuk yang mempunyai uang dan kekusaan, disi lain putusan  dianggap tidak transparan oleh publik.  
      Kelemahan hukum kita yang lebih banyak melahirkan hukum yang diskriminatif dan manipulatif menimbulkan krisis kepercayaan dan kewibawaan hukum dimata masyarakat. Kelemahan itu bisa kita lihat dalam tiga aspek pertama ; Materi hukumnya, untuk melihat materi hukum atau isi suatu peraturan perundang-undangan  harus dilihat secara baik. Apakah aturan hukum tersebut telah adil dan tidak memihak atau menguntungkan bagi sebagian orang dan merugikan pada sebagian orang. Tentunya isi hukum yang seperti akan tidak dapat di terima dengan mudah.
Sisi lain yang tidak kalah penting dalam melihat isi hukum adalah pada proses pembuatan hukum. Menjadi rahasia umum bahwa proses pembentukan hukum jauh dari partisipasi masyarakat dan transparansi. Hukum kebanyakan di buat secara sembunyi-sembunyi akibat dari pembuatan hukum yang tidak partisipatif dan transparan hukum tidak menjadi ikatan kontrak bagi masyarakat. Hukum kembali mandul.
Kedua dari sisi struktur hukum, hukum dapat menjadi wibawa ataupun hukum menjadi keadilan bagi semua masyarakat akan bergantung juga pada aparat hukumnya. Criminal justice system yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan dan peradilan menjadi ujung tombak dari proses penegakan hukum. Sayangnya Criminal justice system mendapat predikat negatif dari publik. Kelemahan mendasar dari penopang struktur hukum adalah kualitas sumberdaya manusia yang kurang memadai, moralitas dan komitmen terhadap penegakan hukum hal inilah yang mengakibatkan merajalelanya KKN di lembaga Criminal justice system.
Ketiga dari sisi budaya masyarakat, upaya menciptakan hukum yang berekeadilan dan berlaku untuk semua ditentukan oleh budaya masyarakat. Masyarakat harus terus memberikan pemantauan dan pengawasan pada setiap lembaga peradilan. Kebiasaan masyarakat menjadi tumpuan dalam membangun hukum yang partisipatif dan terlibat dalam proses pembuatan hukum. Terkadang masyarakat juga mempunyai andil besar dalam menyuburkan KKN dalam lembaga peradilan dengan menempuh diluar jalur hukum resmi yang pada akhirnya terjadilah tawar-menawar hukum antara masyarakat dan lembaga pada criminal justice system. 
      Tiga aktor tersebut diatas merupakan faktor penyebab terjadinya proses diskriminasi hukum dan manipulasi. Beberapa faktor lainya yang secara natural hukum menjadi diskriminatif dan manipulasi adalah : pertama dalam sistem masyarakat terdapat lapisan-lapisan sosial menimbulkan hak-hak dan kewajiban tertentu bagi msyarakatnya. Lapisan sosial terpandang merupakan pemegang kendali sosial yang merasa tidak akan pernah tersentuh oleh hukum. Kedua adanya kekuasaan tergantung dari hubungan antara yang berkuasa dengan yang dikuasai atau dengan kata lain akan berebut pengaruh dan pihak lain menerima pengaruh dengan sukarela atau terpaksa.
Mac Iver membagi pola umum dari lapisan-lapisan kekuasaan atau piramida kekuasaan :
a.       Tipe kasta, yaitu sistem kekuasaan dengan garis-garis pemisah yang tegas dan kaku. Tipe semacam ini biasanya dapat dijumpai pada masyaraat yang berkuasa, dimana hampir tidak terjadi gerak sosial vertikal
b.      Tipe oligarkis, yang merupakan lapisan kekuasaan yang masih mempunyai garis pemisah yang tegas, akan tetapi dasar pembedaan kelas-kelas sosial ditentukan oleh kebudayaan masyarakat tersebut terutama dalam hal kesempatan yang diberikan kepada warga untuk memberi kekuasaan tertentu.
c.       Tipe demokratis, lebih menunjukan akan adanya garis-garis pemisah antara lapisan-lapisan yang sifatnya mobile sekali. Kelahiran tidak terlalu menentukan kedudukan seseorang, yang terpenting adalah kemapuannya dan kadang-kadang juga faktor keberuntangan.
Diferensiasi sosial memang tidak dapat dihindarkan dengan perkembangan zaman yang demikian pesat yang mengharuskan masyarakat untuk berbeda. Diferensiasi soaial inilah yang menimbulkan diskriminasi terhadap hukum yang berlaku. 

