NEGARA, HUKUM DAN
MASYARAKAT MADANI
Oleh : Dahlan Thaib
Tidaklah
berlebihan apabila dikatakan bahwa peristiwa mundurnya Soeharto di atas
panggung kekuasaan pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan peristiwa historis bagi
bangsa Indonesia untuk menemukan kembali hak-hak politiknya dalam negara hukum
Indonesia, yang selama tiga dasa warsa lebih direbut dan dikekang oleh rezim
yang menamakan dirinya sebagai pemerintah yang demokratis berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945.
Jatuhnya
pemerintah Orde Baru ditandai pula oleh antara lain perbincangan tentang peran
negara, konsep negara hukum dan pelaksanaan sistem politik demokrasi melalui
supremasi sipil serta peran masyarakat madani dalam kehidupan demokrasi.
Memang
tidak dapat dipungkiri apabila kita melihat sejarah ketatanegaraan kita pada
masa lalu sebelum Orde Lama dan Orde Baru peran masyarakat madani (civic
society) cukup kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Karena
itu berbicara tentang negara, hukum dan masyarakat madani tidak dapat tidak
berarti kita berbicara mengenai pembangunan demokrasi di Indonesia. Pembangunan
demokrasi di Indonesia dapat terwujud melalui pembentukan masyarakat madani
atau civil society dalam praktek pemerintahan dan ketatanegaraan.
Dalam
kaitan ini pertanyaan adalah apakah mungkin dimasa depan kita melaksanakan
sistem politik demokrasi dalam negara hukum Indonesia yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 lewat pemberdayaan masyarakat madani ?
Dengan
segala keterbatasannya tulisan ini mencoba menelaah masalah tersebut dari sudut
pandang konstitusi atau aspek ketatanegaraan.
Negara dan Hukum
Agenda
pembicaraan tentang masyarakat madani (civil society) tidak dapat dipisahkan
dari bahasan tentang negara. Perbincangan tentang negara dalam konteks
pemberdayaan masyarakat madani menjadi penting, karena negara merupakan lembaga
yang memiliki kekuasaan yang sangat besar yang melayani dan menyalurkan
berbagai kepentingan yang ada di masyarakat. Negara dapat memaksakan
kehendaknya kepada warga atau kelompok yang ada di masyarakat. Bahkan kalau
perlu, negara dapat memaksakan kekuasaannya untuk menggunakan Kekerasan fisik
dalam memaksa kepatuhan masyarakat terhadap perintah-perintah yang
dikeluarkannya. Kekuasaan yang sangat besar ini diperoleh karena negara
merupakan pelembagaan dari kepentingan umum.
Karena
itu sebagai lembaga yang mewakili kepentingan umum, negara dapat memaksakan
kehendaknya melawan kepentingan-kepentingan pribadi atau kelompok di
masyarakat. Pandangan inilah yang dominan di Indonesia selama lebih kurang tiga
dasa warsa pemerintahan Orde Baru.
Dari
apa yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya negara
adalah organisasi kekuasaan. Oleh karena itu masalah kekuasaan, terutama dalam
penyelenggaraan pemerintahan negara selalu aktual untuk menjadi bahan pemikiran
dan renungan. Dalam rangka pembatasan kekuasaan negara agar tidak bertindak
sewenang-wenang terhadap warganya, perlu ada aturan main yang diwujudkan
melalui seperangkat kaedah hukum yang dalam kehidupan bernegara dituangkan
dalam sebuah konstitusi. Dengan demikian negara
dan konstitusi merupakan dua lembaga yang tidak dapat dipisahkan satu
dengan yang lain.
Pertanyaan
yang muncul kemudian adalah, sejauhmana hukum atau konstitusi mampu membatasi
kekuasaan. Salah satu contoh menurut konstitusi kita UUD 1945, DPR berfungsi
untuk mengontrol pemerintah, namun fungsi kontrol itu tidak dapat dilaksanakan
secara efektif selama pemerintahan Orde Baru. Demikian juga kemerdekaan
berserikat seperti tercantum dalam pasal 28 UUD 1945 sebagai basis bagi
masyarakat madani untuk menjalankan fungsinya sebagai kekuatan pengontrol bagi
jalannya pemerintahan dipasung dan dibelenggu.
Kini
setelah berakhirnya era orde baru dan memasuki era reformasi, masalah klasik tetap timbul yakni masalah penegakan
hukum disatu pihak dan pembatasan kekuasaan di pihak lain. Tidak berlebihan
apabila kita dikemukakan, justru di era reformasi dewasa ini gema untuk
menegakkan rule of law kembali bergaung dengan nyaringnya, sehingga tuntutan
reformasi hukum merupakan sesuatu yang mutlak harus dilaksanakan.
