Latar Belakang
Berdirinya Dinasti Umayyah
Sebutan Daulah Bani Umayyah berasal dari nama
Umayyah ibn ‘Abdi Syam ibn Abdi Manaf, yang merupakan salah satu pemimpin dari
kaum Quraisy di Makkah. Umayyah masuk Islam ketika terjadi peristiwa Fathul
Makkah, yaitu penaklukkan kota Makkah oleh Nabi Muhammad SAW beserta bala
tentaranya. Sepeninggal Rasulullah, sesungguhnya Umayyah telah menginginkan
jabatan pengganti Rasul (Khalifah), namun belum berani menampakkan cita-citanya
itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, penggantinya
diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat. Umayyah menyokong pencalonan
Utsman bin Affan secara terang-terangan sampai pada akhirnya Utsman terpilih
menjadi Khalifah pengganti Umar bin Khattab. Sejak saat inilah Umayyah
meletakkan dasar untuk menegakkan kepemimpinan Umayyah. Sehingga dapat
dikatakan bahwa bibit kelahiran dinasti Umayyah telah mulai tampak sejak masa
pemerintahan Utsman bin Affan sekitar tahun 35 H/656 M.
Khalifah Utsman bin Affan disinyalir melakukan
perbuatan nepotisme dalam memilih dan menunjuk para pejabat yang membantunya
dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk diantaranya adalah berkaitan
dengan pemimpin wilayah (gubernur) pada wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Hal
ini dapat dilihat dari beberapa hal. Salah satunya adalah ketika Utsman bin
Affan mengganti gubernur Irak, yaitu Sa’ad bin Abi Waqosh yang dapat dikatakan
masih memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya sebagai gubernur, dengan
Walid bin Uqbah yang masih sering minum-minuman keras (pemabuk) dan masih
termasuk kerabat dari Khalifah Utsman.[1]
Setelah masa kehalifahan Utsman bin Affan berakhir
yang ditandai dengan meninggalnya Utsman, selanjutnya kepemimpinan pemerintahan
digantikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Masyarakat beserta para sahabat
membai’at kepada Ali pada tanggal 24 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Secara
otomatis seluruh umat Islam di dunia mengakui kekhalifahannya.[2]
Dari sini dapat dikatakan bahwa pada saat itu Ali bin Abi Thalib merupakan
orang yang paling layak diantara banyak orang yang layak untuk diangkat menjadi
khalifah keempat, menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Terpilihnya sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai
khalifah keempat meneruskan perjuangan khalifah Utsman bin Affan, oleh
masyarakat madinah dan sebagian masyarakat pendukung dari Kuffah[3]
ternyata mendapat pertentangan dari beberapa kelompok yang merasa dirugikan.
Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan selaku gubernur Damaskus dan Marwan bin Hakam
yang pada saat pemerintahan khalifah Utsman bin Affan diberi amanah sebagai
sekretaris khalifah.
Ketidakbersediaan Muawiyah bin Abi Sufyan beserta
kelompoknya mengakui pengangkatan Ali
bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman menjadikan konflik yang tidak
ujung usai. Selain itu, tuntutan
Muawiyah kepada Ali agar segera menyelesaikan kasus pembunuhan khalifah Utsman
juga menjadi salah satu factor pemicu terjadinya perseteruan. Konflik ini pada
akhirnya bermuara dalam peperangan saudara se-Islam yang terjadi di daerah
Shiffin dan terkenal dengan nama perang Shiffin. Pertempuran ini terjadi antara
dua kelompok yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan yang masih merupakan sepupu dari
Usman bin Affan, dengan Ali bin Abi Thalib.
Dalam pertempuran tersebut, pasukan Muawiyah hampir
dan bisa dikatakan sudah kalah. Namun sebelum kekalahan itu terjadi, Amr bin
‘Ash selaku juru bicara (penasihat) Muawiyah memiliki ide agar tidak kalah
dalam peperangan. Ide itu disampaikan kepada Muawiyah dan Muawiyah segera
melakukannya, yaitu mengangkat mushaf al-qur’an dengan ditaruh di atas ujung
tombak sebagai pertanda ajakan perdamaian.
Ali dan pasukannya mengalami kebimbangan antara
menerima ajakan perdamaian tersebut atau menolaknya. Hingga pada akhirnya atas
usulan Abu Musa al-Asy’ari, Ali membuat keputusan untuk menerima ajakan damai
tersebut. Berdasarkan keputusan Ali tersebut, kelompok pendukung Ali mengalami
perpecahan menjadi dua golongan, yaitu Syi’ah (kelompok yang setia mengikuti
keputusan Ali) dan Khawarij (kelompok yang tidak setuju dengan keputusan Ali).
Pada saat itu juga, kemudian terjadilah peristiwa Tahkim, yaitu perundingan
antara kelompok Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dengan kelompok
Muawiyah yang diwakili oleh Amr bin ‘Ash. Hasil perundingan ini sangat
menguntungkan pihak Muawiyah.