Keluar dari krisis

Masa transisi bukanlah pembenar terhadap terjadinya diskriminasi dan manipulasi hukum. Masa transisi ada karena terjadinya perubahan-perubahan yang besar oleh masyarakatnya. Perubahan itu akan berkausalitas dengan hukum sampai seberapa jauhkah perubahan-perubahan hukum dapat mengakibatkan perubahan pada bidang lainnya. Atau sampai seberapakah hukum harus menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi dimasyarakat.
Perubahan-perubahan sosial dan perubahan hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama.artinya pada keadaan tertentu perkembangan hukum akan tertinggal  oleh permbangan masyarakatnya atau mungkin sebaliknya. Bila terjadi yang demikian terjadilah social lag yaitu suatu keadaan dimana terjadi ketidak seimbangan dalam perkembangan lembaga-lembaga kemasyarakatan yang mengakibatkan terjadinya kepincangan-kepincangan. (W.F. Ogburn 1966:200)
Kondisi yang digambarkan oleh Ogburn sangat relevan dengan kondisi kebangsaan hari ini dimana pasca reformasi terjadi perubahan mendasar dari masyarakat. Muncullah kesadaran-kesadaran baru dan realitas bahwa masyarakat menginginkan keadilan tanpa diskriminasi dengan transparansi. Akan tetapi perubahan tersebut tidak dibarengi dengan sikap para penegak hukumnya. Di lain kesempatan Daniel S. Lev mengatakan yang menajdi hukumialah parktek sehari-hari oleh pejabat hukum. Jika kelakukan pejabat-pejabat hukum termasuk hakim-hakim, jaksa-jaksa, advokat-advokat, polisi-polisi dan pegawai pemerintah pada umunya berubah walaupun Undang-undangnya tetap. Inilah yang menjadi social lag dimana antara keinginan masyarakat dengan penegak hukum jauh dari titik temu.
Dalam teori yang dikemukakan Durkheim yang pada intinya menyatakan bahwa hukum merupakan refleksi dari solidaritas sosial masyarakat Durkheim membagi dua model solidaritas yakni bersifat mekanis dan bersifat organis. Solidaritas yang mekanis terdapat pada masyarakat yang sederhana dan homogen, dimana ikatan-ikatan warganya didasarkan pada hubungan pribadi serta tujuan yang sama. Pada solidaritas mekanis sistem hukum yang terbangun adalah hukum pidana yang represif.
Solidaritas yang organis terdapat pada masyarakat yang heterogen dimana terdapat pembagian kerja yang kompleks. Dengan meningkatnya diferensiasi dalam masyarakat, rekasi yang kolektif terhadap pelangaran-pelanggaran kaidah  hukum menajdi berkurang sehingga hukum yang tadinya bersifat represif berubah menajdi hukum yang bersifat retitutif.
Perubahan sosial yang terjadi yang mengharuskan kita pada masa transisi menimbulkan hukum yang cenderung diskriminasi dan manipulatif. Kedaan sosial yang demikian akibat dari diferensiasi struktur masyarakat yang tentunya berbeda status dan kepentingan. Sehubungan dengan diskriminasi hukum maka sedikitnya dapat di kemukakan dua hipotesa yakni ;
  1. Semakin tinggi kedudukan seseorang dalam stratifikasi, semakin sedikit hukum yang mengaturnya.
  2. Semakin rendah kedudukan seseorang dalam stratifikasi semakin banyak hukum yang menagturnya (Soerjono Soekanto 1988 :83)
Apakah selamanya bahwa dua hipotesa akan terus berlangsung, tentunya hal ini akan lebih menjauhkan lagi harapan yang ingin diwujudkan oleh masyarakat. Tentunya keadaan seperti ini harus dikembalikanlagi pada fungsi hukum untuk ketertiban.
Untuk mengatasi krisis tentunya diperlukan suatu mekanisme pengendalian sosial agar segala sesuatunya berjalan tertib. Yang dimaksudkan dengan mekanisme pengendalian sosial ialah segala sesuatu yang dilakukan untuk melaksanakan proses yang direncanakan maupun yang tidak direncanakan untuk mendidik, mengajak atau bahkan memaksa para warga masyarakat agar menyesuiakan diri dengan kaidah-kaidah dan nilai-nilai kehidupan masyarakat yang bersangkutan (J.S Roucek :1951:3 )
Oleh karena penting dirasa untuk kembali meletakkan fungsi hukum untuk berjalannya suatu kehidupan masyarakat yang baik. Fungsi-fungsi hukum itu antara lain :
1.      Menetapkan hubungan antara para warga masyarakat dengan menetapkan perikelakukan mana yang diperbolehkan dan mana yang dilarang.
2.      Membuat alokasi kewenangan dan menentukan secara seksama pihak-pihak yang secara sah dapat melakukan paksaan dengan sekaligus memilih sangsi-sangsi yang tepat dan efektif.
3.      Disposisi masalah-masalah sengketa.
4.      Menyesuikan pola-pola hubungan dengan perubahan kondisi kehidupan (E.A. Hoebel :1961:bab II)
Suatu pelaksanaan pemerintahan dapatlah disebut berseni baik manakala keputusan-keputusan politik dan hokum di badan legislative dan eksekutif atau bahkan dibadan yudisial sekurang-kurangnya harus memiliki empat syarat : keputusan itu pertama-tama taat asas, sehingga kurang dan lebihnya akan dapat diperkirakan sebelumnya  (predictable). Kedua pembuat keputusan dapat dimintai pertanggungjawaban oleh public (accountable) ketiga prosesnya tidak dilakukan secara sembunyi-sembunyi yang akan segera mengindikasikan adanya kolusi-kolusi (transparent). Keempat proses itu juga terbuka yang mengakomodasi kepentingan kritis khalayak ramai. (Soetandyo Wignyo Soebroto : 2002; 2)
