Monday, 9 November 2015

PENEGAKAN SUPERMASI HUKUM


PENEGAKAN SUPERMASI HUKUM

Rahmat Rizal Santoso

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang
Dewasa ini, proses penegakan hukum adalah suatu diskurus dalam masyarakat sebagai topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai komentar dan pendapat dari beberapa kalangan dan lapisan masyarakat baik yang berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan masyarakat selalu menghiasi media massa yang ada di negeri ini.
Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan dengan proses penegakan hukum tersebut adalah buruknya kinerja sistem dan pelayanan peradilan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum, yang disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik hakim, pengacara, maupun masyarakat pencari keadilan,  selain tentunya disebabkan karena adanya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses beracara di lembaga peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme masyarakat untuk tetap menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan, sehingga yang terjadi adalah main hakim sendiri.
Sebagai suatu sistem, kinerja peradilan sekarang ini berada pada titik nadir yang sangat ekstrim. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut untuk selanjutnya melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya suatu sistem peradilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Sistem peradilan terpadu, akhir-akhir ini memang telah mejadi wacana yang cukup hangat di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satu sebabnya adalah diakibatkan oleh kesadaran publik yang semakin baik tentang peradilan, kemudian menjadikan suatu pemahaman yang lebih dalam bahwa proses peradilan dari awal sampai akhir merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Hal tersebut sebagaimana juga diutarakan dalam salah satu teori tentang peradilan terpadu itu sendiri, yaitu “…the collective institutions through which in accused offender passes until the accusations have been dispossed of or the assessed  punishment concluded…”. Dalam hal ini dapatlah dinyatakan bahwa kesatuan dalam pelaksanaan sistem adalah bagian terbaik untuk mendapatkan hasil yang optimal bagi kepentingan semua unsur yang terkait dengan sistem.
Namun dalam hal ini, sistem peradilan pidana terpadu bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub sistem untuk mencapai satu tujuan. Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan Pillai  “ …the concept of an Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working as one unit or department or as different section on one unified service. Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’ somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own personnel, and its own operational method”.
Berkaitan dengan sistem peradilan terpadu tersebut, dalam hukum acara pidana sebenarnya telah lama menjadi suatu wacana yang sangat penting dan perlu terus dielaborasi untuk mendapatkan suatu kondisi yang ideal. Muladi menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana, pemberantasan kejahatan, dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Bertolak dari keadaan itu, maka sangatlah diperlukan suatu konsep atau teori yang menjabarkan tentang keterpaduan sistem peradilan tersebut. Penulis merasa perlu menitikkan konsentrasi lebih dalam memahami dan mencermati kronologis dinamika penegakan hukum yang selama ini terjadi, dimana kasuistik Mafia hukum dan rutinitas korupsi terus menggelayuti kehidupan Indonesia sampai masuk pada fase yang sangat akut untuk selanjutnya dijadikan sebagai landasan dalam dunia hukum kita pada saat berpraktek dalam proses peradilan, baik secara administrasi ataupun dalam hal manajemennya.

  1. Rumusan Masalah
Untuk perumusan masalah dalam makalah ini akan mengacu kepada beberapa pokok yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu:
1. Apakah Sinkronisasi dalam Sistem Peradilan Pidana telah teralisir dengan baik dan seperti yang diharapkan oleh masyarakat?
2. Bagaimana pelaksanaan Sinkronisasi di bidang Struktural yang memiliki sub-sub sistem didalam antar lembaga?
3.   Bagaimana realitas Mafia hukum dan korupsi bisa tumbuh kembang dengan subur di Indonesia?
4.   Apa faktor  terjadinya inkonsistensi penegakan hukum di Indonesia?
5.   Bagaimana solusi analitif dalam upaya penanggulangan kasuistik Mafia Hukum dan bahaya laten korupsi? 

