PENEGAKAN SUPERMASI HUKUM
Rahmat Rizal
Santoso
BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Dewasa ini, proses penegakan hukum adalah suatu diskurus
dalam masyarakat sebagai topik yang sangat hangat dibicarakan. Berbagai
komentar dan pendapat dari beberapa kalangan dan lapisan masyarakat baik yang
berbentuk pandangan ataupun penilaian dari berbagai kalangan masyarakat selalu
menghiasi media massa
yang ada di negeri ini.
Beberapa hal yang selalu menjadi topik utama sehubungan
dengan proses penegakan hukum tersebut adalah buruknya kinerja sistem dan
pelayanan peradilan yang dilakukan oleh para aparat penegak hukum, yang
disebabkan oleh karena kurangnya pengetahuan dan kemampuan, atau bahkan
kurangnya ketulusan dari mereka yang terlibat dalam sistem peradilan, baik
hakim, pengacara, maupun masyarakat pencari keadilan, selain tentunya
disebabkan karena adanya korupsi, kolusi dan nepotisme dalam proses beracara di
lembaga peradilan. Semua hal tersebut akhirnya melahirkan pesimisme masyarakat
untuk tetap menyelesaikan sengketa melalui lembaga peradilan, sehingga yang terjadi
adalah main hakim sendiri.
Sebagai suatu
sistem, kinerja peradilan sekarang ini berada pada titik nadir yang sangat
ekstrim. Berbagai keluhan baik dari masyarakat dan para pencari keadilan
seolah-olah sudah tidak dapat lagi menjadi media kontrol bagi lembaga tersebut
untuk selanjutnya melakukan berbagai perbaikan yang signifikan bagi terciptanya
suatu sistem peradilan yang ideal dan sesuai dengan harapan masyarakat.
Sistem
peradilan terpadu, akhir-akhir ini memang telah mejadi wacana yang cukup hangat
di kalangan akademisi dan praktisi hukum. Salah satu sebabnya adalah
diakibatkan oleh kesadaran publik yang semakin baik tentang peradilan, kemudian
menjadikan suatu pemahaman yang lebih dalam bahwa proses peradilan dari
awal sampai akhir merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.
Hal tersebut sebagaimana juga diutarakan dalam salah
satu teori tentang peradilan terpadu itu sendiri, yaitu “…the collective institutions through which in accused offender passes
until the accusations have been dispossed of or the assessed punishment
concluded…”. Dalam hal ini dapatlah dinyatakan bahwa kesatuan dalam
pelaksanaan sistem adalah bagian terbaik untuk mendapatkan hasil yang optimal
bagi kepentingan semua unsur yang terkait dengan sistem.
Namun dalam hal ini, sistem peradilan pidana terpadu
bukanlah suatu sistem yang bekerja dalam satu unit kerja atau bagian yang
menyatu secara harfiah melainkan adanya kombinasi yang serasi antar sub sistem
untuk mencapai satu tujuan. Hal keterpaduan, sebagaimana yang dinyatakan
Pillai “ …the concept of an
Integrated Criminal Justice System does not envisage the entire system working
as one unit or department or as different section on one unified service.
Rather, it might be said to work on the principle of ‘unity in diversity’
somewhat like that under which the armed forces function. Each of the three
main armed services own its distinctive roles, its training schemes, its own
personnel, and its own operational method”.
Berkaitan dengan sistem peradilan terpadu tersebut,
dalam hukum acara pidana sebenarnya telah lama menjadi suatu wacana yang sangat
penting dan perlu terus dielaborasi untuk mendapatkan suatu kondisi yang ideal.
Muladi menyatakan bahwa criminal justice
system memiliki tujuan untuk resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak
pidana, pemberantasan kejahatan, dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.
Bertolak dari keadaan itu, maka sangatlah diperlukan
suatu konsep atau teori yang menjabarkan tentang keterpaduan sistem peradilan
tersebut. Penulis merasa perlu menitikkan konsentrasi lebih dalam memahami dan
mencermati kronologis dinamika penegakan hukum yang selama ini terjadi, dimana
kasuistik Mafia hukum dan rutinitas
korupsi terus menggelayuti kehidupan Indonesia sampai masuk pada fase
yang sangat akut untuk selanjutnya dijadikan sebagai landasan dalam dunia hukum
kita pada saat berpraktek dalam proses peradilan, baik secara administrasi
ataupun dalam hal manajemennya.
- Rumusan Masalah
Untuk perumusan masalah dalam makalah ini akan mengacu
kepada beberapa pokok yang akan dibahas lebih lanjut, yaitu:
1. Apakah Sinkronisasi dalam Sistem Peradilan Pidana telah
teralisir dengan baik dan seperti yang diharapkan oleh masyarakat?
2. Bagaimana pelaksanaan Sinkronisasi di bidang
Struktural yang memiliki sub-sub sistem didalam antar lembaga?