Berbicara tentang hukum tidak hanya berbicara tentang meteri hukumnya saja  akan tetapi banyak faktor yang mempengaruhinya; pertama proses pembentukan hukum  (yang lebih banyak merupakan ajang power gameyang mengacu pada kepentingan the powerful dari the needy sangat sulit untuk diingkari)
Kedua proses penerapan hukum, baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif tingkat atas menengah maupun bawah dan yudikatif  dalam tugasnya melaksanakan hukum, tudingan yang cukup banyak dialamatkan kepada pelaksana hukum karena hukumtidak lagi berwibawa dengan menonjolkan nuansa non hukum (misal politik dan kekuasaan), penegakan hukum yang tidak konsisten dan diskriminatif, intervensi kekuasaan terhadap hukum yang sulit dilacak dan dibuktikan apalagi di proses. Ketiga penegak hukum memiliki kelemahan integritas, pmehaman, kontrol dan sebagainya yang kesemuanya harus diubah. Jelas mengubah sistem dan muatan hukum jauh lebih mudah daripada mengubah sikap dan perilaku manusia. (Harkristuti: 2002;2)
Upaya perbaikan struktur birokrasi dalam tubuh kekuasaan kehakiman tentunya harus kita sambut dengan baik Mahkamah Agung dalam beberapa waktu yang lalu telah menerima sejumlah kewenangan dari Menteri Kehakiman yag nantinya seluruh kewenangan bidang peradilan termasuk pembinaan para hakim akan dibawah kendali langsung oleh Mahkamah Agung. Penyatuan atap tersebut bukan sekedar memindahkan kewenangan melainkan penambahan tugas dan tanggung jawab yang harapan dari penyatuan tersebut badan peradilan lebih Independen.  Selama ini adanya dualisme dalam badan peradilan dituding sebagai penyebab tidak mandirinya pengadilan. Rezim yang berkuasa melakukan intervensi terhadap pengadilan.
Tentunya upaya tersebut diatas harus tetap menjadi perhatian penting untuk tetap memberikan pengawasan terhadap lembaga peradilan. Mekanisme pertangungjawaban dan transparansi menajdi sangat penting sebagai upaya mengembalikan kembali citra hukum di dalam masyarakat.
 Mahkamah Agung (MA) sebagai benteng keadilan tertinggi dalam menciptakan dan menghasilkan harapan masyarakat untuk  bagi pembaruan hukum. Dalam  konsep Trias Politika lembaga MA adalah salah satu dari tiga pilar kekuasaan terpenting, di samping kekusaan eksekutif dan legislatif. Pasal 2 UU No 14 tahun 1985 juga menyatakan bahwa MA adalah Pengadilan Negara Tertinggi dari semua lingkungan peradilan yang dalam melaksanakan tugasnya terlepas dari pengaruh pemerintah dan pengaruh-pengaruh lainnya. Apabila peran tersebut tidak dimainkan dengan ketentuan hukum yang benar, sudah dapat dipastikan keadilan hukum dalam masyarakat tidak akan pernah terlaksana
Beratnya tugas MA dalam alam reformasi ini tentunya tak akan terpenuhi apabila hakim agung tetap berkelakuan buruk. Karena itu, di mata masyarakat tertanam anggapan pengadilan merupakan tempat berkumpulnya para mafia yang dengan gampang mempermainkan hukum dengan kaidah-kaidah tertentu. Hukum begitu mudah diselewengkan.
Urgensi di masa datang yang perlu  diperbaiki adalah budaya hukum, kemudian dalam jangka pendek, adalah penegakkan hukum dengan melakukan terobosan-terobosan yaitu, menyelesaikan perkara korupsi yang besar, agar masyarakat bisa melihat bahwa ada kesungguhan dari pemimpin. lemahnya penegakkan hukum diera reformasi saat ini justru banyak disebabkan berasal dari aparat (criminal justice system) yang seharusnya bekerja lebih tepat dan cepat.
Antara penegakkan hukum dan keadilan itu harus seiring sehingga apa yang diharapkan masyarakat adanya rasa keadilan juga bisa terwujud dari penerapan hukuman bagi siapa saja yang melanggar.
Sederhananya yang harus dilakukan agar hukum kita tidak diskriminatif adalah :
1.      Pembenahan terhadap materi hukum, pembenahan materi hukum ini di mulai dari arah kebijakan umum secara nasional kemana hukum akan dibawa. Kemudian proses pembuatan hukum yang harus melibatkan partisipasi  dan pengawasan masyarakat. Dan terakhir bahwa hukum juga harus selalu mengikuti perkembangan masyarakatnya.
2.      Pembenahan terhadap struktur hukumnya. Pembenahan ini dimulai dari pendidikan tinggi hukum yang berbasis pada moralitas dan keberpihakan pada nilai-nilai kedailan. Selanjutnya dilakukan pembinaan melalui evaluasi dan pengawasan terhadap kemungkinan penyelewengam dengan kuasa yudikatif. Paradigma aparat criminal justice system juga harus dipaksa berubah dengan melihat dinamika masyarakat yang berpegang pada akuntabilitas dan transparansi.
3.      Pembenahan budaya hukum masyarakat. Pembenahan di sektor ini di rasa paling sulit karena berkaitan dengan apa yang telah tertanam dan memerlukan waktu. Tapi harus tetap optimis bahwa masyarakat mampu untuk tidak terjebak dalam lingkaran diskriminasi dan manipulasi hukum.
 