BAB II
PEMBAHASAN

  1. Historisitas Sistem Peradilan Pidana
Pada dasarnya Sistem Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di Amerika Serikat oleh pakar hukum pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science. Menurut Mardjono Reksodiputro maka Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.[1]
Ditinjau dari dimensinya maka Frank Hagan (1987) membedakan antara Criminal Justice System dengan Criminal Justice Process.[2]. Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah: “ ...is the system by which society, fist determinies what will constitue a crime and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes those who violated the criminal law”.  Sedangkan Criminal Justice Process diartikan sebagai: “the series of procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and punishes offender”.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan gradual kedua pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan substantive law sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan penerapan dari Substantive law.
Sedangkan menurut Allan  Coffey, ada perbedaan antara “sistem” dengan “proses” dimana dikatakan bahwa, “The process of the system refers to many activities of police, attorneys, judges, probahation and a role and prison staff. Process therefore is the most visible part of the system.”[3]).
Pada dasarnya di Amerika Serikat tempat lahirnya Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) seperti dikemukakan oleh Prof Neil C. Chamelin, Phd. terdiri dari Polisi, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan dengan tujuan menanggulangi kejahatan yang timbul dalam tata kehidupan masyarakat pada tingkat pemerintahan lokal dimana ditentukan dengan redaksional: “Basically the American Criminal Justice System is composed of Police, Courts, and Corrections in local, state, and federal levels. These criminal justice components functions separetely and together with majority of activities occuring at the local level of government (city and country).
  1. Sinkronisasi Dalam Sistem Peradilan Pidana
Hukum di Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana, berbasis pada hukum Eropa kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie). Hukum Agama, karena sebagian besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at Islam lebih banyak, terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan. Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah untuk menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang merefleksikan nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum. Cita-cita tersebut terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum dan bukan berdasarkan kepada kekuasaan belaka. Terciptanya hukum yang baik dan terpadu tentu tidak akan dapat tercapai dengan begitu saja, harus dibutuhkan suatu sistem hukum yang memang dapat menjawab dan menjadi alat untuk mencapai cita-cita bangsa tersebut.
Di dalam peradilan pidana sendiri, sudah dikenal dan mulai terlaksananya sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana Terpadu. Sebuah sistem dalam peradian pidana yang menjadi acuan demi terlaksananya suatu peradilan yang memang adil dan seperti yang diharapkan oleh masyarakat luas.
Didalam sistem peradilan pidana, tolok ukur tingkat perkembangan dan terjalankan suatu tugas dengan baik adalah adanya dukungan dan sinkronisasi dengan lembaga atau pihak yang lainnya. Untuk sinkronisasi dalam sistem peradilan pidana sendiri, harus disinkronkan dengan 3 (tiga) sinkronisasi, yaitu sinkronisasi substansi, struktural, dan kultural.
a. Sinkronisasi Dalam Bidang Subtansi
Sinkronisasi dalam bidang Substansi adalah sinkronisasi yang harus berjalan dalam bidang Undang – undang. Pemerintah yang memang benar-benar pro rakyat atau mementingkan kepentingan dari rakyat tidak akan membuat sebuah peraturan atau perundang – undangan apabila masyarakat sendiri tidak membutuhkan atau tidak memiliki dampak yang cukup berarti ditengah-tengah masyarakat.
Di negara Indonesia sendiri terdapat suatu asas yang mengatur mengenai berlakunya suatu Undang-Undang yang mengatur setiap individu dari setiap warga negara Indonesia. Yang berarti apabila suatu Undang-Undang diciptakan atau dibuat oleh pemerintah, otomatis seluruh warga Negara Indonesia harus mentaati dan melaksanakan Undang-undang tersebut karena sifatnya yang memang mengikat setiap warga negara Indonesia.
Pembuatan Undang-undang yang memang harus sinkron dengan kebutuhan dari masyarakat memang saat ini belum benar-benar terlaksana dengan baik. Meskipun ada beberapa peraturan atau perundan-undangan yang memang diciptakan oleh pemerintah dikarenakan adanya suatu tindak pidana yang terjadi dan belum ada undang-undang yang mengatur mengenai tindak pidana tersebut.
Contohnya adalah Undang-undang terorisme yang dibuat dan diatur dengan Undang-Undang sendiri karena dirasa bahwa aturan yang telah ada di dalam KUHP belum mengatur secara jelas dan juga belum memberikan efek dan dampak yang berarti terhadap pelaku.
Pertanyaan yang timbul adalah, apakah ketika pemerintah dalam membuat Undang-undang yang ada di Indonesia benar-benar memihak dan melihat mengenai keadaan dari masyarakat itu sendiri? Hal ini terlihat jelas dalam pembuatan salah satu undang-undang, yaitu undang-undang dalam perburuhan. Dalam undang-undang ini jelas sekali terlihat bahwa undang-undang yang dibuat memihak terhadap para pengusaha atau pemilik pabrik itu sendiri. Hal inilah yang harus di lihat dan diperbaiki. Karena apabila hal ini tetap terjadi, maka bisa dipastikan tidak akan terjalin suatu kerjasama dan sinkronisasi yang baik antara sub-sub sistem dalam sistem peradilan pidana.