Gema
tuntutan penegakan supremasi hukum dewasa ini tidak hanya sekedar dilatar
belakangi oleh praktek-praktek politik pada masa lalu dikala hukum tidak
berdaya berhadapan dengan kekuasaan, tetapi terlebih karena secara
konstitusional prinsip negara hukum, bukan negara kekuasaan, merupakan
prinsip-prinsip konstitusi yang harus ditegakkan. Secara tegas konstitusi kita
UUD 1945 dalam penjelasannya menyebutkan bahwa; negara Indonesia berdasarkan
atas hukum (Rechtstaat), tidak berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat).
Dari
prinsip Indonesia ialah negara yang berdasarkan atas hukum dapat dikemukakan
dua pemikiran yaitu : Pertama, bahwa kekuasaan tertinggi di dalam negara
Indonesia ialah hukum yang dibuat oleh rakyat melalui wakil-wakilnya dilembaga
legislatif. Jadi suatu kedaulatan hukum sebagai penjelmaan lebih lanjut dari
paham kedaulatan rakyat.
Kedua,
dari apa yang tersirat dalam sistem pemerintahan negara yang pertama ialah
bahwa sistem pemerintahan negara atau cara-cara pengendalian negara memerlukan
kekuasaan (power/macht). Namun dari anak kalimat yang berbunyi “….., tidak
berdasarkan atas kekuasaan belaka”, dapat kita simpulkan bahwa tidak ada
sesuatu kekuasaan pun di Indonesia yang tidak berdasarkan hukum.
Berdasarkan
ketentuan konstitusi tersebut berarti pemerintah mempunyai kekuasaan yang
terbatas dan tidak dibenarkan sewenang-wenang. Asas yang dianut dalam
konstitusi tersebut haruslah tercermin dalam praktek penyelenggaraan negara.
Artinya dalam praktek penyelenggaraan negara Indonesia, hukum harus
mengendalikan kekuasaan, bukan sebaliknya hukum dipecundangi oleh kekuasaan.
Oleh
karenanya, maka demi tegaknya hukum dan demi terlaksananya cita-cita negara
hukum dan demokrasi yang seleras dengan cita-cita dan tujuan reformasi dewasa
ini maka penyelenggaraan negara Indonesia harus sesuai dengan prinsip-prinsip
konstitusi yang telah ditetapkan, sehingga tegaknya hukum dan kepastian hukum
dalam menuju kepada keadilan hukum oleh rakyat dapat dirasakan.
Tegasnya
dalam praktek ketatanegaraan ketentuan-ketentuan konstitusi harus dihormati,
harus ditegakkan oleh penyelenggara negara. Namun demikian satu hal yang tidak
dapat disangkal betapapun bagusnya konstitusi, dengan segala macam aturan
permainan, namun akhirnya konstitusi tidak berdaya apabila menghadapi power
play yang tidak mengindahkan konstitusi. Disinilah letaknya semangat atau moral
penyelenggara negara.
Selama
tiga dasa warsa semangat atau moral penyelenggara negara yang corrupt atau
bersalah guna telah menempatkan hukum tidak berdaya menghadapi kekuasaan.
Karena itu apabila kita membicarakan pemberdayaan masyarakat madani sebagai
implementasi kedaulatan rakyat sebagaimana diamanatkan oleh konstitusi kita UUD
1945, maka haruslah terlebih dahulu menempatkan hukum dalam posisi yang supreme
dan menentukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Masyarakat Madani
Pembicaraan
tentang masyarakat madani (Civil Society) sedikit tidaknya dapat kita kaitkan
dengan bahasan negara dan hukum sebagaimana telah dikemukakan di atas. Sebatas
yang kita ketahui, orang yang pertama kali membicarakan tentang “pemerintahan
sipil (Civilian government) adalah seorang filosof Inggris John Locke, yang
telah menulis buku Civilian Government pada tahun 1690. Buku tersebut mempunyai
misi menghidupkan peran masyarakat dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan mutlak
para raja dan hak-hak istimewa para bangsawan.
Dalam
misi pembentukan pemerintahan sipil tersebut John Locke membangun pemikiran
otoritas rakyat untuk merealisasikan kemerdekaan dari kekuasaan elite yang
memonopoli kekuasaan dan kekayaan. John Locke berpendapat bahwa semuanya itu
dapat direalisasikan melalui demokrasi parlementer. Dalam hal ini, keberadaan
parlemen sebagai wakil rakyat dan pengganti otoritas raja.
Setelah
John Locke, di Perancis muncul J.J. Rousseau, yang terkenal dengan bukunya The
Social Contract (1762). Dalam buku tersebut Rousseau berbicara tentang
pemikiran otoritas rakyat, dan perjanjian politik yang harus dilaksanakan
antara manusia dan kekuasaan.