3. Bagaimana
realitas Mafia hukum dan korupsi bisa tumbuh kembang dengan subur di Indonesia ?
4. Apa
faktor terjadinya inkonsistensi
penegakan hukum di Indonesia ?
5. Bagaimana
solusi analitif dalam upaya penanggulangan kasuistik Mafia Hukum dan bahaya
laten korupsi?
BAB
II
PEMBAHASAN
- Historisitas Sistem
Peradilan Pidana
Pada dasarnya Sistem
Peradilan Pidana dikemukakan pertama kali di Amerika Serikat oleh pakar hukum
pidana dan para ahli dalam Criminal Justice Science. Menurut Mardjono
Reksodiputro maka Sistem Peradilan Pidana merupakan sistem dalam suatu
masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.[1]
Ditinjau dari dimensinya maka Frank Hagan
(1987) membedakan antara Criminal Justice System dengan Criminal
Justice Process.[2].
Pada dasarnya, Criminal Justice System adalah: “ ...is the system by which society, fist determinies what will
constitue a crime and then identifies, accuses, tries, convicts, and punishes
those who violated the criminal law”. Sedangkan Criminal Justice
Process diartikan sebagai: “the
series of procedure by which society identifies, accuses, tries, convicts, and
punishes offender”.
Oleh karena itu, terdapat perbedaan gradual
kedua pengertian di atas yaitu Criminal Justice System merupakan substantive
law sedangkan Criminal Justice Process menunjuk pada pengamanan
penerapan dari Substantive law.
Sedangkan menurut Allan Coffey, ada
perbedaan antara “sistem” dengan “proses” dimana dikatakan bahwa, “The process of the system refers to many
activities of police, attorneys, judges, probahation and a role and prison
staff. Process therefore is the most visible part of the system.”[3]).
Pada dasarnya di
Amerika Serikat tempat lahirnya Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice
System) seperti dikemukakan oleh Prof Neil C. Chamelin, Phd. terdiri dari
Polisi, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan dengan tujuan menanggulangi
kejahatan yang timbul dalam tata kehidupan masyarakat pada tingkat pemerintahan
lokal dimana ditentukan dengan redaksional: “Basically the American Criminal
Justice System is composed of Police, Courts, and Corrections in local, state,
and federal levels. These criminal justice components functions separetely and
together with majority of activities occuring at the local level of government
(city and country).
- Sinkronisasi Dalam Sistem Peradilan
Pidana
Hukum di
Indonesia merupakan campuran dari sistem hukum hukum Eropa, hukum Agama
dan hukum Adat. Sebagian besar sistem yang dianut, baik perdata maupun pidana,
berbasis pada hukum Eropa
kontinental, khususnya dari Belanda karena aspek sejarah masa lalu Indonesia
yang merupakan wilayah jajahan dengan sebutan Hindia Belanda (Nederlandsch-Indie).
Hukum Agama, karena sebagian
besar masyarakat Indonesia menganut Islam, maka dominasi hukum atau Syari'at
Islam lebih banyak, terutama di bidang perkawinan, kekeluargaan dan warisan.
Selain itu, di Indonesia juga berlaku sistem hukum Adat yang diserap dalam perundang-undangan atau
yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat dari
masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Nusantara.
Salah satu cita-cita bangsa Indonesia adalah untuk
menyelenggarakan pemerintahan secara benar (Good Governance) yang merefleksikan
nilai-nilai demokrasi dan mengedepankan asas kepastian hukum. Cita-cita
tersebut terdapat dalam penjelasan UUD 1945 yang secara jelas memaparkan
pentingnya penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
Penjelasan UUD 1945 juga menyatakan bahwa bangsa Indonesia
dalam menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan kepada hukum dan bukan
berdasarkan kepada kekuasaan belaka. Terciptanya hukum yang baik dan terpadu
tentu tidak akan dapat tercapai dengan begitu saja, harus dibutuhkan suatu
sistem hukum yang memang dapat menjawab dan menjadi alat untuk mencapai
cita-cita bangsa tersebut.
Di dalam peradilan pidana sendiri, sudah dikenal dan
mulai terlaksananya sebuah sistem yang dikenal dengan Sistem Peradilan Pidana
Terpadu. Sebuah sistem dalam peradian pidana yang menjadi acuan demi
terlaksananya suatu peradilan yang memang adil dan seperti yang diharapkan oleh
masyarakat luas.
