BAB I
Pasal 2.
Parlemen Berlawanan Dengan Raja
Seperti
diceritakan tadi Dewan itu tinggal suatu anggota yang semata-mata menjadi
perkakas bagi raja. Tiadalah begitu di sebelah Barat. Barangkali sebab keras
hati kemerdekaannya bangsa Barat, barangkali sebab tiada buta lantaran adat
atau agama, maka Parlemen sudah melawan keras pada kemauan raja
sewenang-wenang, dan perselisihan atau peperangan itu disudahi dengan kuat dari
pihak raja, “bahwa Parlemen itulah yang terkuasa sebagai kemauan rakyat”
(Volssouvereinitcit).
Perselisihan
itu, lebih-lebih pada abad yang baru lalu boleh dikatakan di seluruh Eropa.
Dimana Parlemen meminta kuasa yang tertinggi dan memaksa, supaya raja mengaku
kekuasaannya. Sungguhpun perselisihan itu terjadi di antara tanah Eropa, tetapi
gelanggang yang akan kita pilih ialah tanah Inggris, karena di sanalah orang
banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar
dan di sanalah Parlemen itu yang tertua. Sungguhpun tanah Perancis boleh
dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman sekarang, sungguhpun di sana
rakyat mengalahkan raja, bangsawan dan pendetanya dengan ribut dan topan yang
hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen atas raja sudah satu abad
dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris.
Marilah
kita ikut perkelahian itu.
Pada
abad ke 17 tanah Inggris sudah lama mempunyai parlemen, asalnya sudah dari abad
ke 13 (tahun 1215). Pada waktu ini dapatlah hamba rakyat memaksa pada rajanya
yang dalam kesempitan berperang, mengaku sahnya pelakat “Magna Carta”. Di sana
ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang dan hak pada harta bendanya.
Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada dengan alasan undang-undang
negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh dijual atau dibeli. Wujudnya
tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan, atau kemiskinan orang, atau
menerima uang suapan.
Oleh
karena raja tiada menepati janji yang tertulis di Magna Carta itu dan sebab
keborosannya, maka berkumpullah wakil bangsawan dan rakyat dan mengadakan
rapat. Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan disahkan raja.
Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah. Segala
pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada boleh
dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen belum
lebih dulu mengabulkan. Perlu diwartakan sedikit, bahwa Parlemen itu terbagi
dua atas “Majelis Tinggi” (House of Lord, atau Majelis Tinggi – Ed.) yang
beranggota bangsawan-bangsawan tinggi dan “Lagerhusis” (House of Common, atau
Majelis Rendah, seringkali inilah yang disebut Parlemen – Ed.) yang beranggota
bangsawan rendah-rendahan dan wakil-wakil orang banyak.
Adapun
Parlemen tiadalah bisa berdamai dengan raja. Satu di antaranya mesti mundur.
Satu dari perkelahian yang banyak dan hebat itu, terjadi pada abad ke 17 ketika
raja Charles I memerintah tanah Inggris. Kesumatnya sudah dicari lebih dahulu
oleh Jacob I., bapak dari raja tersebut tadi. Jacob I sudah mengumumkan
(mengumumkan), bahwa dialah yang terkuasa dan kuasanya itu diterimanya dari
Tuhan, dan hak-hak Parlemen disebabkan oleh belas kasihannya Baginda itu saja.
Sekarang Parlemen mengawasi segala haknya, supaya jangan dipotong-potong.
Pemerintah
Charles I disambut dengan perjuangan yang besar dengan Parlemen, oleh karena
menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja yang kalah, haruslah dia mengakui
sahnya “Petition of Right, pada undang-undang mana ditentukan, bahwa tiada
boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan dilarang mengambil pajak.
Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke luar tiadalah diizinkan
lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan untuk setahun saja.
Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab itu Baginda mencoba
memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun.
Kemudian
karena berperang dengan bangsa Schot (sebagian dari beliau punya rakyat)
terpaksalah pula memanggil Parlemen kembali. Jangankan Parlemen memperlihatkan
takutnya, tetapi ia tiada memberi izin pula lagi kepada raja memungut tunai dan
ia mencacat-cacat akan kelaliman orang-orang pemberi nasihat Baginda. Disuruh
saja Parlemen itu pulang, karena suara yang macam itu tiada nyaman kedengaran
oleh telinga baginda. Tetapi karena dikalahkan oleh bangsa Schot tadi, maka
Bagindapun terpaksalah pula memanggil kembali (tahun 1640). Dua puluh tahun
lamanya tidak disuruh-suruh pulang.
