PERKAWINAN BEDA AGAMA DARI SUDUT PANDANG HUKUM DI INDONESIA
1.
Ketentuan Hukum Positif
Pemerintah Indonesia mengatur masalah
perkawinan bagi warga negaranya dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diberlakukan secara efektif pada tanggal 1
Oktober 1975 melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.9 Tahun 1975
tentang Pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan dalam
Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974,
pada Pasal 1 disebutkan bahwa: “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha
Esa.” Menurut Prakoso dan Murtika (1987: 3), Arti perkawinan yang dimaksud
dalam Pasal 1 adalah “ikatan lahir batin seorang pria dan wanita sebagai suami
isteri sedangkan tujuannya membentuk keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kemudian pada Pasal 2 disebutkan bahwa:
“1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya
dan kepercayaannya itu; 2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.” Menurut Ichtiyanto (2003:81-85), Asas Pasal 2
ayat (1) ini berlaku untuk semua pernikahan yang dilaksanakan di Indonesia
termasuk pernikahan antar agama. ia menambahkan bahwa maksud kata
“masing-masing” dalam UU perkawinan tertuju pada agama-agama yang dipeluk di
Indoneisa, bukan mengacu kepada masing-masing pengantin.
Penafsiran
Ichtiyanto terhadap kata “masing-masing” yang dimaksudkan tertuju pada
agama-agama yang dipeluk memberikan kesan bahwa apabila ada suatu agama yang
membolehkan pemeluknya melakukan perkawinan beda agama maka perkawinan yang
diselenggarakan menurut agama tersebut menjadikan perkawinan beda agama
tersebut berstatus sah.
Suatu
perkawinan yang sah merupakan prasyarat yang utama untuk membentuk sebuah
keluarga dan agar keturunan yang dihasilkan dari perkawinan tersebut
mendapatkan haknya sebagai warga negara. Menurut Asshiddiqie (2013:115), “Perkawinan
yang sah merupakan prasyarat untuk adanya hak membentuk keluarga dan
melanjutkan keturunan itu. Negara tidak menjamin hak untuk membentuk keluarga
dan mendapatkan keturunan tanpa terikat perkawinan yang sah”.
Sementara itu, pengertian Perkawinan
dalam Instruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam Pasal
2 adalah sebagai berikut: “Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan,
yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk mentaati
perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.” Akad yang kuat ini
disebutkan dalam surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi:
Artinya, Annisa : 21. bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, Padahal sebagian
kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan
mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu Perjanjian yang kuat.
Selanjutnya disebutkan pada pasal 3 dan
4 tentang tujuan dan sahnya perkawinan sebagai berikut: Pasal 3, Perkawinan
bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmah. Pasal 4, Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
Pada Kompilasi Hukum Islam tersebut
juga dapat dilihat mengenai larangan melangsungkan pernikahan antara seorang
pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu antara lain seorang wanita
yang tidak beragama Islam (Pasal 40) dan seorang wanita Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam (Pasal
44).
2.
Lembaga Pencatatan Perkawinan
Di Indonesia terdapat dua lembaga yang
mencatat perkawinan yaitu Kantor Urusan Agama (KUA), khusus untuk masyarakat
yang beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil (KCS), untuk masyarakat umum.
Indonesia dengan masyarakat yang
pluralistik sangat memungkinkan terjadi perkawinan antara dua pemeluk agama
yang berlainan. Ada tiga cara yang dapat ditempuh untuk melegalkan perkawinan
beda agama ini yaitu: 1) menikah di negara lain, ini biasa dilakukan oleh
mereka yang mempunyai kelimpahan materi; 2) salah satu pihak pindah agama
kemudian setelah menikah kembali memeluk agamanya yang terdahulu. Hal ini dapat
dikategorikan penyelundupan hukum dan sangat tidak disarankan; 3) menikah di
Kantor Catatan Sipil berdasarkan Putusan MA No. 1400K/Pdt/1986. (Sastra, 2011:
86-87)
Gautama (1996:289), menyebutkan bahwa
ada sejumlah tempat dimana Kantor Catatan Sipil (KCS) bisa mencatatkan
pernikahan beda agama. hal ini dapat dilihat pada beberapa penetapan berikut:
a.
Penetapan pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, Pdt/P/1990, 3 April 1990 antara Bambang Djatmiko Setiabudi,
pria Indonesia Islam dan Maliangkay Sharon dari perempuan Kristen, didasarkan
atas Putusan Mahkamah Agung No. 1400K/Pdt/1986.
b.
Penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Timur No. 151/Pdt/P/1988 antara Cornelis Hendrik, laki-laki Indonesia
beragama Budha dengan Siti Nuraini Isa, perempuan Indonesia beragama Islam.
Berdasarkan pasal 66 UU No. 1 Tahun 1974. Hakim telah menggunakan materi aturan
dari Regeling op de Gemengde Huweijken (GHR), aturan tentang perkawinan
campur zaman pendudukan Belanda, 1989 No. 158 mengingat dalam UU 1974 No.1
tidak mengatur pernikahan beda agama secara devintif.
c.
Penetapan Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat No. 456/Pdt/P/1988/PN tanggal 29 Juni 1988, antara Geri Lumempow
seorang laki-laki Indonesia Kristen dengan Gina Lasiarti seorang wanita Islam
dengan alasan bahwa sesuai pasal 29 UUD 1945. Sesungguhnya tidak ada paksaan
bagi warga Indonesia untuk memeluk suatu agama tertentu, demikian pula tidak
ada paksaan atau desakan agama yang satu terhadap yang lain yang menyebabkan
seseorang untuk pindah agama. sesuai dengan Rakernas Mahkamah Agung dengan
Ketua Pengadilan Tinggi seluruh Indonesia tahun 1986, No. 102, menurut pasal 2
ayat 2 PP No. 9/1975, pencatatan mereka yang melangsungkan pernikahan menurut
agama dan kepercayaan selain Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatatan Kantor
Pencatatan Sipil. Kalau pegawai Kantor Catatan Sipil menolak, pengadilan
berwenang memerintahkan mereka untuk mencatat pernikahan tersebut.
3.
Aspek Yang Perlu Diperhatikan
Dalam Perkawinan Beda Agama
Sastra (2011:54-84), memaparkan bahwa
Pernikahan beda agama memiliki beberapa aspek yang perlu diperhatikan antara
lain:
a)
Aspek Psikologis
Problem yang muncul pada pasangan beda
agama, yang pada akhirnya berimbas kepada anak-anak mereka antara lain: a)
memudarnya kehidupan rumah tangga, pada saat usia lanjut kebahagiaan yang
dicari bersifat psikologis-spiritual yang sumbernya dari keharmonisan keluarga
yang diikat oleh iman dan tradisi agama; b) tujuan rumah tangga tidak tercapai,
hal ini dikarenakan suasana keberagamaan dalam keluarga beda agama sulit diwujudkan;
c) perkawinan mempertemukan dua keluarga besar; d) berebut pengaruh, dampak
psikologis orang tua beda agama akan sangat dirasakan oleh anak-anaknya. Orang tua
biasanya berebut pengaruh agar anaknya mengikuti agama yang mereka yakini yang
kemudian menimbulkan kebingungan pada anak.
b)
Aspek Religius
Aspek religius ini menyangkut beberapat
hal antara lain: a) pandangan agama Islam, yang pada prinsipnya tidak
memperkenankan pernikahan beda agama; b) pandangan agama Khatolik, pernikahan
katholik dan bukan khatolik bukan merupakan perkawinan yang ideal sehingga
menganjurkan penganutnya kawin dengan orang yang beragama katholik; c)
Pandangan agama Protestan, pada prinsipnya menghendaki penganutnya kawin dengan
orang yang seagama karena tujuan utama perkawinan untuk mencapai kebahagiaan
sehingga akan sulit tercapai kalau suami istri tidak seiman. Namun pada
prakteknya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) menerima dan dapat melaksanakan
pernikahan beda agama dengan syarat sesuai Tata Laksana GKI Pasal 29:9b; d)
pandangan agama hindu, perkawinan beda agama tidak boleh dan pendande/pendeta
akan menolak untuk mengesahkan perkawinan tersebut; e) pandangan agama Budha,
membolehkan pernikahan beda agama dengan ketentuan dijalankan menurut agama
Budha.
c)
Aspek Yuridis
Hukum perkawinan di berbagai negara
tidaklah sama antara negara satu dengan yang negara yang lain. Pada dasarnya
pernikahan antar agama merupakan sesuatu yang tidak diperbolehkan terutama pada
negara yang menggunakan agama sebagai asas moral dalam pemerintahannya, namun
hal ini kemudian mengalami pergeseran seperti reformasi hukum di Barat yang
menggeser hukum Tuhan/ hukum agama ke hukum manusia. Disini perkawinan
diartikan sebagai kontrak antara dua pihak berdasarkan kehendak keduanya.
No comments:
Post a Comment