Didalam sistem peradilan pidana, tolok ukur tingkat perkembangan
dan terjalankan suatu tugas dengan baik adalah adanya dukungan dan sinkronisasi
dengan lembaga atau pihak yang lainnya. Untuk sinkronisasi dalam sistem
peradilan pidana sendiri, harus disinkronkan dengan 3 (tiga) sinkronisasi,
yaitu sinkronisasi substansi, struktural, dan kultural.
a. Sinkronisasi
Dalam Bidang Subtansi
Sinkronisasi dalam bidang Substansi adalah sinkronisasi yang harus
berjalan dalam bidang Undang – undang. Pemerintah yang memang benar-benar pro
rakyat atau mementingkan kepentingan dari rakyat tidak akan membuat sebuah
peraturan atau perundang – undangan apabila masyarakat sendiri tidak
membutuhkan atau tidak memiliki dampak yang cukup berarti ditengah-tengah
masyarakat.
Di negara Indonesia
sendiri terdapat suatu asas yang mengatur mengenai berlakunya suatu Undang-Undang
yang mengatur setiap individu dari setiap warga negara Indonesia . Yang berarti apabila
suatu Undang-Undang diciptakan atau dibuat oleh pemerintah, otomatis seluruh
warga Negara Indonesia harus
mentaati dan melaksanakan Undang-undang tersebut karena sifatnya yang memang
mengikat setiap warga negara Indonesia .
Pembuatan Undang-undang yang
memang harus sinkron dengan kebutuhan dari masyarakat memang saat ini belum
benar-benar terlaksana dengan baik. Meskipun ada beberapa peraturan atau
perundan-undangan yang memang diciptakan oleh pemerintah dikarenakan adanya
suatu tindak pidana yang terjadi dan belum ada undang-undang yang mengatur mengenai
tindak pidana tersebut.
Contohnya adalah Undang-undang
terorisme yang dibuat dan diatur dengan Undang-Undang sendiri karena dirasa
bahwa aturan yang telah ada di dalam KUHP belum mengatur secara jelas dan juga
belum memberikan efek dan dampak yang berarti terhadap pelaku.
Pertanyaan yang timbul adalah,
apakah ketika pemerintah dalam membuat Undang-undang yang ada di Indonesia
benar-benar memihak dan melihat mengenai keadaan dari masyarakat itu sendiri?
Hal ini terlihat jelas dalam pembuatan salah satu undang-undang, yaitu
undang-undang dalam perburuhan. Dalam undang-undang ini jelas sekali terlihat
bahwa undang-undang yang dibuat memihak terhadap para pengusaha atau pemilik
pabrik itu sendiri. Hal inilah yang harus di lihat dan diperbaiki. Karena
apabila hal ini tetap terjadi, maka bisa dipastikan tidak akan terjalin suatu
kerjasama dan sinkronisasi yang baik antara sub-sub sistem dalam sistem
peradilan pidana.
Bukan sebagai obat atau
penawar yang bisa memberikan keadilan kepada masyarakat, malah membuat
masyarakat yang menjalankan undang-undang semakin tidak mendapatkan rasa
keadilan. Hal ini dapat berdampak terhadap semakin menipisnya kepercayaan
masyarakat terhadap para pemerintah pembuat undang tersebut.
Selain harus sinkron dengan
sub sistem yang berada didalam sinkronisisasi bidang substansi, sub sistem ini
juga harus tetap sinkron dengan sub sistem yang lainnya, yaitu sub sistem
sturktural.
b. Sinkronisasi Dalam Bidang Struktural
Bidang struktural sebagai sub
sistem peradilan pidana ini memiliki sub-sub sistem berikutnya. Hal ini yang
mengharuskan sistem ini harus benar-benar tersinkronsasi dengan sub sistem
dalam sistem peradilan pidana dan sub sistem dalam bidang struktural itu
sendiri juga. Sub sistem dalam bidang struktural ini adalah sub sistem yang
menjadi pelaku atau penindak untuk menciptakan suatu keadilan.
Dalam bidang struktural ini
terdapat beberapa sub lagi yaitu, Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, dan
Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan). Sub sistem dalam bidang struktural
inilah yang menjadi alat dan pelaksana terhadap setiap pelanggaran atas
peraturan dan tindakan yang menyalahi undang – undang yang berlaku.
Oleh karena itu, antara
Sinkronisasi dalam bidang Substansi dengan Sinkronisasi harus benar-benar
terjalin dengan baik. Sehingga apabila sebuah peraturan yang telah diciptakan
oleh pemerintah harusnya bersinergi dengan apa yang harus dilakukan oleh para
penegak hukum yang berada dalam sub sistem bidang struktural.
Namun sering sekali yang
terjadi didalam pelaksanaan dan penindakan terhadap pelaku kejahatan atau yang
menyalahi aturan perundang-undangan dalam bidang struktural ini tidak mengacu
terhadap undang-undang yang berlaku. Malah kadang apa yang dilaksanakan dengan
apa yang diatur dalam undang-undang tidak sebagaimana mestinya. Bahkan juga
kadang terjadi hal yang sebaliknya, yaitu tidak sinkronnya undang-undang yang
berlaku dengan aparat penegak hukum yang ingin menciptakan suatu keadilan di
dalam masyarakat.
