Wednesday 14 October 2015

Sejarah Peradaban Islam Dinasti Umayyah

Latar Belakang Berdirinya Dinasti Umayyah
Sebutan Daulah Bani Umayyah berasal dari nama Umayyah ibn ‘Abdi Syam ibn Abdi Manaf, yang merupakan salah satu pemimpin dari kaum Quraisy di Makkah. Umayyah masuk Islam ketika terjadi peristiwa Fathul Makkah, yaitu penaklukkan kota Makkah oleh Nabi Muhammad SAW beserta bala tentaranya. Sepeninggal Rasulullah, sesungguhnya Umayyah telah menginginkan jabatan pengganti Rasul (Khalifah), namun belum berani menampakkan cita-citanya itu pada masa Abu Bakar dan Umar. Baru setelah Umar meninggal, penggantinya diserahkan kepada hasil musyawarah enam orang sahabat. Umayyah menyokong pencalonan Utsman bin Affan secara terang-terangan sampai pada akhirnya Utsman terpilih menjadi Khalifah pengganti Umar bin Khattab. Sejak saat inilah Umayyah meletakkan dasar untuk menegakkan kepemimpinan Umayyah. Sehingga dapat dikatakan bahwa bibit kelahiran dinasti Umayyah telah mulai tampak sejak masa pemerintahan Utsman bin Affan sekitar tahun 35 H/656 M.
Khalifah Utsman bin Affan disinyalir melakukan perbuatan nepotisme dalam memilih dan menunjuk para pejabat yang membantunya dalam menjalankan roda pemerintahan, termasuk diantaranya adalah berkaitan dengan pemimpin wilayah (gubernur) pada wilayah-wilayah kekuasaan Islam. Hal ini dapat dilihat dari beberapa hal. Salah satunya adalah ketika Utsman bin Affan mengganti gubernur Irak, yaitu Sa’ad bin Abi Waqosh yang dapat dikatakan masih memiliki kemampuan dalam menjalankan tugasnya sebagai gubernur, dengan Walid bin Uqbah yang masih sering minum-minuman keras (pemabuk) dan masih termasuk kerabat dari Khalifah Utsman.[1]
Setelah masa kehalifahan Utsman bin Affan berakhir yang ditandai dengan meninggalnya Utsman, selanjutnya kepemimpinan pemerintahan digantikan oleh sahabat Ali bin Abi Thalib. Masyarakat beserta para sahabat membai’at kepada Ali pada tanggal 24 Juni 656 M/18 Dzulhijah 35 H. Secara otomatis seluruh umat Islam di dunia mengakui kekhalifahannya.[2] Dari sini dapat dikatakan bahwa pada saat itu Ali bin Abi Thalib merupakan orang yang paling layak diantara banyak orang yang layak untuk diangkat menjadi khalifah keempat, menggantikan khalifah Utsman bin Affan.
Terpilihnya sahabat Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah keempat meneruskan perjuangan khalifah Utsman bin Affan, oleh masyarakat madinah dan sebagian masyarakat pendukung dari Kuffah[3] ternyata mendapat pertentangan dari beberapa kelompok yang merasa dirugikan. Misalnya Muwiyah bin Abi Sufyan selaku gubernur Damaskus dan Marwan bin Hakam yang pada saat pemerintahan khalifah Utsman bin Affan diberi amanah sebagai sekretaris khalifah.
Ketidakbersediaan Muawiyah bin Abi Sufyan beserta kelompoknya mengakui  pengangkatan Ali bin Abi Thalib sebagai khalifah penerus Utsman menjadikan konflik yang tidak ujung  usai. Selain itu, tuntutan Muawiyah kepada Ali agar segera menyelesaikan kasus pembunuhan khalifah Utsman juga menjadi salah satu factor pemicu terjadinya perseteruan. Konflik ini pada akhirnya bermuara dalam peperangan saudara se-Islam yang terjadi di daerah Shiffin dan terkenal dengan nama perang Shiffin. Pertempuran ini terjadi antara dua kelompok yaitu, Muawiyah bin Abu Sufyan yang masih merupakan sepupu dari Usman bin Affan, dengan Ali bin Abi Thalib.
Dalam pertempuran tersebut, pasukan Muawiyah hampir dan bisa dikatakan sudah kalah. Namun sebelum kekalahan itu terjadi, Amr bin ‘Ash selaku juru bicara (penasihat) Muawiyah memiliki ide agar tidak kalah dalam peperangan. Ide itu disampaikan kepada Muawiyah dan Muawiyah segera melakukannya, yaitu mengangkat mushaf al-qur’an dengan ditaruh di atas ujung tombak sebagai pertanda ajakan perdamaian.
Ali dan pasukannya mengalami kebimbangan antara menerima ajakan perdamaian tersebut atau menolaknya. Hingga pada akhirnya atas usulan Abu Musa al-Asy’ari, Ali membuat keputusan untuk menerima ajakan damai tersebut. Berdasarkan keputusan Ali tersebut, kelompok pendukung Ali mengalami perpecahan menjadi dua golongan, yaitu Syi’ah (kelompok yang setia mengikuti keputusan Ali) dan Khawarij (kelompok yang tidak setuju dengan keputusan Ali). Pada saat itu juga, kemudian terjadilah peristiwa Tahkim, yaitu perundingan antara kelompok Ali yang diwakili oleh Abu Musa al-Asy’ari dengan kelompok Muawiyah yang diwakili oleh Amr bin ‘Ash. Hasil perundingan ini sangat menguntungkan pihak Muawiyah.