John
Locke dan Rousseau membuka jalan pemberontakan terhadap berbagai dominasi
kekuasaan dan kesewenang-wenangan, yang akhirnya melahirkan revolusi Perancis
pada 1789 dan memasyarakatkan kesadaran baru. Sehingga pada permulaan abad XIX
muncul pemikiran-pemikiran cemerlang yang mengobarkan pembentukan masyarakat
madani. Masyarakat Madani akhirnya menjadi simbol bagi realitas yang dipenuhi
dengan berbagai kontrol yang bersifat fakultatif, yang mencakup banyak partai,
kelompok, himpunan, ikatan dan lain sebagainya dari berbagai corak di luar
struktur kekuasaan, yang mengekspresikan kehadirat rakyat, yang mana hal itu
mengakibatkan didirikannya berbagai macam lembaga swasta dalam masyarakat,
untuk mengimbangi/melawan terhadap lembaga kekuasaan.
Dari
apa yang dikemukakan di atas jelaslah bahwa sejak awal sampai sekarang ini
pemikiran masyarakat madani bertujuan untuk menolak kesewenang-wenangan
kekuasaan elite yang mendominasi kekuasaan negara, dan hal itu merupakan salah
satu dari manifestasi penanaman demokrasi.
Para
pendiri negara Indonesia sejak awal telah bersepakat untuk menciptakan
masyarakat Madani, hal ini terbukti dengan dituangkannya pemikiran tersebut
dalam beberapa pasal UUD 1945, seperti prinsip kedaulatan rakyat (Pasal 1 ayat
2), kebebasan berserikat, berkumpul, mengeluarkan pendapat (pasal 28),
persamaan di depan hukum dan pemerintahan (Pasal 27), sistem negara hukum
(Penjelasan UUD 1945), demokrasi ekonomi (Pasal 33) dsb.
Ternyata
ketentuan-ketentuan konstitusional tersebut selama 30 tahun tidak terealisasi
sebagaimana mestinya. Dengan runtuhnya Orde Baru dan munculnya Orde Reformasi
menimbulkan harapan baru dari sebagian besar masyarakat Indonesia bahwa
kebangkitan dan pertumbuhan masyarakat madani telah tiba. Sehubungan dengan hal
tersebut banyak gagasan dan perbincangan yang mendalam tentang pengembangan
masyarakat Madani (Civil society), terutama dikalangan akademi.
Kalau
kita berpatokan pada sejarah masa lalu ketika masyarakat madani cukup kuat
memberikan andilnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dan sekaligus juga
berpakotan pada ketentuan konstitusi paling tidak ada beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan masyarakat madani.
Pertama,
sistem perekonomian yang baik dan demokratis, sehingga masyarakat tidak tergantung
pada pemerintah (Pasal 33 UUD 1945).
Kedua,
faktor kecerdasan bangsa (kualitas intelektual), yang menumbuhkan komitmen
masyarakat untuk bersikap independen (alinea IV Pembukaan UUD 1945, tentang
tujuan negara), dan yang ketiga adalah perwujudan kedaulatan rakyat dan
strategi demokratisasi (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945).
Dari
apa yang dikemukakan di atas, maka pertama-tama diharapkan agar kaum intelektual/cendekiawan
dapat memerankan diri sebagai aktor utama dalam proses perubahan sosial
politik, karena fungsi sosial setiap cendekiawan ialah bertindak sebagai
penyampai gagasan di masyarakat madani dan sebagai penghubung antara pemerintah
dan masyarakat madani.
Dengan
kadar keilmuan kaum cendekiawan menjadi harapan peran dalam kehidupan
bermasyarakat yang dinamis. Cendekiawan hendaknya menjadi kelompok masyarakat
yang dinamis dan mampu mengarahkan kehidupan masyarakat menuju tatanan yang
adil dan teratur serta membawa masyarakat bangsa menuju kehidupan yang lebih
religius berperadaban. Dan masyarakat seperti inilah yang disebut masyarakat
madani.
Dalam
banyak peristiwa sejarah di Indonesia mengambarkan betapa para cendekiawan
berjuang keras melawan kekuasaan tirani di Indonesia.
Daftar Pustaka :
1.
Arief
Budiman, Teori Negara; Negara Kekuasaan dan Ideologi, PT.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1996.
2.
Fahmi
Huwaydi, Demokrasi Opisisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Politik Islam,
Penerbit Mizan, Bandung, 1996.
3.
Padmo
Wahyono, Negara Republik Indonesia, Rajawali, Jakarta, 1982
4.
Sri
Soemantri M, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Alumni,
Bandung, 1987