Salah satu contoh mengenai
ketidak sinkronan antara peraturan atau undang -undang yang berlaku dengan apa
yang dilaksanakan oleh para penegak hukum adalah tidak terlaksananya KUHAP
secara benar di dalam aparat penegak hukum atau dalam bidang struktural. Hal
ini terlihat dari beberapa kejadian dimana pihak Kepolisian dalam melakukan
pemeriksaan atau penangkapan terhadap tersangka atau pelaku kejahatan, selalu
menggunakan unsur kekerasan dan bahkan tidak memenuhi standart atau tidak
mengikuti proses sebagaimana mestinya yang diatur dalam KUHAP.
Misalnya saja adanya penarikan
uang pada saat melakukan penangkapan terhadap pelaku-pelaku kejahatan
kecil-kecilan, yang hal ini digunakan agar pelaku tidak perlu ditangkap dan
membebaskan pelaku pada saat itu pula. Bukannya keadilan yang tercapai, malah
hal ini dapat menimbulkan semakin giatnya pelaku yang memberikan uang tersebut
untuk melakukan suatu kejahatan, dikarenakan pelaku kejahatan tersebut merasa
bahwa hanya dengan membayar beberapa rupiah maka pelaku kejahatan ini akan
terbebas dari segala kejahatan yang telah dilakukannya.
c. Sinkronisasi Dalam Bidang Kultural
Salah satu sub sistem yang
tidak bisa terpisahkan dan sangat penting adalah sub sistem dalam bidang
kultural. Didalam sub sistem inilah dapat dilihat apakah setiap keadilan
tersebut dapat tercapai atau tidak. Sinkronisasi dalam bidang struktural adalah sebuah sinkronisasi yang memang
harus ber azas kan masyarakat. Karena sinkronisasi dalm bidang struktural ini
adalah sinkronisasi mengenai kultur atau budaya yang ada didalam masyarakat.
Dimana kita ketahui bersama,
bahwa masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk. Masyarakat yang
terdiri dari berbagai macam suku, ras dan warna kulit. Selain itu didalam
masyarakat sendiri sebagian besar memiliki aturan atau hukum adat masing-masing,
yang memang hal ini juga diakui oleh Undang-undang mengenai berlakunya
ditengah-tengah masyarakat.
Hal inilah yang mengakibatkan
meskipun undang-undang yang diciptakan sedemikian rupa dan begitu baiknya dan
juga meskipun sedemikian rupa kuatnya dan adilnya penegak hukum menurut
pemerintah, namun apabila tidak sinkron dengan budaya dan adat yang ada dalam
masyarakat maka semuanya itu hanya akan sia-sia. Karena tidak akan ada
undang-undang yang menyalahi mengenai adat yang ada dalam masyarakat.
Dalam prakteknya, hal ini juga
belum tercapai sebagaimana yang seharusnya. Dapat kita lihat dalam pembuatan
salah satu undang-undang yang telah disahkan oleh pemerintah, yaitu
Undang-undang tentang Pornografi dan Pornoaksi. Jelas sekali dalam Undang-undang
ini mengatur mengenai tata cara berpakaian dan bahkan dalam berinteraksi.
Padahal kita tahu sendiri bahwa di negara Indonesia kita yang tercinta ini
terdapat berbagai macam suku yang memiliki pakaian adat yang memang agak
terbuka dan bahkan sangat vulgar
yaitu di daerah Papua. Apakah dengan adanya Undang-undang ini maka masyarakat
Indonesia tidak akan pernah dan bahkan dilarang untuk menggunakan pakaian adat
dari masing-masing daerahnya. Maka ada baiknya dilakukan survey dan telaah
lebih lanjut mengenai pembuatan sebuah Undang-undang agar teripta sebuah
sinkronisasi yang baik dalam sub sistem peradilan pidana.
B. Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi
Selama
perjalanan reformasi sejak digulirkan lebih dari satu dasawarsa yang lalu,
harapan rakyat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik ternyata tidak lekas
kunjung datang menjadi kenyataan. Semangat reformasi harus berjuang dengan
kekuatan pragmatisme politik demi meraih dan mempertahankan kekuasaan. Dengan
kondisi seperti ini, maka clean and good
governance yang semestinya harus dibangun pemerintah saat ini setelah
otoritarianisme Orde Baru, tinggal menjadi kenangan yang boleh jadi adanya
anggapan utopis masyarakat tentang perbaikan system dan transparansi hukum
tidak bisa dipersalahkan.
Padahal,
sejak awal dibentuknya negeri ini, salah satu cita-cita luhur bangsa Indonesia
yang dibangun para pendiri bangsa (founding fathers) adalah mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, dimana barometer nyatanya adalah
terciptanya law environcement (penegakkan supremasi hukum) yang kuat dan tidak memihak.