Usaha  Memperoleh Kekuasaan

Akibat ketidakpuasan terhadap peristiwa Tahkim tersebut, menimbulkan kelompok yang berencana untuk membunuh Ali dan Muawiyah. Namun orang yang ditugasi membunuh Muawiyah tidak berhasil, sedangkan yang bertugas membunuh Ali bin Abi Thalib berhasil. Khalifah Ali bin Abi Thalib terbunuh pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 H/661 M ketika melakukan ibadah di Masjid Kuffah. Dia dibunuh Abdurrahman bin Muljam. Akibatnya, tidak lama kemudian umat Islam dan kelompok yang masih setia dengan khalifah Ali mengangkat Hasan bin Ali dan membai’atnya sebagai pemimpin umat Islam. Namun pengangkatan Hasan bin Ali sebagai pimpinan kepala Negara dan umat Islam itu ternyata tetap saja tidak mendapat pengakuan dari Muawiyah bin Abi Sufyan dan para pendukungnya. Pada saat itu Muawiyyah yang masih  menjabat sebagai gubernur Damaskus juga menobatkan dirinya sebagai khalifah.
Hasan merupakan sosok yang jujur namun lemah dalam politik. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya permasalahan politik yang muncul dan pemberontakan-pemberontakan yang tidak mampu diselesaikannya. Dia lebih mementingkan persatuan umat Islam daripada keinginan menjadi kepala Negara. Kelemahan Hasan ini kemudian dimanfaatkan oleh Muawiyah untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin.
Menghadapi situasi yang demikian kacau dan untuk menyelesaikan persoalan tersebut, Hasan bin Ali melakukan perundingan perdamaian dengan pihak Muawiyah. Tahun kesepakatan damai antara Hasan dan Muawiyah ini disebut Aam Jama’ah. Untuk  tujuan itu, maka dikirimkan surat kepada Muawiyah melalui Abdullah bin Al-Harits bin Nauval yang berisi pernyataan bahwa Hasan bin Ali bersedia menyerahkan kekuasaan pada Muawiyah dengan beberapa syarat, antara lain:
1)      Muawiyah menyerahkan harta Baitul Maal kepadanya untuk melunasi hutang-hutangnya kepada pihak lain.
2)      Muawiyah tak lagi melakukan cacian dan hinaan terhadap khalifah Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya.
3)      Muawiyah menyerahkan pajak bumi dari Persia dan dari daerah Bijinad kepada Hasan setiap tahun.
4)      Setelah Muawiyah berkuasa nanti, masalah kepemimpinan (kekhalifahan) harus diserahkan kepada umat Islam untuk dilakukan pemilihan kembali pemimpin umat Islam.
5)      Muawiyah tidak boleh menarik sesuatupun dari penduduk Madinah, Hijaz, dan Irak. Karena hal itu telah menjadi kebijakan khalifah Ali bin Abi Thalib sebelumnya.
Untuk memenuhi semua persyaratan, Muawiyah mengutus orang kepercayaannya, Abdullah bin Amir bin Habib bin Abdi Syam. Setelah kesepakatan itu, Muawiyah mengirimkan sebuah surat dan kertas kosong yang dibubuhi tanda tanggannya untuk diisi oleh Hasan. Dalam surat itu ia menulis “Aku mengakui bahwa karena hubungan darah, Anda lebih berhak menduduki jabatan kholifah. Dan sekiranya aku yakin kemampuan Anda lebih besar untuk melaksanakan tugas-tugas kekhalifahan, aku tidak akan ragu berikrar setia kepadamu.”