Sekarang
Parlemen memperlihatkan kuasanya, serta ia menuduh seseorang kepercayaan raja,
yaitu menteri Graaf Strafford, yang dihukum bunuh. Kesumat (permusuhan) antara
raja dan Parlemen tiadalah berubah. Kesudahannya sampai berselisih. Baginda
menuduh beberapa anggota-anggota parlemen, bahwa mereka memecahkan rahasia.
Tetapi daya upaya Baginda hendak menangkap mereka itu tinggal sia-sia saja.
Selisih tadi mendatangkan peperangan. Mula-mula raja ada beruntung tetapi
tatkala Cromwell, juga seorang anggota Parlemen, masuk gelanggang peperangan,
maka bala tentara Parlemen berurut-turut mendapat kemenangan.
Cromwell
tiada dapat sekata dengan Parlemen, tetapi karangan ini akan melampaui
maksudnya, kalau kita mesti menguraikan pula perselisihan antara Cromwell
dengan Parlemen itu. Sebab itulah kita lekas kembali kepada Baginda. Dekat
negeri Naseby beliau dikalahkan oleh Cromwell, sehingga terpaksa lari pada
bangsa Schot, yang memerangi beliau dahulu, bangsa Schot menyerahkan Baginda
pada Parlemen.
Sesudah
Cromwell mengusir musuhnya dalam Parlemen (yaitu anggota-anggota juga seperti
dia sendiri) yang selalu merintangi kemauannya maka diangkatnya satu “Sidang
Hakim” yang menjatuhkan hukuman mati pada raja Charles I. Belumlah terseua
dalam sejarah (sejarah) manapun kejadian semacam ini, yang hamba rakyat berani
mengangkat pedang di atas kepala seorang raja.
Sesudahnya
raja dibunuh, maka tanah Inggris dijadikan Republik, yang dikepalai oleh
Cromwell. Anak Cromwell tiadalah dapat mempertahankan republik yang didirikan
bapaknya, sehingga “Kaum raja” sangguplah menaikkan Charles II (anak Charles I)
ke atas kerajaan. Oleh karena kekasihannya kepada kaum Alim Katholik, maka ia
diseterui kembali oleh Parlemen. Permusuhan itu makin lama makin dalam,
disebabkan juga karena kelemahan Charles II itu tentang politik dalam dan luar
negeri.
Banyaklah
pula dalam masa ini undang-undang yang didirikan yang menambah pengakuan
kemerdekaan orang-orang negeri tanah Inggris. Yang terutama sekali “Habeas
Corpus Act.” (tahun 1679) yang menetapkan, bahwa tiada boleh seorang juga
dimasukkan ke dalam penjara atau ditahan (preventief), kalau tidak lebih dahulu
dengan surat perintah, dimana diterangkan kesalahannya, dan perkara seorang
yang tertuduh haruslah sesudah tiga hari tutupan, atau tahanan, diperiksa. Jadi
tiadalah boleh siapapun ditangkap saja atau ditahan lama, karena hal-hal itu
boleh melahirkan sewenang-wenang.
Dalam
pemerintahan Jacob II (anak dari Charles II), perseteruan raja dengan Parlemen
tiadalah mundur. Setelah jemulah kaum di Inggris akan Rajanya, yang bersifat
lalim, maka dipanggilnya Willem van Oranye dari negeri Belanda akan memerintah
negerinya, permintaan itu dikabulkan. Setelah ia tiba di tanah Inggris dengan
bala tentara, maka raja Jacob II larilah ke Perancis.
Willem
van Oranye mengakui “Declaration of Right” dengan sumpah. Dalam undang-undang
inilah ditetapkan hak-haknya rakyat. Dari sekarang tiadalah raja boleh
menggulak-galikan Parlemen lagi, karena Parlemen sendiri berhak akan memilih
raja. Sudah tentulah dipilihnya raja, yang mau memerintah menurut undang-undang
yang menghormati kemerdekaan dan kekuasaan rakyat dan Parlemen.
Kita
harap, bahwa dengan misal yang terjadi di tanah Inggris ketika 250 tahun terlampau
itu akan sampai maksud kita buat memutuskan, bahwa kemauan Parlemen dan kemauan
raja selalu berbantah, dan perlawanan itu tiadalah akan berhenti, sebelum salah
satunya mundur. Akan penambahan keterangan yang lebar, diambil misal tanah
Jerman, dimana pemerintah dan Parlemen juga tiada bisa cocok.
No comments:
Post a Comment