Wednesday, 11 November 2015

PENGERTIAN DASAR PERCERAIAN

Perceraian berasal dari kata cerai, yang berarti pisah dan talak, sedangkan kata talak sama dengan cerai, kata mentalak berarti menceraikan.[1] Dengan pengertian ini berarti kata talak sama artinya dengan cerai atau menceraikan, istilah kata talak dan cerai inipun dalam bahasa Indonesia sudah umum dipakai oleh masyarakat kita dengan arti yang sama.Adapun perceraian dalam istilah Ahli Fiqh disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau membatalkan perjanjian, sedangkan furqah berarti bercerai. Kemudian dua kata ini sering digunakan oleh ahli fiqh sebagai satu istilah yang berarti perceraian antara suami dan isteri. Perkataan talak atau furqah dalam istilah Ahli Fiqh mempunyai arti yang umum dan arti yang khusus. Arti umumnya adalah segala bentuk perceraian yang dijatuhkan oleh suami, perceraian yang ditetapkan oleh hakim dan perceraian alamiah seperti kematiam salah satu diantara suami atau isteri. Adapun arti khususnya adalah perceraian yang dijatuhkan oleh suami saja.[2]Para ulama merumuskan pengertian perceraian dengan berbagai macam pengertian. Sayyid Sabiq misalnya merumuskan perceraian dengan pengertian:حل رابطة الزواج وانها ء العلاقة الزوجية.[3]Dengan dilepasnya ikatan suami dan isteri maka hubungan perkawinan keduanya dinyatakan berakhir, sehingga suami istri tersebut haram berhubungan sebagaimana layaknya suami isteri.Sedangakan menurut hukum Islam talak dapat berarti: [4]a.       Menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi keterikatannya dengan ucapan tertentu.b.      Melepaskan ikatan perkawinan dan mengakhiri hubungan suami isteri.c.       Melepaskan ikatan akad perkawinan dengan ucapan talak atau yang sepandan dengan itu.Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa perceraian atau talak merupakan berakhirnya hubungan suami isteri dengan kata-kata tertentu yang bermakna memutuskan tali perkawinan serta mempunyai akibat bagi suami isteri tersebut.Para ulama berbeda pendapat dalam menetapkan hukum perceraian. Menurut Sayyid Sabiq, pendapat yang paling benar adalah pendapat yang menyatakan bahwa perceraian itu terlarang. Dilarangnya perceraian, karena perceraian merupakan salah satu bentuk kekufuran terhadap nikmat Allah SWT yaitu perkawinan. Kufur terhadap nikmat yang diberikan Allah merupakan hal yang haram, kecuali karena darurat. kategori darurat yang membolehkan perceraian adalah apabila suami meragukan kebersihan tingkah laku isteri atau kerena sudah tidak saling mencintai lagi.[5] Dalam pandangan para ulama perceraian mempunyai beberapa macam hukum sesuai dengan keadaan dan masalah yang dihadapi oleh keluarga tersebut, adakalanya wajib, mubah, makruh, dan haram. Adapun penjelasan secara terperinci mengenai hukum talak ini: [6] a.  Wajib, suami menjatuhkan talak kepada isterinya apabila ada kasus:1.      Syiqaq, yaitu pertengkaran yang tidak dapat diselesaikan oleh siapapun.2.      Suami tidak mampu memberi nafkah lahir dan batin kepada istri, begitupun sebaliknya isteri tidak mampu menjalankan kewajiban sebagai seorang isteri, sehingga tidak ada jalan penyelesaian bagi keduanya kecuali perceraian.3.      Suami bersumpah li’an kepada isterinya yaitu tidak mau jimak (bersetubuh) dengan isterinya. Maka setelah empat bulan, isteri wajib ditalak agar tidak menderita batin, disebut juga dengan talak muli
b.      Sunnah, apabila isteri tidak menjaga dapat kehormatannya dan tidak dapat menjalankan perintah-perintah agama walaupun sudah berulang kali diperingatkan tetapi tidak ada perubahan sama sekali.c.       Mubah, yaitu apabila suami ada kebutuhan isteri kurang tanggap atau pergaulan mereka kurang harmonis.d.      Makruh, yaitu jika suami menjatuhkan talak kepada isteri yang saleh dan berakhlak yang baik, karena hal demikian bisa mengakibatkan isteri dan anaknya terlantar dan akan menimbulkan kemudaratan.e.       