Meski menjadi agenda prioritas
yang mesti diwujudkan dalam 100 hari pemerintahan SBY-Budiono, proses
penegakkan hukum tampak masih sebagai dongeng di siang bolong di negeri ini.
Bagaimana tidak, pemberitaan media mulai dari Skandal Bank Century, kasus
korupsi dan suap Anggoro-Anggodo Widjoyo, geger lapas elit ala Artalyta Suryani
dan Ayin, sampai pada tragedi kasus nenek Minah, Lanjar Sriyanto atau kasus
lainnya yang menimpa masyarakat kecil lainnya, menjadi dua ironi yang tampil dalam
dua paradoks yang bertolak belakang. Hukum pun seolah bermata dua, menghunjam
tajam bagi masyarakat bawah bahkan mengoyak nurani di satu sisi. Tetapi di sisi
yang lain, hukum seolah begitu tumpulnya manakala dihadapkan pada kalangan the
have yang bebas “membeli” segalanya.
Fenomena berbagai kasus di atas
jika dirunut maka akan bermuara pada bercokolnya praktek korupsi yang menyentuh
berbagai lapisan masyarakat Indonesia .
Perkembangan korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa (extra ordinary crime)
pun menjadi bahaya laten yang bisa menumbuhkan multikrisis, kesenjangan sosial
bahkan dapat berkembang menjadi kejahatan terhadap keamanan negara, pelanggaran
HAM, gerakan teroris, separatis bahkan pemicu chaos yang mengancam keutuhan
bangsa dan negara. Selain meresahkan masyarakat, kasus-kasus tersebut tentunya
akan semakin menghambat jalannya demokrasi yang telah kita ciptakan.Buku yang
berjudul “Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, Perspektif Tegaknya
Keadilan Melawan Mafia Hukum” yang ditulis oleh IGM Nurdjanaini, berusaha
mengurai usaha yang dapat dilakukan dalam memberangus maraknya mafia hukum
sekaligus menyajikan berbagai solusi alternatif demi eksistensi dan masa depan
tegaknya hukum di Indonesia. Meski bukan pekerjaan yang mudah, bagaimanapun
juga, perjuangan menegakkan hukum merupakan salah satu pilar untuk menciptakan
lingkungan yang bersih dari praktek korupsi. Sayang, kumandang penegakkan hukum
yang digembor-gemborkan, ternyata hingga saat ini masih sebatas retorika dan
utopia semata.
Banyaknya oknum penegak hukum
yang disinyalir melakukan “jual beli” perkara, suap dan maupun praktek
transaksional lainnya, lambat-laun mengakibatkan adanya public-distrust. Dan
hancurnya martabat peradilan (countempt of court), mengakibatkan kekerasan spiral
(spiral of violence). Pembangunan hukum yang belum mencapai puncaknya ini
menjadi karut-marut dan tak terkendali titik klimaksnya.
Alhasil, kebobrokan di Indonesia
semakin meluas dan sulit untuk ditanggulangi. Atau dengan kata lain-meminjam
istilah Tubagus Ronny Rahman Nitibaskara; Gurun Besar Kriminologi Universitas
Indonesia-hukum di Indonesia telah mengalami degradasi nilai, sehingga fungsi
hukum bisa diperalat sebagai alat kejahatan (law as a tool of crime).
Jika membicarakan masalah hukum
di Indonesia ,
memang terdapat berbagai penghambat serta kepincangan-kepincangan di dalamnya.
Hal ini terbukti dengan prilaku dan pelaku hukum itu sendiri yang tidak,
menjalankan tugasnya secara optimal dan profesional. Kenyataan
ini tentunya harus dengan segera dibenahi dan dkritik habis-habisan. Hal ini penting,
sebab
bagaimanapun juga, para penegak hukum adalah ujung tombak sekaligus teladan
dalam pelaksanaan hukum itu sendiri.
C. Realitas Kekinian Seputar
Dinamika Penegakan Hukum
Bagi mereka yang mengantongi banyak
rupiah, hukum seolah tidak berani menyentuh. Bagi mereka yang miskin, hukum
seperti tidak mau berkompromi. Terkuaknya kasus-kasus besar pelanggaran hukum
di Tanah Air akhir-akhir ini sungguh merisaukan dan mengusik rasa keadilan bagi
siapa saja yang waras. Kasus Century, bobroknya perlakuan sistem rumah tahanan,
makelar kasus (markus), suap-menyuap, hingga pembunuhan yang berbau politis
menunjukkan ada yang tidak beres pada penegakan hukum di Indonesia. Dari sekian
banyak . kasus itu, mencuat kasus-kasus korupsi yang sering melatar-belakanginya.
Padahal kita semua tahu, hukum adalah
salah satu instrumen paling vital dalam membangun sebuah bangsa menuju
peradaban kemanusiaan yang adil. Kecenderungan manusia yang selalu ingin menang
sendiri, egois, dan individualis, jika tidak ada hukum yang mengaturnya, akan
melahirkan penindasan dan perbudakan modern di tengah masyarakat. Untuk itulah
negara kita menciptakan undang-undang.
