Thursday 29 October 2015

TAN MALAKA PARLEMEN ATAU SOVIET (PASAL 2 PARLEMEN BERLAWANAN DENGAN RAJA)

BAB I 


Pasal 2. Parlemen Berlawanan Dengan Raja
Seperti diceritakan tadi Dewan itu tinggal suatu anggota yang semata-mata menjadi perkakas bagi raja. Tiadalah begitu di sebelah Barat. Barangkali sebab keras hati kemerdekaannya bangsa Barat, barangkali sebab tiada buta lantaran adat atau agama, maka Parlemen sudah melawan keras pada kemauan raja sewenang-wenang, dan perselisihan atau peperangan itu disudahi dengan kuat dari pihak raja, “bahwa Parlemen itulah yang terkuasa sebagai kemauan rakyat” (Volssouvereinitcit).
Perselisihan itu, lebih-lebih pada abad yang baru lalu boleh dikatakan di seluruh Eropa. Dimana Parlemen meminta kuasa yang tertinggi dan memaksa, supaya raja mengaku kekuasaannya. Sungguhpun perselisihan itu terjadi di antara tanah Eropa, tetapi gelanggang yang akan kita pilih ialah tanah Inggris, karena di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah orang banyak yang sebenarnya sadar dan di sanalah Parlemen itu yang tertua. Sungguhpun tanah Perancis boleh dikatakan pokok dari pergerakan demokrasi zaman sekarang, sungguhpun di sana rakyat mengalahkan raja, bangsawan dan pendetanya dengan ribut dan topan yang hampir tiada berbanding. Tetapi kemenangan Parlemen atas raja sudah satu abad dahulu dari itu terjadinya di tanah Inggris.
Marilah kita ikut perkelahian itu.
Pada abad ke 17 tanah Inggris sudah lama mempunyai parlemen, asalnya sudah dari abad ke 13 (tahun 1215). Pada waktu ini dapatlah hamba rakyat memaksa pada rajanya yang dalam kesempitan berperang, mengaku sahnya pelakat “Magna Carta”. Di sana ditetapkan alasan kemerdekaan tiap-tiap orang dan hak pada harta bendanya. Tiadalah boleh seorang juga dihukum, kalau tiada dengan alasan undang-undang negeri. Kebenaran dan keadilan tiadalah boleh dijual atau dibeli. Wujudnya tiadalah hakim boleh menghukum menilik kekayaan, atau kemiskinan orang, atau menerima uang suapan.
Oleh karena raja tiada menepati janji yang tertulis di Magna Carta itu dan sebab keborosannya, maka berkumpullah wakil bangsawan dan rakyat dan mengadakan rapat. Kesudahannya dijadikan Parlemen yang terpaksa diakui dan disahkan raja. Anggotanya dan kuasanya Parlemen itu makin lama makin bertambah-tambah. Segala pajak haruslah dulu dibenarkannya demikianlah kehendak raja tadi tiada boleh dilakukannya saja oleh menghukumi atau perdana menteri, kalau Parlemen belum lebih dulu mengabulkan. Perlu diwartakan sedikit, bahwa Parlemen itu terbagi dua atas “Majelis Tinggi” (House of Lord, atau Majelis Tinggi – Ed.) yang beranggota bangsawan-bangsawan tinggi dan “Lagerhusis” (House of Common, atau Majelis Rendah, seringkali inilah yang disebut Parlemen – Ed.) yang beranggota bangsawan rendah-rendahan dan wakil-wakil orang banyak.
Adapun Parlemen tiadalah bisa berdamai dengan raja. Satu di antaranya mesti mundur. Satu dari perkelahian yang banyak dan hebat itu, terjadi pada abad ke 17 ketika raja Charles I memerintah tanah Inggris. Kesumatnya sudah dicari lebih dahulu oleh Jacob I., bapak dari raja tersebut tadi. Jacob I sudah mengumumkan (mengumumkan), bahwa dialah yang terkuasa dan kuasanya itu diterimanya dari Tuhan, dan hak-hak Parlemen disebabkan oleh belas kasihannya Baginda itu saja. Sekarang Parlemen mengawasi segala haknya, supaya jangan dipotong-potong.
Pemerintah Charles I disambut dengan perjuangan yang besar dengan Parlemen, oleh karena menteri beliau adalah sangat boros. Karena raja yang kalah, haruslah dia mengakui sahnya “Petition of Right, pada undang-undang mana ditentukan, bahwa tiada boleh orang ditangkap, kalau tiada bersebab, dan dilarang mengambil pajak. Memungut uang tunai pada barang-barang masuk dan ke luar tiadalah diizinkan lagi seperti biasanya, selama dia memerintah, melainkan untuk setahun saja. Masygul dan murka akan kuasanya Parlemen maka oleh sebab itu Baginda mencoba memerintah tidak dengan Parlemen, lamanya 11 tahun.