Haram, yaitu suami yang mentalak isterinya dalam keadaan haid atau isteri sudah suci tetapi sudah dicampuri lagi oleh suaminya. Dalam hal ini dapat dipahami dari firman Allah SWT:يا يها النبىاذا طلقتم النسا ء فطلقو هن لعد تهن[7]              Disamping itu menurut Sayyid Sabiq, termasuk talak yang diharamkan ialah talak yang dijatuhkan tanpa sebab, karena bisa menimbulkan kemudaratan baik bagi isteri maupun bagi suami itu sendiri.[8]1.      Rukun dan Syarat PerceraianTerdapat beberpa rukun yang harus ada serta beberapa syarat  yang harus dipenuhi untuk dapat terjadinya perceraian, yaitu:a.       Suami yang sah akad nikah dengan isterinya, disamping itu suami dalam keadaan:1.      Baligh, sebagai suatu perbuatan hukum, perceraian tidak sah dilakukan oleh orang yang belum baligh2.      Berakal sehat, selain sudah baligh suami yang akan menceraikan isterinya juga harus mempunyai akal yang sehat, maka dari itu orang gila tidaklah sah untuk menjatuhkan talak kepada isterinya.3.      Atas kemauan sendiri, perceraian yang dilakukan karena adanya paksaan dari orang lain bukan atas dasar atas kemauan dan kesadarannya sendiri adalah perceraian yang tidak sah[9].b.      Isteri, yang dimaksud oleh suaminya untuk ditalak adalah, isteri yang telah terikat perkawinan yang sah dengan suaminya. Kalau suami mempunyai dua isteri,  maka isteri yang kedua tidak terlibat dalam perceraian tersebut. Oleh karena itu talak kepada isteri, baru dianggap apabila:1.      Isteri masih dalam perlindungan suami, seperti ditalak raj’i. Sedangkan isteri yang ditalak ba’in, berarti suami tidak ada hak lagi untuk mentalak isterinya, karena tidak dalam kekuasaannya lagi.2.      Isteri yang ditalak itu harus melalui akad nikah yang sah, oleh karena itu kalau suami akad nikah dengan wanita dalam iddah, wanita yang bersaudara, maka tidak sah talak kepada isterinya.3.      Isteri yang sedang hamil, tidak sah menjatuhkan talak kepada isteri yang sedang hamil.[10]c.   Shigat perceraian, yang dimaksud dalam hal ini adalah lapaz yang diucapkan oleh suami atau wakilnya diwaktu menjatuhkan cerai kepada isterinya. Semua lafaz yang artinya memutuskan ikatan perkawinan dapar dipakai untuk perceraian. Shigat perceraian ada diucapkan dengan menunjukan kepada makna yang jelas, disamping itu ada pula shigat yang diucapka dengan kata-kata sindiran, baik sindiran itu denga lisan, tulisan, isyarat (bagi suami tuna wicara), ataupun dengan suruhan orang lain. Kesemuanya ini dapat dianggap sah kalau suami dalam keadaan sadar serta atas kemauan sendiri.                  Shigat cerai dalam penjelasan tersebutdihukumi sah apabila: [11]1.      Ucapan suami itu disertai dengan niat menjatuhkan cerai dengan isterinya.2.      Suami harus menyatakan kepada hakim, bahwa maksud ucapannya itu untuk menyatakan keinginannya menjatuhkan cerai kepada isterinya. Apabila ternyata tujuan suami dengan perkataanya itu, bukan untuk menyatakan keinginan  menjatuhkan cerai kepada isterinya, maka shigat talak yang demikian tidak sah dan cerainya tidak jatuh.d.   Faktor kesengajaan, artinya bahwa dengan ucapan talak itu memang dimaksudkan oleh orang yang mengucapkannya untuk talak dan bukan untuk maksud lain.  3.   Bentuk- bentuk Perceraian                  Perceraian apabila ditinjau dari segi boleh tidaknya suami ruju’ kembali kepada isterinya setelah ditalak, maka perceraian ini ada dua bentuk, yaitu:a.  Talak raj’i, yaitu talak yang dijatuhkan oleh suami kepada isterinya sebagai talak satu atau talak dua. Tetapi apabila isterinya berstatus masih dalam iddah talak raj’i, maka suami boleh rujuk kepada isterinya tanpa akad nikah yang baru, tanpa persaksian baru dan tanpa mahar baru pula. Apabila masa iddahnya sudah habis maka suami tidak boleh rujuk lagi kepada isterinya kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru.                  