Tapi sayangnya, undang-undang yang dipakai
sebagai hukum belum mampu membersihkan koruptor-koruptor di lembaga pemerintah.
Sampai saat ini masih banyak koruptor yang begitu asyiknya melenggang
menertavvai negeri yang banyak dihuni oleh orang-orang miskin ini.
Tercatat, negara ini menempati peringkat
kedua-dalam hal korupsi di tingkat Asia dan peringkat keenam di tingkat dunia.
Sebetulnya ada satu persoalan yang sangat krusial di lembaga hukum kita. Persoalan
itu berupa lemahnya integritas para penegak hukum yang mudah dibeli oleh para
mafia hukum dan mafioso koruptor. Semua itu bisa juga terlihat pada munculnya
kasus antara lembaga independen KPK dan Polri tempo hari.
Dr. Drs. IGM Nurdjana SH, M Hum
menjelaskan, lemahnya integritas penegakan hukum korupsi dipengaruhi oleh
problematik dalam sistem hukum pidana sebagai hukum formal dan hukum materiil
yang secara substansi hukum pada peraturan perundang-undangan pidana potensi
korupsi.
Kedua,
secara struktur hukum atau kelembagaan terdapat over lapping kewenangan dan mengabaikan asas diferensiasi
fungsional dalam bentuk konflik. Ketiga, adanya disharmoni atau rivalitas
negatif antara Polri/ Tipikor, Jaksa/Tipidus, dan KPK serta dilema terbentuknya
hakim ad hoc.
Terakhir,
terjadinya kesenjangan dan keterbatasan anggaran sarana prasarana, sehingga
secara kultural hukum menjadi cara dinamis untuk dimanfaatkan sebagai alat
pemerkaya diri. Persoalan itu yang membuat para mafioso koruptor berteriak
kegirangan.
Mereka
berusaha memanfaatkan kesempatan bagus tersebut sebagai alat dalam
mempertahankan dirinya dari jeratan hukum. Hasilnya, vonis hakim tipikor banyak
yang hasil akhirnya bebas.
Selama
ini, koruptor yang tertangkap oleh tangan hukum seperti begitu mudah melepaskan
diri. Belum pernah tersiar kabar
seorang koruptor divonis hukuman seumur hidup atau vonis mati.
Karena itu wajar bila korupsi terus
meningkat, sebab tidak ada vonis hakim yang dapat membuat koruptor jera.
Penjara bagi mereka bukan lagi suatu ancaman karena dengan banyak uang, penjara
dapat disulap menjadi seperti layaknya hotel berbintang.
Itulah gambaran penegakan hukum di negeri
ini. Padahal telah jelas, unsur-unsur korupsi adalah tindakan melawan hukum,
menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi, merugikan negara, baik
secara langsung maupun tidak langsung, dan dilakukan oleh pejabat publik atau
penyelenggara negara maupun masyarakat.
D. Dibalik Maraknya Kasus
Bebas Para Koruptor Biadab
Data
pemantauan ICW pada tahun 2009 menunjukkan bahwa ada yang tidak beres
dalam proses peradilan kasus korupsi.
Sebanyak 100 hakim yang tersebar di berbagai daerah dan tingkat pengadilan yang berbeda telah memberikan vonis bebas bagi para terdakwa korupsi. Lebih dari itu, 6 hakim lainnya telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi pencuri uang negara. Sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 dan UU 20/2001) mengingat peraturan tidak pernah memberikan pilihan atas hukuman percobaan bagi koruptor. Selain jumlah hakim, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas/lepas oleh pengadilan.
Sebanyak 100 hakim yang tersebar di berbagai daerah dan tingkat pengadilan yang berbeda telah memberikan vonis bebas bagi para terdakwa korupsi. Lebih dari itu, 6 hakim lainnya telah menjatuhkan vonis hukuman percobaan bagi pencuri uang negara. Sebuah putusan yang sangat bertentangan dengan UU Tindak Pidana Korupsi (UU 31/1999 dan UU 20/2001) mengingat peraturan tidak pernah memberikan pilihan atas hukuman percobaan bagi koruptor. Selain jumlah hakim, dari 199 perkara korupsi dengan 378 orang terdakwa yang diperiksa dan divonis oleh pengadilan di seluruh Indonesia, sebanyak 224 terdakwa (59,26%) divonis bebas/lepas oleh pengadilan.