Bukan sebagai obat atau penawar yang bisa memberikan keadilan kepada masyarakat, malah membuat masyarakat yang menjalankan undang-undang semakin tidak mendapatkan rasa keadilan. Hal ini dapat berdampak terhadap semakin menipisnya kepercayaan masyarakat terhadap para pemerintah pembuat undang tersebut.
Selain harus sinkron dengan sub sistem yang berada didalam sinkronisisasi bidang substansi, sub sistem ini juga harus tetap sinkron dengan sub sistem yang lainnya, yaitu sub sistem sturktural.
b. Sinkronisasi Dalam Bidang Struktural
Bidang struktural sebagai sub sistem peradilan pidana ini memiliki sub-sub sistem berikutnya. Hal ini yang mengharuskan sistem ini harus benar-benar tersinkronsasi dengan sub sistem dalam sistem peradilan pidana dan sub sistem dalam bidang struktural itu sendiri juga. Sub sistem dalam bidang struktural ini adalah sub sistem yang menjadi pelaku atau penindak untuk menciptakan suatu keadilan.
Dalam bidang struktural ini terdapat beberapa sub lagi yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan). Sub sistem dalam bidang struktural inilah yang menjadi alat dan pelaksana terhadap setiap pelanggaran atas peraturan dan tindakan yang menyalahi undang – undang yang berlaku.
Oleh karena itu, antara Sinkronisasi dalam bidang Substansi dengan Sinkronisasi harus benar-benar terjalin dengan baik. Sehingga apabila sebuah peraturan yang telah diciptakan oleh pemerintah harusnya bersinergi dengan apa yang harus dilakukan oleh para penegak hukum yang berada dalam sub sistem bidang struktural.
Namun sering sekali yang terjadi didalam pelaksanaan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan atau yang menyalahi aturan perundang-undangan dalam bidang struktural ini tidak mengacu terhadap undang-undang yang berlaku. Malah kadang apa yang dilaksanakan dengan apa yang diatur dalam undang-undang tidak sebagaimana mestinya. Bahkan juga kadang terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tidak sinkronnya undang-undang yang berlaku dengan aparat penegak hukum yang ingin menciptakan suatu keadilan di dalam masyarakat.
Salah satu contoh mengenai ketidak sinkronan antara peraturan atau undang -undang yang berlaku dengan apa yang dilaksanakan oleh para penegak hukum adalah tidak terlaksananya KUHAP secara benar di dalam aparat penegak hukum atau dalam bidang struktural. Hal ini terlihat dari beberapa kejadian dimana pihak Kepolisian dalam melakukan pemeriksaan atau penangkapan terhadap tersangka atau pelaku kejahatan, selalu menggunakan unsur kekerasan dan bahkan tidak memenuhi standart atau tidak mengikuti proses sebagaimana mestinya yang diatur dalam KUHAP.
Misalnya saja adanya penarikan uang pada saat melakukan penangkapan terhadap pelaku-pelaku kejahatan kecil-kecilan, yang hal ini digunakan agar pelaku tidak perlu ditangkap dan membebaskan pelaku pada saat itu pula. Bukannya keadilan yang tercapai, malah hal ini dapat menimbulkan semakin giatnya pelaku yang memberikan uang tersebut untuk melakukan suatu kejahatan, dikarenakan pelaku kejahatan tersebut merasa bahwa hanya dengan membayar beberapa rupiah maka pelaku kejahatan ini akan terbebas dari segala kejahatan yang telah dilakukannya.
c. Sinkronisasi Dalam Bidang Kultural
Salah satu sub sistem yang tidak bisa terpisahkan dan sangat penting adalah sub sistem dalam bidang kultural. Didalam sub sistem inilah dapat dilihat apakah setiap keadilan tersebut dapat tercapai atau tidak. Sinkronisasi dalam bidang struktural adalah sebuah sinkronisasi yang memang harus ber azas kan masyarakat. Karena sinkronisasi dalm bidang struktural ini adalah sinkronisasi mengenai kultur atau budaya yang ada didalam masyarakat.
Dimana kita ketahui bersama, bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Masyarakat yang terdiri dari berbagai macam suku, ras dan warna kulit. Selain itu didalam masyarakat sendiri sebagian besar memiliki aturan atau hukum adat masing-masing, yang memang hal ini juga diakui oleh Undang-undang mengenai berlakunya ditengah-tengah masyarakat.
Hal inilah yang mengakibatkan meskipun undang-undang yang diciptakan sedemikian rupa dan begitu baiknya dan juga meskipun sedemikian rupa kuatnya dan adilnya penegak hukum menurut pemerintah, namun apabila tidak sinkron dengan budaya dan adat yang ada dalam masyarakat maka semuanya itu hanya akan sia-sia. Karena tidak akan ada undang-undang yang menyalahi mengenai adat yang ada dalam masyarakat.
Dalam prakteknya, hal ini juga belum tercapai sebagaimana yang seharusnya. Dapat kita lihat dalam pembuatan salah satu undang-undang yang telah disahkan oleh pemerintah, yaitu Undang-undang tentang Pornografi dan Pornoaksi. Jelas sekali dalam Undang-undang ini mengatur mengenai tata cara berpakaian dan bahkan dalam berinteraksi. Padahal kita tahu sendiri bahwa di negara Indonesia kita yang tercinta ini terdapat berbagai macam suku yang memiliki pakaian adat yang memang agak terbuka dan bahkan sangat vulgar yaitu di daerah Papua. Apakah dengan adanya Undang-undang ini maka masyarakat Indonesia tidak akan pernah dan bahkan dilarang untuk menggunakan pakaian adat dari masing-masing daerahnya. Maka ada baiknya dilakukan survey dan telaah lebih lanjut mengenai pembuatan sebuah Undang-undang agar teripta sebuah sinkronisasi yang baik dalam sub sistem peradilan pidana.

B. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi

Selama perjalanan reformasi sejak digulirkan lebih dari satu dasawarsa yang lalu, harapan rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik ternyata tidak lekas kunjung datang menjadi kenyataan. Semangat reformasi harus berjuang dengan kekuatan pragmatisme politik demi meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dengan kondisi seperti ini, maka clean and good governance yang semestinya harus dibangun pemerintah saat ini setelah otoritarianisme Orde Baru, tinggal menjadi kenangan yang boleh jadi adanya anggapan utopis masyarakat tentang perbaikan system dan transparansi hukum tidak bisa dipersalahkan.

Padahal, sejak awal dibentuknya negeri ini, salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia yang dibangun para pendiri bangsa (founding fathers) adalah mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana barometer nyatanya adalah terciptanya law environcement (penegakkan supremasi hukum) yang kuat dan tidak memihak.

Meski menjadi agenda prioritas yang mesti diwujudkan dalam 100 hari pemerintahan SBY-Budiono, proses penegakkan hukum tampak masih sebagai dongeng di siang bolong di negeri ini. Bagaimana tidak, pemberitaan media mulai dari Skandal Bank Century, kasus korupsi dan suap Anggoro-Anggodo Widjoyo, geger lapas elit ala Artalyta Suryani dan Ayin, sampai pada tragedi kasus nenek Minah, Lanjar Sriyanto atau kasus lainnya yang menimpa masyarakat kecil lainnya, menjadi dua ironi yang tampil dalam dua paradoks yang bertolak belakang. Hukum pun seolah bermata dua, menghunjam tajam bagi masyarakat bawah bahkan mengoyak nurani di satu sisi. Tetapi di sisi yang lain, hukum seolah begitu tumpulnya manakala dihadapkan pada kalangan the have yang bebas “membeli” segalanya.

Fenomena berbagai kasus di atas jika dirunut maka akan bermuara pada bercokolnya praktek korupsi yang menyentuh berbagai lapisan masyarakat Indonesia. Perkembangan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) pun menjadi bahaya laten yang bisa menumbuhkan multikrisis, kesenjangan sosial bahkan dapat berkembang menjadi kejahatan terhadap keamanan negara, pelanggaran HAM, gerakan teroris, separatis bahkan pemicu chaos yang mengancam keutuhan bangsa dan negara. Selain meresahkan masyarakat, kasus-kasus tersebut tentunya akan semakin menghambat jalannya demokrasi yang telah kita ciptakan.Buku yang berjudul “Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, Perspektif Tegaknya Keadilan Melawan Mafia Hukum” yang ditulis oleh IGM Nurdjanaini, berusaha mengurai usaha yang dapat dilakukan dalam memberangus maraknya mafia hukum sekaligus menyajikan berbagai solusi alternatif demi eksistensi dan masa depan tegaknya hukum di Indonesia. Meski bukan pekerjaan yang mudah, bagaimanapun juga, perjuangan menegakkan hukum merupakan salah satu pilar untuk menciptakan lingkungan yang bersih dari praktek korupsi. Sayang, kumandang penegakkan hukum yang digembor-gemborkan, ternyata hingga saat ini masih sebatas retorika dan utopia semata.