Talak raj’i hanya terjadi pada talak yang pertama dan yang kedua sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an:الطلا ق مرتا ن فا مسا ك بمعروف أ وتسريح باحسا ن[12]                 Selama masa iddah hubungan perkawinan suami isteri masih tetap berlangsung karena talak raj’i tidak menghapuskan akad nikah, tidak menghilangkan hak-hak suami terhadap isterinya begitu juga sebaliknya. Apabila salah satu dari mereka meninggal dunia, maka mereka yang hidup berhak untuk mendapatkan bagian waris dari yang meninggal.b. Talak ba’in, talak ba’in ialah talak yang berakibat hilangnya hak mantan suami untuk kembali kepada isterinya baik dalam masa iddah atau setelah habis masa iddahnya,  kecuali dengan akad nikah dan mahar yang baru. Talak ba’in ini dibagi menjadidua macam, yaitu: [13]1.      Talak ba’in sugra, ialah talak ba’in yang menghilangkan kepemilikan suami terhadap mantan isteri, tetapi tidak menghilanhkan kehalalan mantan suami untuk kawin kembali dengan mantan isterinya, artinya mantan suami boleh mengadakan akad nikah baru dengan mantan isterinya baik dalam masa iddah maupun sesudah berakhirnya masa iddah. Adapun yang termasuk dalam kategori ini diantaranya: a) Talak sebelum berkumpul, b) Talak dengan tebusan atau sering disebut dengan khulu’, c) Talak karena aib (cacat badan), d) salah seorang dipenjara dan yang semacamnya.2.      Talak ba’in kubra, ialah talak ba’in yang menghilangkan kepemilikan mantan suami terhadap mantan isteri serta menghilangkan kehalalan mantan suami terhadap mantan isteri untuk kawin kembali, kecuali mantan isteri telah kawin dengan laki-laki lain, telah berkumpul, telah bercerai, dan telah habis masa iddahnya.Adapun bentuk-bentuk perceraian yang ditinjau dari segi siapa yang berkehendak untuk melakukan perceraian ialah:1.      Talak, yaitu peceraian yang terjadi atas kehendak suami dengan mengunakan kata-kata talak kepada isteri.2.      Khulu’, yaitu perceraian yang terjadi atas kehendak isteri dengan membayar ‘iwad atau tebusan kepada suami.3.      Fasakh, yaitu perceraian atas kehendak suami atau isteri atau pengadilan karena adanya hal-hal yang dianggap berat, seperti suami dan isteri diketahui masih saudara kandung, atau salah satu pihak murtad.Ditinjau dari segi cara suami menyampaikan talak terhadap isterinya, dalam hal ini talak ada beberapa bentuk, yaitu:1.      Talak dengan ucapan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami dengan ucapan lisan dihadapan isterinya, dan isterinya mendengarkan secara langsung ucapan suaminya itu.2.      Talak dengan tulisan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami secara tertulis lalu disampaikan kepada isterinya dan isteri memahami isi dan maksudnya. Menurut Sayyid Sabiq syarat sah talak secara tertulis, bahwa tulisan harus tegas, jelas dan nyata ditunjukkan oleh suami terhadap isteri secara khusus.3.      Talak dengan isyarat, yaitu talak yang dilakukanoleh suami yang tuna wicara dalam bentuk isyarat, sebab isyarat baginya sama dengan bicara yang dapat menjatuhkan talak, sepanjang isyarat itu jelas dan meyakinkan, para fuqaha mensyaratkan bahwa isyarat itu sah bagi tuna wicara.4.      Talak dengan utusan, yaitu talak yang disampaikan oleh suami kepada isterinya melalui perantara orang lain sebagai utusan. Dalam hal ini utusan berkedudukan sebagai wakil suami yang menjatuhkan talak suami dan melaksanakan talak itu.Sedangkan di Pengadilan Agama perceraian dibagi menjadi dua bentuk, yaitu: [14]1.      Cerai talak, yaitu perceraian atas kehendak suami.2.      Cerai gugat, yatu perceraian atas kehendak isteri.Undang-undang membedakan antara perceraian atas kehendak suami dan perceraian atas kehendak isteri. Hal ini karena karakteristik hukum Islam dalam perceraian memang menghendaki demikian, sehingga proses perceraian atas kehendak suami berbeda dengan proses perceraian atas kehendak isteri.   Permohonan cerai talak, meskipun berbentuk permohonan tetapi pada hakekatnya adalah kontensius, karena di dalamnya mengandung unsur sengketa. Oleh sebab itu, harus diproses sebagai perkara kontensius untuk melindungi hak-hak isteri dalam mencari upaya dan keadilan.Sedangkan dalam perkara cerai gugat, maka isteri tidak punya hak untuk menceraikan suami. Dan oleh sebab itu harus mengajukan gugatan untuk bercerai, dan hakim yang akan memutuskan perkawinan dengan kekuasaannya. 