5.      Kesimpulan
Melakukan pembenahan bidang hukum harus bertumpu pada tiga sektor pertama hukum harus dibenahi oleh materi hukumnya atau yang lebih di kenal adalah peraturan perundang-undanganya. Kedua hukum harus dibenahi melalui struktur parat penagak hukumnya hal ini akan membuat hukum menjadi berwibawa KKN terjadi bukan karena hukum yang jelek ataupun hukum yang baik akan tetapi lebih pada persoalan sumber daya manusianya
Ketiga membangun budaya hukum masyarakat agar melakukan partisipasi pengawasan terhadap uapaya penegakan hukum. Dan tidak mengikuti arus KKN yang terjadi di lembaga peradilan.



Daftar Bacaan

Soerjono Soekamto, Pokok-pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1988

Soetandyo Wignyo Soebroto, Hukum dan Moral Pemerintahan Yang Baik,  Justika Siar Publika, Jakarta, 2002

Hoebel Adamson, The Law of Primitive Man, Cambridge Harvard University Press, 1961

Harkristuti Harkrisnowo, Reformasi Hukum di Indonesia, Quo Vadis?, Justika Siar Publika, Jakarta, 2002

Hadjon , Philipus, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia, Edisi Khusus, Peradaban, 2007

------------------------, Argumentasi Hukum, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2005

Hutchinson, Terry, Researching and Writing in Law, Lawbook, Sydney, 2002

Ian Mccleod, Legal Method, Macmilan, London, 1993


Roucek joseph, Social Control, fourt printing, London, D. Van Nortstran Company, 1964


No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post