Banyaknya oknum penegak hukum yang disinyalir melakukan “jual beli” perkara, suap dan maupun praktek transaksional lainnya, lambat-laun mengakibatkan adanya public-distrust. Dan hancurnya martabat peradilan (countempt of court), mengakibatkan kekerasan spiral (spiral of violence). Pembangunan hukum yang belum mencapai puncaknya ini menjadi karut-marut dan tak terkendali titik klimaksnya.

Alhasil, kebobrokan di Indonesia semakin meluas dan sulit untuk ditanggulangi. Atau dengan kata lain-meminjam istilah Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara; Gurun Besar Kriminologi Universitas Indonesia-hukum di Indonesia telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi hukum bisa diperalat sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime).

Jika membicarakan masalah hukum di Indonesia, memang terdapat berbagai penghambat serta kepincangan-kepincangan di dalamnya. Hal ini terbukti dengan prilaku dan pelaku hukum itu sendiri yang tidak, menjalankan tugasnya secara optimal dan profesional. Kenyataan ini tentunya harus dengan segera dibenahi dan dkritik habis-habisan. Hal ini penting, sebab
bagaimanapun juga, para penegak hukum adalah ujung tombak sekaligus teladan dalam pelaksanaan hukum itu sendiri.

C. Realitas Kekinian Seputar Dinamika Penegakan Hukum
Bagi mereka yang mengantongi banyak rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Bagi mereka yang miskin, hukum seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus-kasus besar pelanggaran hukum di Tanah Air akhir-akhir ini sungguh merisaukan dan mengusik rasa keadilan bagi siapa saja yang waras. Kasus Century, bobroknya perlakuan sistem rumah tahanan, makelar kasus (markus), suap-menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politis menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan hukum di Indonesia. Dari sekian banyak . kasus itu, mencuat kasus-kasus korupsi yang sering melatar-belakanginya.
Padahal kita semua tahu, hukum adalah salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju peradaban kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang sendiri, egois, dan individualis, jika tidak ada hukum yang mengaturnya, akan melahirkan penindasan dan perbudakan modern di tengah masyarakat. Untuk itulah negara kita menciptakan undang-undang.
Tapi sayangnya, undang-undang yang dipakai sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor-koruptor di lembaga pemerintah. Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu asyiknya melenggang menertavvai negeri yang banyak dihuni oleh orang-orang miskin ini.
Tercatat, negara ini menempati peringkat kedua-dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam di tingkat dunia. Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial di lembaga hukum kita. Persoalan itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para mafia hukum dan mafioso koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo hari.
Dr. Drs. IGM Nurdjana SH, M Hum menjelaskan, lemahnya integritas penegakan hukum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang-undangan pidana potensi korupsi.
Kedua, secara struktur hukum atau kelembagaan terdapat over lapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensiasi fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas negatif antara Polri/ Tipikor, Jaksa/Tipidus, dan KPK serta dilema terbentuknya hakim ad hoc.
Terakhir, terjadinya kesenjangan dan keterbatasan anggaran sarana prasarana, sehingga secara kultural hukum menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para mafioso koruptor berteriak kegirangan.
Mereka berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim tipikor banyak yang hasil akhirnya bebas.
Selama ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan diri. Belum pernah tersiar kabar seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati.
Karena itu wajar bila korupsi terus meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat koruptor jera. Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman karena dengan banyak uang, penjara dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang.
