ASAL USUL INTEGRASI ILMU
Maraknya kajian dan pemikiran integrasi keilmuan (islamisasi
ilmu pengetahuan) dewasa ini yang santer didengungkan oleh kalangan intelektual
Muslim, antara lain Naquid Al-Attas dan Ismail Raji’Al-Faruqi[1],
tidak lepas dari kesadaran berislam di pergumulan dunia global yang sarat
dengan kemajuan ilmu teknologi. Ia, misalnya berpendapat bahwa umat islam akan
maju dan dapat menyusul Barat manakala mampu mentransformasikan ilmu
pengetahuan dalam memahami wahyu, atau sebaliknya, mampu memahami wahyu untuk
mengembangkan ilmu pengetahuan.
Usaha menuju integrasi keilmuan sejatinya telah dimulai sejak
abad ke-9, meski mengalami pasang surut. Pada masa Al-Farabi (lahir tahun 257 H
/ 890 M) gagasan tentang kesatuan dan hierarki ilmu yang muncul sebagai hasil
penyelidikan tradisional terhadap epistemologi serta merupakan basis bagi
penyelidikan hidup subur dan mendapat tempatnya. Gagasan kesatuan dan hierarki
ilmu ini, menurut Al-Farabi, berakar pada sifat hal-hal atau benda-benda.
Ilmu merupakan satu kesatuan karena sumber utamanya hanya
satu, yakni intelek Tuhan. Tak peduli dari saluran mana saja, manusia pencari
ilmu pengetahuan mendapatkan ilmu itu (Osman Bakar, 1998: 612). Dengan demikian, gagasan
integrasi keilmuan Al-Farabi dilakukan atas dasar wahyu Islam dari
ajaran-ajaran Al-Qur’an dan Hadis.
Empat masalah akibat dikotomi ilmu-ilmu umum dan ilmu-ilmu
agama:
a.
Munculnya
anbivalensi dalam sistem pendidikan islam
b.
Munculnya
kesenjangan antara sistem pendidikan islam dan ajaran islam
c.
Terjadinya
disintegrasi sistem pendidikan islam
d.
Munculnya
inferioritas pengelola lembaga pendidikan Islam
Menurut Al-Ghazali,ilmu-ilmu agama Islam terdiri dari:
a.
Ilmu
tentang prinsip-prinsip dasar (ilmu ushul) yang meliputi ilmu tauhid, ilmu
tentang kenabian, ilmu tentang akhirat, dan ilmu tentang sumber pengetahuan
religius.
b.
Ilmu
tentang cabang-cabang (furu’) atau prinsip-prinsip cabang yaitu ilmu tentang
kewajiban manusia kepada Tuhan, ilmu tentang kewajiban manusia kepada
masyarakat, dan ilmu tentang kewajiban manusia terhadap jiwanya sendiri.
Selanjutnya, Al-Ghazali membagi kategori ilmu-ilmu umum
kedalam beberapa ilmu yaitu:
a.
Matematika,
yang terdiri dari aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, dan musik
b.
Logika
c.
Fisika
atau ilmu alam, yang terdiri dari kedokteran, meteorologi, minerologi, dan
kimia
d.
Ilmu-ilmu
tentang wujud di luar alam atau metafisika, meliputi ontologi, pengetahuan
tentang esensi, pengetahuan tentang subtansi sederhana, pengetahuan tentang
dunia halus, ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian, dan ilmu menggunakan
kekuatan-kekuatan bumi untuk menghasilkan efek tampak.
[1] Ismail
Raji’Al-Faruqi, Islamization of Knowledge: General Principles and Workplan, (tanpa
kota: tanpa penerbit, 1995). Hal. ix-xii.
No comments:
Post a Comment