Kemudian karena berperang dengan bangsa Schot (sebagian dari beliau punya rakyat) terpaksalah pula memanggil Parlemen kembali. Jangankan Parlemen memperlihatkan takutnya, tetapi ia tiada memberi izin pula lagi kepada raja memungut tunai dan ia mencacat-cacat akan kelaliman orang-orang pemberi nasihat Baginda. Disuruh saja Parlemen itu pulang, karena suara yang macam itu tiada nyaman kedengaran oleh telinga baginda. Tetapi karena dikalahkan oleh bangsa Schot tadi, maka Bagindapun terpaksalah pula memanggil kembali (tahun 1640). Dua puluh tahun lamanya tidak disuruh-suruh pulang.
Sekarang Parlemen memperlihatkan kuasanya, serta ia menuduh seseorang kepercayaan raja, yaitu menteri Graaf Strafford, yang dihukum bunuh. Kesumat (permusuhan) antara raja dan Parlemen tiadalah berubah. Kesudahannya sampai berselisih. Baginda menuduh beberapa anggota-anggota parlemen, bahwa mereka memecahkan rahasia. Tetapi daya upaya Baginda hendak menangkap mereka itu tinggal sia-sia saja. Selisih tadi mendatangkan peperangan. Mula-mula raja ada beruntung tetapi tatkala Cromwell, juga seorang anggota Parlemen, masuk gelanggang peperangan, maka bala tentara Parlemen berurut-turut mendapat kemenangan.
Cromwell tiada dapat sekata dengan Parlemen, tetapi karangan ini akan melampaui maksudnya, kalau kita mesti menguraikan pula perselisihan antara Cromwell dengan Parlemen itu. Sebab itulah kita lekas kembali kepada Baginda. Dekat negeri Naseby beliau dikalahkan oleh Cromwell, sehingga terpaksa lari pada bangsa Schot, yang memerangi beliau dahulu, bangsa Schot menyerahkan Baginda pada Parlemen.
Sesudah Cromwell mengusir musuhnya dalam Parlemen (yaitu anggota-anggota juga seperti dia sendiri) yang selalu merintangi kemauannya maka diangkatnya satu “Sidang Hakim” yang menjatuhkan hukuman mati pada raja Charles I. Belumlah terseua dalam sejarah (sejarah) manapun kejadian semacam ini, yang hamba rakyat berani mengangkat pedang di atas kepala seorang raja.
Sesudahnya raja dibunuh, maka tanah Inggris dijadikan Republik, yang dikepalai oleh Cromwell. Anak Cromwell tiadalah dapat mempertahankan republik yang didirikan bapaknya, sehingga “Kaum raja” sangguplah menaikkan Charles II (anak Charles I) ke atas kerajaan. Oleh karena kekasihannya kepada kaum Alim Katholik, maka ia diseterui kembali oleh Parlemen. Permusuhan itu makin lama makin dalam, disebabkan juga karena kelemahan Charles II itu tentang politik dalam dan luar negeri.
Banyaklah pula dalam masa ini undang-undang yang didirikan yang menambah pengakuan kemerdekaan orang-orang negeri tanah Inggris. Yang terutama sekali “Habeas Corpus Act.” (tahun 1679) yang menetapkan, bahwa tiada boleh seorang juga dimasukkan ke dalam penjara atau ditahan (preventief), kalau tidak lebih dahulu dengan surat perintah, dimana diterangkan kesalahannya, dan perkara seorang yang tertuduh haruslah sesudah tiga hari tutupan, atau tahanan, diperiksa. Jadi tiadalah boleh siapapun ditangkap saja atau ditahan lama, karena hal-hal itu boleh melahirkan sewenang-wenang.
Dalam pemerintahan Jacob II (anak dari Charles II), perseteruan raja dengan Parlemen tiadalah mundur. Setelah jemulah kaum di Inggris akan Rajanya, yang bersifat lalim, maka dipanggilnya Willem van Oranye dari negeri Belanda akan memerintah negerinya, permintaan itu dikabulkan. Setelah ia tiba di tanah Inggris dengan bala tentara, maka raja Jacob II larilah ke Perancis.
Willem van Oranye mengakui “Declaration of Right” dengan sumpah. Dalam undang-undang inilah ditetapkan hak-haknya rakyat. Dari sekarang tiadalah raja boleh menggulak-galikan Parlemen lagi, karena Parlemen sendiri berhak akan memilih raja. Sudah tentulah dipilihnya raja, yang mau memerintah menurut undang-undang yang menghormati kemerdekaan dan kekuasaan rakyat dan Parlemen.

Kita harap, bahwa dengan misal yang terjadi di tanah Inggris ketika 250 tahun terlampau itu akan sampai maksud kita buat memutuskan, bahwa kemauan Parlemen dan kemauan raja selalu berbantah, dan perlawanan itu tiadalah akan berhenti, sebelum salah satunya mundur. Akan penambahan keterangan yang lebar, diambil misal tanah Jerman, dimana pemerintah dan Parlemen juga tiada bisa cocok.

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post