Itulah gambaran penegakan hukum di negeri ini. Padahal telah jelas, unsur-unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum, menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, merugikan negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, dan dilakukan oleh pejabat publik atau penyelenggara negara maupun masyarakat.
D. Dibalik Maraknya Kasus Bebas Para Koruptor Biadab
Data pemantauan ICW pada tahun  2009 menunjukkan bahwa ada yang tidak beres dalam proses peradilan kasus korupsi.
Sebanyak 100 hakim yang tersebar di berbagai daerah dan tingkat pengadilan yang berbeda telah memberikan vonis bebas bagi para terdakwa korupsi. Lebih dari itu, 6 hakim lainnya telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi pencuri uang negara. Sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 dan UU 20/2001) mengingat peraturan tidak pernah memberikan pilihan atas hukuman percobaan bagi koruptor. Selain jumlah hakim, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas/lepas oleh pengadilan.
Hanya 154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis bersalah. Meski diputuskan bersalah, anehnya, bobot vonisnya dapat dikatakan belum memberikan efek jera bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis di bawah 1 tahun penjara sebanyak 82 terdakwa (21,69%), 1–2 tahun 23 terdakwa (6,08%), 2–5 tahun 26 terdakwa (6,88%) dan 5–10 tahun 6 terdakwa (1,59). Hanya ada 1 terdakwa yang divonis di atas 10 tahun (0,26%). Acap kali independensi hakim menjadi sebuah dasar bagi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika keadilan sekaligus melukai perasaan keadilan masyarakat.
Bila kita mencurigai ada praktik jual-beli perkara di balik penanganan perkara korupsi, terlebih vonis ‘menyimpang’  oleh hakim terhadap terdakwa korupsi, tentu kecurigaan ini tidak boleh disalahkan, apalagi jika secara faktual kenyataannya berbagai penanganan perkara ini sangat anomalis dari proses hukum yang benar, akan tetapi belum tentu juga seluruh kecurigaan itu semuanya benar sebab dalam beberapa hal, faktor kecakapan dan pengetahuan hakim dalam memahami persoalan korupsi juga bisa menjadi kendala bagi lahirnya sebuah putusan yang berkualitas dan berkeadilan.
Jika  rendahnya pemahaman hakim dipadukan dengan rendahnya moral dan  komitmen mereka dalam memberantas korupsi, maka sangat mungkin vonis-vonis bebas bagi koruptor akan terus lahir dan akan melukai perasaan keadilan masyarakat.
Demikian pula hakim secara objektif memang tidak dapat sepenuhnya disalahkan jika memutuskan vonis bebas. Ada kalanya, kenakalan dalam menangani perkara sudah dimulai sejak di tingkat penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan aparat penegak hukum lainnya.bahkan tidak jarang juga dengan para lawyer, Artinya, ada celah lain yang bisa menciptakan vonis bebas di luar otoritas kekuasaan pengadilan. Dalam beberapa hasil eksaminasi publik yang dilakukan ICW terhadap putusan kasus korupsi, lemahnya dakwaan jaksa atau bahkan dengan sengaja tidak digunakannya alat bukti yang kuat untuk menuntut (meskipun tersedia)  pada persidangan kasus korupsi menjadi salah satu pemicu bebasnya koruptor.




























BAB III
PENUTUP
  1. Ikhtisar
Untuk lebih terciptanya suatu cita-cita luhur bangsa, yaitu tercapainya keadilan diberbagai bidang, maka diperlukan suatu sinkronisasi yang benar-benar terjalin dan berjalan dengan sebagaimana semestinya. Penindakan terhadap pelaku kejahatan yang memang membutuhkan suatu keadilan juga harus dapat dilakukan.
Bangsa Indonesia yang memang bangsa yang besar ini sering sekali hanya terlihat baik didalam teori, namun buruk sewaktu melakukan praktek dilapangan. Hal inilah yang mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan dan tidak tercapainya keadilan.
Sistem Peradilan Pidana Terpadu memang memiliki teori dan berbagai macam hal praktis yang dapat dilakukan untuk menciptakan suatu keadilan. Namun tanpa adanya dukungan dari masyarakat dan sinkronisasi antara sub sistem peradilan pidana, bahkan antar lembaga penegak hukum, maka niscaya peradilan yang memang benar-benar adil sebagaimana yang diidam-idamkan oleh masyarakat Indonesia tidak akan pernah tercapai.