Hanya
154 terdakwa (40,74%) yang akhirnya divonis bersalah. Meski diputuskan
bersalah, anehnya, bobot vonisnya dapat dikatakan belum memberikan efek jera
bagi para pelaku korupsi. Terdakwa yang divonis di bawah 1 tahun penjara
sebanyak 82 terdakwa (21,69%), 1–2 tahun 23 terdakwa (6,08%), 2–5 tahun 26
terdakwa (6,88%) dan 5–10 tahun 6 terdakwa (1,59). Hanya ada 1 terdakwa yang
divonis di atas 10 tahun (0,26%). Acap kali independensi hakim menjadi sebuah dasar
bagi putusan yang aneh, menjungkirbalikkan logika keadilan sekaligus melukai
perasaan keadilan masyarakat.
Bila
kita mencurigai ada praktik jual-beli perkara di balik penanganan perkara
korupsi, terlebih vonis ‘menyimpang’ oleh hakim terhadap terdakwa
korupsi, tentu kecurigaan ini tidak boleh disalahkan, apalagi jika secara faktual
kenyataannya berbagai penanganan perkara ini sangat anomalis dari proses hukum
yang benar, akan tetapi belum tentu juga seluruh kecurigaan itu semuanya benar
sebab dalam beberapa hal, faktor kecakapan dan pengetahuan hakim dalam memahami
persoalan korupsi juga bisa menjadi kendala bagi lahirnya sebuah putusan yang
berkualitas dan berkeadilan.
Jika
rendahnya pemahaman hakim dipadukan dengan rendahnya moral dan komitmen
mereka dalam memberantas korupsi, maka sangat mungkin vonis-vonis bebas bagi
koruptor akan terus lahir dan akan melukai perasaan keadilan masyarakat.
Demikian
pula hakim secara objektif memang tidak dapat sepenuhnya disalahkan jika
memutuskan vonis bebas. Ada
kalanya, kenakalan dalam menangani perkara sudah dimulai sejak di tingkat
penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan aparat penegak hukum lainnya.bahkan
tidak jarang juga dengan para lawyer, Artinya, ada celah lain yang bisa
menciptakan vonis bebas di luar otoritas kekuasaan pengadilan. Dalam beberapa
hasil eksaminasi publik yang dilakukan ICW terhadap putusan kasus korupsi,
lemahnya dakwaan jaksa atau bahkan dengan sengaja tidak digunakannya alat bukti
yang kuat untuk menuntut (meskipun tersedia) pada persidangan kasus
korupsi menjadi salah satu pemicu bebasnya koruptor.
BAB III
PENUTUP
- Ikhtisar
Untuk lebih
terciptanya suatu cita-cita luhur bangsa, yaitu tercapainya keadilan diberbagai
bidang, maka diperlukan suatu sinkronisasi yang benar-benar terjalin dan
berjalan dengan sebagaimana semestinya. Penindakan terhadap pelaku kejahatan
yang memang membutuhkan suatu keadilan juga harus dapat dilakukan.
Bangsa
Indonesia yang memang bangsa yang besar ini sering sekali hanya terlihat baik
didalam teori, namun buruk sewaktu melakukan praktek dilapangan. Hal inilah
yang mengakibatkan semakin banyaknya kejahatan dan tidak tercapainya keadilan.
Sistem
Peradilan Pidana Terpadu memang memiliki teori dan berbagai macam hal praktis
yang dapat dilakukan untuk menciptakan suatu keadilan. Namun tanpa adanya
dukungan dari masyarakat dan sinkronisasi antara sub sistem peradilan pidana,
bahkan antar lembaga penegak hukum, maka niscaya peradilan yang memang
benar-benar adil sebagaimana yang diidam-idamkan oleh masyarakat Indonesia
tidak akan pernah tercapai.
- Rekomendasi
Analitis-Solutif
Keterpaduan dari sistem hukum selayaknya
dilakukan secara simultan, integral, dan paralel, yaitu: syatemic approach, ini dapat dijadikan bahan untuk memecahkan
persoalan hukum (legal issue) atau penyelesaian hukum (legal solution) maupun
pendapat hukum (legal opinio), termasuk permasalahan korupsi.
Lemahnya integritas
penegakan hukum korupsi dipengaruhi oleh problematik dalam sistem hukum pidana
sebagai hukum formal dan hukum materiil yang secara substansi hukum pada
peraturan perundang-undangan pidana potensi korupsi. Karena itu, dibutuhkan
adanya suatu solusi yang bijaksana agar penegakan hukum di negeri ini memiliki
integritas yang kuat dan profesionalitas yang tinggi. Tak kalah pentingnya
mengedepankan komitmen dan fakta integritas moral yang tinggi antarlembaga
antikorupsi atau polisi tipikor, jaksa tipidsus, hakim ad-hoc dan KPK serta
penerapan sistem hukum pidana dengan melakukan action plan prioritas agenda
penegakan tipikor yang nyata. Semua itu dimaksudkan supaya tersedia sumber daya
manusia (SDM) pada lembaga penegak hukum tipikor yang memadai, memiliki
kemampuan dan profesionalisme yang berkualitas dan berkompetensi di bidang
penegakan hukum tipikor.