Begitulah salah satu keahlian Muawiyah dalam berdiplomasi. Bahasa yang digunakan tertata rapi seolah-olah bijaksana namun menguntungkan pihak sendiri. Surat ini merupakan bentuk melegitimasi kekuasaanya dari tangan pemimpin sebelumnya. Hal ini menjadi dasar formal berdirinya pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Dengan demikian berdirilah pemerintahan baru, yaitu Dinasti Umayyah (661-750 M). Diasti ini mengubah gaya kepemimpinannya dengan cara meniru gaya kepemimpinan raja-raja Persia dan Romawi berupa peralihan kekuasaan kepada anak-anaknya secara turun temurun (sistem Monarki). Adanya sistem inilah yang menandai berakhirnya sistem pemerintahan khalifah yang didasari asas “demokrasi” dalam menentukan pemimpin umat Islam. Selanjutnya Muawiyah memindahkan Ibu Kota Negara dari Madinah ke damaskus, tempat dia menjabat sebagai gubernur sebelumnya.[4] Muawiyah dinobatkan sebagai raja di Iliya (Yerussalem) pada tahun 661 M. Sebab yang dianut oleh Muawiyah adalah sistem Monarki atau kerajaan, maka nama ibu kota Negara yaitu Damaskus, berubah menjadi ibu kota kerajaan Islam.[5]
Muawiyah mengubah sistem pemerintahan dari politik musyawarah kepada sistem Monarki. Hal ini disebabkan oleh kondisi umat Islam waktu itu. Menurut Muawiyah, sistem musyawarah masih terlalu maju sehingga ajaran Nabi ini hanya dapat berjalan selama satu generasi saja, yaitu generasi hasil didikan Nabi sendiri (sahabat), setelah itu umat Islam dirasa belum siap.[6] Meskipun demikian, Muawiyah tetap memadukan sistem Musyawarah dengan sistem Monarki walaupun hanya sedikit dan dia berhasil. Pemerintahan Islam dapat dijalankan dengan baik sebab dia banyak memperhatikan riwayat dan kisah raja-raja besar sebelumnya, di Arab maupun non Arab. Untuk mempelajari dan meneladani siasat politik yang digunakan dalam menyelesaikan permaslahan dan pergolakan yang muncul, Muawiyah memberikan upah kepada orang yang membacakan kisah raja-raja besar tersebut padanya.[7]




[1] Fadil SJ. Dalam kuliah Sejarah Peradaban Islam: Masa Khalifah Utsman bin Affan, pada hari Rabu 01 April 2015.
[2] Philip K. Hitti, The History of Arabs, (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta. 2008), hlm. 223
[3] Kufah merupakan sebuah kota di Iraq. terletak 10 km di timur laut Najaf dan 170 km di selatan Bagdad. Diperkirakan kota ini mempunyai 110.000 penduduk pada 2003.
[4] Badri yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 43
[5] Al-Thabari, Tafsir al-Qur’an, jilid II, hlm. 4
[6] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik, Perkembangan Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Kencana, 2007), hlm. 37
[7] Ahmad Amin, Fajr al-Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdah, 1965), hlm. 166

No comments:

Post a Comment

Ads Inside Post