Usaha Memperoleh Kekuasaan
Akibat ketidakpuasan terhadap peristiwa Tahkim
tersebut, menimbulkan kelompok yang berencana untuk membunuh Ali dan Muawiyah.
Namun orang yang ditugasi membunuh Muawiyah tidak berhasil, sedangkan yang
bertugas membunuh Ali bin Abi Thalib berhasil. Khalifah Ali bin Abi Thalib
terbunuh pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M ketika melakukan ibadah di
Masjid Kuffah. Dia dibunuh Abdurrahman bin Muljam. Akibatnya, tidak lama
kemudian umat Islam dan kelompok yang masih setia dengan khalifah Ali
mengangkat Hasan bin Ali dan membai’atnya sebagai pemimpin umat Islam. Namun
pengangkatan Hasan bin Ali sebagai pimpinan kepala Negara dan umat Islam itu
ternyata tetap saja tidak mendapat pengakuan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan
para pendukungnya. Pada saat itu Muawiyyah yang masih menjabat sebagai gubernur Damaskus juga
menobatkan dirinya sebagai khalifah.
Hasan merupakan sosok yang jujur namun lemah dalam
politik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan politik yang muncul
dan pemberontakan-pemberontakan yang tidak mampu diselesaikannya. Dia lebih
mementingkan persatuan umat Islam daripada keinginan menjadi kepala Negara.
Kelemahan Hasan ini kemudian dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk memperkuat
posisinya sebagai pemimpin.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk
menyelesaikan persoalan tersebut, Hasan bin Ali melakukan perundingan
perdamaian dengan pihak Muawiyah. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan
Muawiyah ini disebut Aam Jama’ah. Untuk
tujuan itu, maka dikirimkan surat kepada Muawiyah melalui Abdullah bin
Al-Harits bin Nauval yang berisi pernyataan bahwa Hasan bin Ali bersedia
menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan beberapa syarat, antara lain:
1)
Muawiyah
menyerahkan harta Baitul Maal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya
kepada pihak lain.
2)
Muawiyah tak
lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta
keluarganya.
3)
Muawiyah
menyerahkan pajak bumi dari Persia dan dari daerah Bijinad kepada Hasan setiap
tahun.
4)
Setelah Muawiyah
berkuasa nanti, masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada
umat Islam untuk dilakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5)
Muawiyah tidak
boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu
telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Muawiyah mengutus
orang kepercayaannya, Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syam. Setelah
kesepakatan itu, Muawiyah mengirimkan sebuah surat dan kertas kosong yang
dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku
mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan
kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan
tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Begitulah salah satu keahlian Muawiyah dalam
berdiplomasi. Bahasa yang digunakan tertata rapi seolah-olah bijaksana namun
menguntungkan pihak sendiri. Surat ini merupakan bentuk melegitimasi
kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya. Hal ini menjadi dasar formal
berdirinya pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah pemerintahan baru, yaitu
Dinasti Umayyah (661-750 M). Diasti ini mengubah gaya kepemimpinannya dengan
cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan
kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun (sistem Monarki). Adanya
sistem inilah yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari
asas “demokrasi” dalam menentukan pemimpin umat Islam. Selanjutnya Muawiyah
memindahkan Ibu Kota Negara dari Madinah ke damaskus, tempat dia menjabat
sebagai gubernur sebelumnya.[4]
Muawiyah dinobatkan sebagai raja di Iliya (Yerussalem) pada tahun 661 M. Sebab
yang dianut oleh Muawiyah adalah sistem Monarki atau kerajaan, maka nama ibu
kota Negara yaitu Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam.[5]
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari politik
musyawarah kepada sistem Monarki. Hal ini disebabkan oleh kondisi umat Islam
waktu itu. Menurut Muawiyah, sistem musyawarah masih terlalu maju sehingga ajaran
Nabi ini hanya dapat berjalan selama satu generasi saja, yaitu generasi hasil
didikan Nabi sendiri (sahabat), setelah itu umat Islam dirasa belum siap.[6]
Meskipun demikian, Muawiyah tetap memadukan sistem Musyawarah dengan sistem
Monarki walaupun hanya sedikit dan dia berhasil. Pemerintahan Islam dapat
dijalankan dengan baik sebab dia banyak memperhatikan riwayat dan kisah
raja-raja besar sebelumnya, di Arab maupun non Arab. Untuk mempelajari dan
meneladani siasat politik yang digunakan dalam menyelesaikan permaslahan dan
pergolakan yang muncul, Muawiyah memberikan upah kepada orang yang membacakan
kisah raja-raja besar tersebut padanya.[7]
[1] Fadil SJ. Dalam kuliah Sejarah Peradaban Islam: Masa Khalifah Utsman bin Affan, pada
hari Rabu 01 April 2015.
[2] Philip K. Hitti, The History
of Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), hlm. 223
[5] Al-Thabari, Tafsir al-Qur’an,
jilid II, hlm. 4
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah
Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Kencana, 2007),
hlm. 37
[7] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965), hlm.
166
No comments:
Post a Comment