Dengan demikian, seharusnya perlu diambil
sebuah langkah yang mungkin tidak terlalu besar, tetapi memberikan dampak
menyeluruh bagi kebiasaan lama yang cenderung koruptif. Meningkatkan dan
memperketat kode etik yang mengandung nilai-nilai integritas, akuntabilitas,
dan transparansi sebagai pejabat publik merupakan langkah mendesak yang harus
diambil otoritas pengadilan. Pendeknya, dibutuhkan pelembagaan nilai-nilai
antikorupsi yang kuat pada setiap tingkatan pengadilan sehingga memupuskan
peluang bagi terjadinya makelar kasus oleh para hakim. Dengan nilai-nilai
antikorupsi yang ketat, sanksi yang tegas dan pengawasan yang memadai, tingkah
laku hakim akan bisa dikendalikan.
Oleh sebab itu, jika penegakkan hukum di
Indonesia ingin berjalan dengan optimal, menurut para ahli hukum dunia, paling
tidak ada beberapa aspek terpenting yang sangat mendasar dalam perjalanan
penegakkan hukum. Pertama, aspek kultur masyarakat tempat dimana nilai-nilai
hukum itu ditegakkan. Sebab hukum antara satu tempat dengan yang lain berbeda,
karenanya hukum pun harus sesuai dengan kultur atau budaya masyarakatnya.
Kedua, pembenahan struktur dari penegakkan
hukum dengan cara memberdayakan seluruh potensi penegak hukum (PPNS, Polri,
Jaksa, Hakim, Advokat, Lembaga Pemasyaraatan), lembaga legislatif (DPR),
lembaga esekutif dan yudikatif, yang secara langsung atau tidak, terkait dengan
proses tegaknya keadilan hukum.
Ketiga adalah substansi hukum yang akan
ditegakan. Baik menyangkut pembaharuan terhadap perangkat peraturan dan
ketentuan normatif (legal reform), pola, maupun aspirasi masyarakat yang
diformulasikan ke dalam sistem hukum yang ada.
Keempat, melalui pembangunan budaya
penegakan hukum yang profesional dan proporsional dengan memberlakukan asas
diferensiasi pidana korupsi.
Kelima,
memberdayakan dan mengembangkan jaringan penegakan hukum tipikor dari pusat
sampai daerah secara terpadu sebagai counterattack
atas ancaman jaringan mafioso koruptor dengan gerakan mafia hukum.
Tak kalah
pentingnya mengedepankan komitmen dan fakta integritas moral yang tinggi
antarlembaga antikorupsi atau polisi tipikor, jaksa tipidsus, hakim ad hoc dan KPK serta penerapan sistem
hukum pidana dengan melakukan action plan prioritas agenda penegakan tipikor
yang nyata.
Semua itu dimaksudkan supaya tersedia sumber daya manusia (SDM) pada lembaga penegak hukum tipikor yang memadai, memiliki kemampuan dan profesionalisme yang berkualitas dan berkompetensi di bidang penegakan hukum tipikor.
DAFTAR
PUSTAKA
Arief,
Barda Nawawi. Bunga Rampai
Kebijakan Pidana, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 1996
Mulyadi,
Lilik. Hukum Acara Pidana (Tinjauan
Khusus Terhadap Surat Dakwaan, Eksepsi dan
Putusan Peradilan), Bandung : PT.
Citra Aditya Bakti, 2002
Reksodipoetro,
Mardjono. Hak Asasi Manusia Dalam
Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga, Jakarta :
Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas Indonesia , 1994
Sholehuddin,
M. Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana
Ide dasar Double Track System & Implementasinya, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 2003
Muladi
dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori
Dan Kebijakan Pidana, Bandung :
PT. Alumni, 1984
Atmasasmita,
Romli, Strategi Pembinaan Pelanggar
Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di Indonesia, Bandung : PT Alumni, 1982
S,
Tasrif, Bunga Rampai Filsafat Hukum, Jakarta :CV Abardin, 1987
Sukanto,Soeryono, Faktor-faktor Yang Memperngaruhi Penegakan
Hukum, Jakarta :
Raja Grafindo Persada, 1983
Nurdjana, Igm, Sistem Hukum Pidana dan Bahaya Laten Korupsi, Jakarta :Pustaka Pelajar Januari, 2010
[1] Mardjono Reksodipoetro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana: Kumpulan Karangan Buku Ketiga,
Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia ,
1994, hlm. 84-85).
[2] Romli Atmasasmita, Strategi Pembinaan Pelanggar Hukum dalam Konteks Penegakan Hukum di
Indonesia, Bandung :
PT Alumni, 1982, hlm. 70)
[3] Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi, Jakarta: PT.
Jambatan, 2004, hlm. 1-2
No comments:
Post a Comment