4.  Alasan-alasan PerceraianPara ulama menyepakati bahwa perceraian tanpa alasan haram hukumnya. Tetapi walaupun begitu al Qur’an tidak menentukan secara jelas keharusan suami mengemukakan alasan-alasannya yang dapat digunakan sebagai alasan untuk bercerai.Adapun hal-hal yang dapat diajukan sebagai alasan perceraian, terurai dalam penjelasan pasal 39 ayat (2) Undang-undang Nomot 1 Tahun 1974 tentang perkawinan jo PP No 9 Tahun 1975, pelaksana Undang-undang No. 1 Tahun 1974 pasal 19, KHI pasal 116 yaitu:a.             Salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan. Jika suami atau isteri itu ternyata mempunyai kebiasaan yang sangat bertentangan dengan agama, maka hal itu boleh dijadikan alasan untuk melepaskan ikatan perkawinan.b.            Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya. Maksudnya jika suami atau isteri itu pergi tanpa izin dan tanpa memberikan alasan serta tidak memberi kabar selama kepergiannya itu, maka perceraian boleh diajukan.c.             Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung. Maksudnya jika suami atau isteri itu dipenjara lima tahun atau mendapat hukuman yang sangat berat maka pihak yang ditinggalkana jika merasa terbebani dan tidak kuat selama masa menjalani hukuman tersebut, maka boleh mengajukan perceraian.d.            Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak lain. Maksudnya antara suami atau isteri sering melakukan kekerasan secara fisik sehingga menggangu ketentraman dan  kedamaian dalam rumah tangga.e.             Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau isteri. Maksudnya antara suami atau istri mempunyai kelainan dalam melakukan hubungan suami istri atau memiliki penyakit yang parah dan sulit disembuhkan sehingga kewajiban dalam rumah tangga tidak berjalan.f.             Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Maksud dari percekcokan ini adalah antara suami dan isteri sering bertengkar dalam kesehariannya yang dapat mengganggu ketentraman rumah tangga.Kemudian dalam KHI pasal 116 menambahkan:g.            Suami melanggar taklik talak.h.            Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga. Maksudnya salah satu pihak telah keluar dari agama Islam yang menyebabkan pihak lain tidak terima sehingga mengganggu ketentraman dalam kehidupan rumah tangganya.Alasan-alasan di atas merupakan alternatif, Pemohon atau Penggugat dapat memilih salah satu dari alasan-alasan tersebut yang sesuai dengat faktanya saja, tetapi juga tidak dilarang jika dalam permohonannya menggunakan beberapa alasan. Dalam persidangan salah satu alasan saja yang dapat dibuktikan oleh Pemohon atau Penggugat dan dapat meyakinkan hakim, sudah cukup menjadi dasar bagi hakim untuk mengabulkannya.

[1] W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum, hlm.200
[2] Kamal Mukhtar,Asas-asas Hukum Islam, hlm.156
[3] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), II: hlm.206
[4] Zahri Hamid, Pokok-pokok Hukum Perkawinan Islam dan Undang-undang Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bina Cipta, 1976), hlm.73
[5] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm.345
[6] Peunoh Daly, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 252-254
[7] at-Talak (65): 1
[8] Sayyid Sabiq, Fiqh as-Sunnah, hlm. 208
[9] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1989), VII, 364
[10] M. Noor Matdawam, Pernikahan, Kawin Antar Agama, Keluarga Berencana, Ditinjau dari Hukum Islam dan Peratura Pemerintah RI, (Yogyakarta: Bina Karier, 1990), hlm.64
[11] Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam, hlm.168
[12] al-Baqarah (2): 229
[13] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqh, Cet.ke-1, (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), II: 176-179
[14] Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama, Cet.ke-3, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 206-207 

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post