  1. Rekomendasi Analitis-Solutif
Keterpaduan dari sistem hukum selayaknya dilakukan secara simultan, integral, dan paralel, yaitu: syatemic approach, ini dapat dijadikan bahan untuk memecahkan persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution) maupun pendapat hukum (legal opinio), termasuk permasalahan korupsi.
Lemahnya integritas penegakan hukum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada peraturan perundang-undangan pidana potensi korupsi. Karena itu, dibutuhkan adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan hukum di negeri ini memiliki integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Tak kalah pentingnya mengedepankan komitmen dan fakta integritas moral yang tinggi antarlembaga antikorupsi atau polisi tipikor, jaksa tipidsus, hakim ad-hoc dan KPK serta penerapan sistem hukum pidana dengan melakukan action plan prioritas agenda penegakan tipikor yang nyata. Semua itu dimaksudkan supaya tersedia sumber daya manusia (SDM) pada lembaga penegak hukum tipikor yang memadai, memiliki kemampuan dan profesionalisme yang berkualitas dan berkompetensi di bidang penegakan hukum tipikor.
Dengan demikian, seharusnya perlu diambil sebuah langkah yang mungkin tidak terlalu besar, tetapi memberikan dampak menyeluruh bagi kebiasaan lama yang cenderung koruptif. Meningkatkan dan memperketat kode etik yang mengandung nilai-nilai integritas, akuntabilitas, dan transparansi sebagai pejabat publik merupakan langkah mendesak yang harus diambil otoritas pengadilan. Pendeknya, dibutuhkan pelembagaan nilai-nilai antikorupsi yang kuat pada setiap tingkatan pengadilan sehingga memupuskan peluang bagi terjadinya makelar kasus oleh para hakim. Dengan nilai-nilai antikorupsi yang ketat, sanksi yang tegas dan pengawasan yang memadai, tingkah laku hakim akan bisa dikendalikan.
Oleh sebab itu, jika penegakkan hukum di Indonesia ingin berjalan dengan optimal, menurut para ahli hukum dunia, paling tidak ada beberapa aspek terpenting yang sangat mendasar dalam perjalanan penegakkan hukum. Pertama, aspek kultur masyarakat tempat dimana nilai-nilai hukum itu ditegakkan. Sebab hukum antara satu tempat dengan yang lain berbeda, karenanya hukum pun harus sesuai dengan kultur atau budaya masyarakatnya.
Kedua, pembenahan struktur dari penegakkan hukum dengan cara memberdayakan seluruh potensi penegak hukum (PPNS, Polri, Jaksa, Hakim, Advokat, Lembaga Pemasyaraatan), lembaga legislatif (DPR), lembaga esekutif dan yudikatif, yang secara langsung atau tidak, terkait dengan proses tegaknya keadilan hukum.
Ketiga adalah substansi hukum yang akan ditegakan. Baik menyangkut pembaharuan terhadap perangkat peraturan dan ketentuan normatif (legal reform), pola, maupun aspirasi masyarakat yang diformulasikan ke dalam sistem hukum yang ada.
Keempat, melalui pembangunan budaya penegakan hukum yang profesional dan proporsional dengan memberlakukan asas diferensiasi pidana korupsi.

Kelima, memberdayakan dan mengembangkan jaringan penegakan hukum tipikor dari pusat sampai daerah secara terpadu sebagai counterattack atas ancaman jaringan mafioso koruptor dengan gerakan mafia hukum.

Tak kalah pentingnya mengedepankan komitmen dan fakta integritas moral yang tinggi antarlembaga antikorupsi atau polisi tipikor, jaksa tipidsus, hakim ad hoc dan KPK serta penerapan sistem hukum pidana dengan melakukan action plan prioritas agenda penegakan tipikor yang nyata.

Semua itu dimaksudkan supaya tersedia sumber daya manusia (SDM) pada lembaga penegak hukum tipikor yang memadai, memiliki kemampuan dan profesionalisme yang berkualitas dan berkompetensi di bidang penegakan hukum tipikor.
















DAFTAR PUSTAKA
Arief, Barda Nawawi. Bunga Rampai Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1996
Mulyadi, Lilik. Hukum Acara Pidana (Tinjauan Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan Putusan Peradilan), Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002
Reksodipoetro, Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994 
Sholehuddin, M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana Ide dasar Double Track System & Implementasinya, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2003 
Muladi  dan  Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Bandung: PT. Alumni, 1984
Atmasasmita, Romli, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni, 1982
            S, Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Jakarta:CV Abardin, 1987
Sukanto,Soeryono, Faktor-faktor Yang Memperngaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1983
Nurdjana, Igm, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, Jakarta:Pustaka Pelajar Januari, 2010




[1] Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994, hlm. 84-85).
[2] Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung: PT Alumni, 1982, hlm. 70)
[3] Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: PT. Jambatan, 2004,  hlm. 1-2

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post